PGI.OR.ID – Krisis moralitas berbanding lurus dengan krisis ekologi di mana manusia semakin rakus yang didukung kemajuan teknologi untuk mengekstrasi sumber daya manusia. Demikian refleksi yang disampaikan Pdt Jimmy Sormin, Sekretaris Eksekutif Bidang Kesaksian dan Keutuhan Ciptaan (KKC) Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia pada acara diskusi virtual bertema Potret Pelaksanaan Kebijakan Negara di Isu Lingkungan, Rabu (30/12) di Jakarta.
Selain Pdt. Jimmy, juga hadir pembicara lainnya, yaitu Ahmad Surambo dari Sawit Watch, Diakones Sarah Naibaho- Direktur Yayasan Pelangi Kasih dan Prof. Posman Sibuea, Guru Besar Ketahanan Pangan dan Wakil Rektor Universitas Katolik Santo Thomas serta modeator ahmad Arif, Jurnalis Kompas.
Pdt. Jimmy menjelaskan, soal kerusakan lingkungan/krisis ekologis menjadi salah satu tugas dan panggilan gereja untuk meresponsnya. “Karena kita sudah banyak berhutang terhadap lingkungan yang penyebabnya karena krisis moral. Dan persoalan krisis moralitas berbanding lurus dengan krisis ekologi di mana manusia semakin rakus yang didukung kemajuan teknologi untuk mengektraksi sumber daya alam yang ada di sekitarnya dan lebih-lebih konglomerasi yang juga mempunyai dukungan politis dan legal sehingga kerasukan semakin bertambah dan menjalar pada perakus pemula lainnya,” katanya.
Untuk itu, menurutnya, krisis moral ini lah yang menjadi prioritas untuk diselesaikan salah satunya dengan semangat keugaharian. Adanya pengosongan diri, spiritualis kecukupan harus dikembangan dalam warga gereja.
Sementara itu Ahmad Surambo dari Sawit Watch menyampaikan bahwa Indonesia yang memiliki luas perkebinan sawit kurang lebih 22,6 juta Ha belum sepenuhnya dirasakan oleh petani, buruh dan masyarakat pada umumnya.
“Dari luas lahan itu kebun rakyat yang diekelola sebesar 35 persen dan perkebunan besar 80 persen. Dari data itu seringkali terjadi konflik. Kami mencatat ada kurang lebih 1600 kasus konflik masyarakat di perkebunan, khususnya perkebunan sawit. Perbaikan tata kelola perkebunan sawit perlu dibenahi. Dampak kebijakan yang dikeluarkan pemerintah ,seperti UU Cipta Kerja justru menjadi karpet merah bagi pengusaha. Dan saya menduga jika hal ini tidak diperhatikan akan membuka usaha lebih menguasai perkebunan/kawasan hutan dan tidak ada sangsi pidana dan ini merugikan banyak pihak,” katanya.
Persoalan lainnya, menurut Surambo, dampak covid bagi buruh sawit, petani swait juga sangat besar. “Belum lagi minimnya informasi antisipasi bagi mereka juga sedikit. Kami berharap di tahun 2021, kondisi ini bsia ditasai. Juga moratorium sawit yang 1 tahun lagi berakhir maka pemerintah harus pasang gigi 4, perlu dilanjutkan sehingga tata kelolanya menjad lebih baik, strategis dan bermartabat karena tidak ada pelanggaran Ham, pelanggaran lingkungan dan lainnya,” ujarnya.
Prof. Posman Sibuea menanggapi bahwa di tahun 2021 harus bebenah. “Pada tahun 2021 sudah 10 tahun industri kelapa sawit di Indonesai sehingga harusnya membawa kesejahteraan bagi masyarakat, petani dan bukan hanya pelaku usaha. Dan Industri hilir sawit harus menciptakan lapangan kerja dan mensejahterakan petani lokal yang ada di perkebunan-perkebunan,” ujarnya.
Diakones Sarah Naibaho juga menyampaikan data-data kerusakan lingkungan akibat tambang di Dairi, Sumatera Utara karena pengelolaan lingkungan yang tidak ramah. “Negara kita sudah dikeruk oleh perusahaan tambang dan ada 8500 lebih izin perusahaan tambang. Dan sudah masuk ke Sumut, khususnya di Dairi seluas 27 ribu lebih. Akibat pemberian izin tambang itu menyumbang kerusakan ekologis terbesar di wilayah sekitar tambang, tidak memiliki prinsip kehati-hatian dan tidak mencerminkan keadilan antar generasi, pemberian izin jangan dilhat dari segi ekonomi saja lalu mengabaikan kerentanan dan daya dukung daerah. Diharapkan di tahun 2021 nanti pemerintah Pusat dan Daerah mempertimbangkan kembali untuk menjadikan industri tambang di Dairi pembangunan ekonomi tapi justru harusnya pertanian,”ujarnya.
pewarta : phil