JAKARTA,PGI.OR.ID-Sebanyak 30 orang pemuda lintas agama dari 315 pendaftar, dan dari berbagai daerah, dinyatakan lolos seleksi untuk mengikuti kegiatan Tanah Air-Bhinneka Goes to Padang. Kegiatan ini merupakan kerja sama PGI bersama mitra untuk isu KBB dan perdamaian, seperti Mission 21, ANBTI, dan Pelita Padang.
Ketigapuluh pemuda tersebut yaitu Sardi, Irmawati, Herman Bakti Manullang, Kefi Maulana Putra, Hakirtan Kaur, SH, Paskalina Putri Saubaki, Nabilah Hurul A’ini, Sopian Lubis, Yuliana Yani, Ni Luh Rosita Dewi, Nashifa Noor, Komang Satya Yogi S, Tiara Tri Dewi, Gharsa Syahputra, Ar Rafi Saputra Irwan, Hendrika Sagulu, Rian Afdol, Fidelia Novita Sagulu, Firlin Syam, Eparius Laia, Anjali Sabna, Yossi Latifa, Fitrawati, Reni Dian Anggraini, Dimas Rozi Pratama, Muliadi, Imam Sabrani Yurizal, Ramadhani, Diska Lamtiar Manurung, dan Yaebaesi Zai.
Sekretaris Eksekutif Bidang KKC PGI, Pdt. Jimmy Sormin memgaku sangat senang karena banyak peserta yang lolos seleksi untuk dapat mengikuti kegiatan ini. Menurutnya, Renstra PGI tahun 2020-2024 sengaja menyoroti KBB dan dialog antariman, sebagai upaya untuk ikut mempromosikan sekaligus mengadvokasi persoalan ini.
“Berbagai peristiwa di bumi pertiwi, mulai ujaran kebencian atas nama agama, persekusi dan kekerasan, pelarangan kegiatan beragama dan sebagainya memperlihatkan bagaimana tindakan intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama masih terus terjadi. Pada level hukum, penegakan hukum terhadap berbagai tindakan pelanggaran KBB masih belum maksimal. Tidak jarang pula, korban yang umumnya dari kelompok minoritas mengalami kriminalisasi karena didakwa melakukan tindak pidana penodaan agama atau mengganggu ketertiban umum,” jelasnya.
Problem penegakan hukum, lanjut Pdt. Jimmy Sormin, muncul karena peraturan perundang-undangan yang lebih berat menekankan pada pembatasan kemerdekaan beragama, seperti Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan/Penodaaan Agama; SKB 3 Menteri Tahun 2008 tentang Ahmadiyah, Peraturan Bersama 2 Menteri Tahun 2006 tentang Rumah Ibadah dan keberadaan berbagai peraturan di tingkat daerah yang membatasi kemerdekaan beragama kelompok minoritas.
Berbagai peraturan tersebut dalam banyak laporan telah terbukti gagal menjamin hak atas kemerdekaan beragama. Tentu saja ini bukan hanya fenomena khas Indonesia, di tingkat global pun bisa ditemukan bagaimana kebebasan beragama, dalam pengalaman dunia barat juga terus menerus didiskusikan ulang. Kita bisa temukan dari laporan media massa yang membentuk persepsi umum bahwa konflik global berakar pada konflik yang bernuansa keagamaan, setidaknya pasca penyerangan WTC 11 September 2001 yang dilanjutkan dengan berkembangnya aksi terosisme di mana-mana.
Meskipun dalam sejarahnya masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk, namun dalam praksisnya tidak ada jaminan bahwa penghormatan terhadap perbedaan dilakukan dengan cara yang patut dan nir kekerasan. Bahkan jelang Pemilu 2024 tidak tertutup kemungkinan akan mendatangkan gejolak dalam kehidupoan KBB karena politik identitas masih “laku” untuk dimainkan.
Pewarta: Markus Saragih