JAKARTA,PGI.OR.ID-Gejolak ekonomi dan sosial akibat pandemi Covid-19 dan berkembangnya paham radikalisme ternyata tidak mengoyahkan rasa nasionalisme. Bangsa ini tegak berdiri dalam bingkai Rumah Bersama Pancasila yang hadir setia menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Demikian benang merah dari Webinar Kebangsaan, Nasionalisme di Tengah Pandemi yang dilaksanakan Lembaga Pembinaan Ideologi Bangsa, Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Intelegensia Kristen Indonesia (DPP PIKI), pada Rabu (18/8/2021).
Webinar menghadirkan narasumber Dosen UKIM Ambon Prof. Pdt. John A. Titaley, DTh, Deputy Bidang Pengkajian dan Materi BPIP Prof. Dr. FX. Adji Samekto, M.Hum, Walikota Bitung Ir. Maurits Mantiri, MM, dan Anggota DPRD Sulawesi Utara Sandra Rondonuwu, STh, SH.
Dalam sambutannya, Ketua Umum PP PIKI, Dr. Badikenita Putri, SE., M.Si berharap rasa nasionalisme tetap kuat meski berada di tengah badai cobaan yang melanda dunia. “Nasionalisme harus tetap kita tegakkan sebagai seiring tema yang diambil DPP PIKI pada kepengurusan ini, Tegakkan Keadilan ( Amos 5:15),” ujarnya.
Menurutnya, Indonesia pasti bertahan dalam gencarnya perubahan yang kita sadari begitu pelik menekan kehidupan bermasyarakat. Indonesia Raya yang sering dikumandangkan telah menjadi pendorong yang mengangkat rasa cinta terhadap tanah air. “Kiranya PIKI bergerak aktif untuk memberi warna dalam menyelesaikan persoalan bangsa. Kita harus tetap mempertebal rasa nasionalisme sebagai anak bangsa,” tandas Badikenita Putri.
Pada kesempatan itu, Prof. Pdt. John A. Titaley, Th.D menegaskan, Pancasila tidak bertentangan dengan iman Kristen, sebab nilai-nilai Pancasila menjunjung kesetaraan dan menjamin terwujudnya hak asasi manusia apapun latarbelakangnya.
“Dalam pidatonya Bung Karno menegaskan Indonesia untuk semua. Arti semua buat semua menurut sila Ketuhanan yang Maha Esa adalah bahwa dalam kehidupan beragama, apakah itu agama yang percaya pada ilah tertentu (theistik) atau percaya pada sesuatu yang non ilahi (non theistik), tidak boleh ada yang tertinggal mendapatkan hak dan kewajibannya sebagai seorang warga negara. Pemerintah berkewajiban menjaminnya,” jelasnya.
Dia berharap agar kehidupan keberagamaan kita menjadi inklusif, dan hal ini harus dipelopori oleh gereja. Dengan demikian Indonesia berpeluang menjadi fenomena kehidupan keberagamaan global.
Sementara itu, Prof. Dr. F. X. Adji Samekto menegaskan, implementasi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara masih menjadi PR yang harus diselesaikan. Sebab, memasuki era globalisasi dan reformasi telah terjadi pensurutan peran Pancasila, dan tidak lagi diarusutamakan dalam penyelenggaraan negara.
“Kita paham di pasca Reformasi salah satu dampaknya adalah pembubaran BP 7. Akibatnya semakin generasi muda atau milenial semakin tidak kenal Pancasila. Pancasila hanya dikenalkan sebagai bagian dari pelajaran PPKn, bukan sebagai ideologi bangsa. Dengan demikian jelas hanya diperkenalkan sebagai ilmu pengetahuan, maka yang dicari hanya angka atau nilai,” katanya.
Globalisasi dan reformasi, lanjutnya, selain melemahkan pengarusutamaan Pancasila, juga sikap memungkiri realitas keragaman dan kesederajatan. Sementara ekses teknologi memudahkan generasi muda masuk ke dalam ideologi lain. Belum lagi kehadiran media sosial yang menambah beratnya upaya implementasi karena setiap orang bisa menjadi pewarta, tanpa cek end ricek, dan cover oth side.
Dampak pelemahan juga terjadi di bidang ekonomi dengan adanya dominasi pasar bebas, sebuah cara berpikir yang sebenarnya sudah ada sejak era rasionalisme di Eropa setelah abad pertengahan, yang mengikis ekonomi Pancasila dimana didalamnya terdapat nilai-nilai budaya dan masyarakat Indonesia. Sebab itu, dia melihat perlunya diskursus terhadap hal ini, dan melihat perlunya generasi muda membicarakan kembali bagaimana mendudukkan Pancasila dalam pembangunan nasional.
Rumah Bersama Pancasila
Pembicara lainnya, Ir. Maurits Mantiri. Menurutnya, menjaga nasionalisme adalah menjaga hamonisasi. Tiga hal penting yang diharapkan dari harmonisasi nasionalisme, masing-masing tanpa diskriminasi, tanpa ketidakadilan dan tanpa ketidakpastian.
“Ditengah pandemi Covid-19, nasionalisme justru lebih berwujud di tengah kesulitan akibat pandemi. Kita lihat perjuangan tenaga medis sebagai garda terdepan demi kemanusiaan, tanpa mengenal lelah.Kesadaran, partisipasi dan kegotongroyongan masyarakat menguat luar biasa. Gaya hidup sehat terasa semakin membudaya,”tandas pria yang juga Wakil Ketua Umum DPP PIKI ini.
Menurut Maurits, Sulawesi Utara, dalam hal ini di kota Bitung sedang membangun Rumah Bersama Pancasila di masa Pandemi, yang merupakan sarana untuk belajar nilai-nilai Pancasila yang menjadi nilai luhur bangsa Indonesia. Karena Pancasila merupakan nilai yang digali dari kearifan lokal Bangsa Indonesia. Seluruh Nusantara harus menjadi rumah bersama Pancasila, dimana Pancasila harus tetap tumbuh kokoh dengan atau tanpa pandemi seperti saat ini.
Rumah Bersama Pancasila bertujuan untuk meningkatkan kembali penerapan nilai nilai Pancasila sebagai penumbuh rasa nasionalisme secara komunal. Nasionalisme adalah cahaya dalam Rumah Bersama Pancasila, terlebih dalam situasi pandemi.
Rumah Pancasila hadir untuk meningkatkan pengenalan tentang ke-Indonesia-an kepada masyarakat, yaitu beragam kebudayaan Indonesia sehingga masyarakat Indonesia lebih mengenal dan mencintai kebudayaan bangsa Indonesia. Selain itu, meningkatkan semangat dan rasa kebersamaan serta mempertahankan identitas sebagai bangsa. Mengikat ras, bahasa, sejarah, agama dan nasionalisme sebagai perbedaan yang menyatukan. Menjunjung tinggi arti kemerdekaan dan tidak meremehkan perjuangan melawan penjajah serta mendorong perubahan perilaku khususnya perilaku gotong-royong.
Sedangkan Sandra Rondonuwu, S.Th., SH. lebih melihat dari sisi yang berbeda. Bahwa Pancasila memang harus “diganggu” untuk bereposisi semakin kuat dan tegak berdiri. “Pancasila dalam perjalanannya mengalami banyak tantangan, namun justru dengan hal itu Pancasila semakin kuat,” katanya.
Menurutnya, tatanan berbangsa dan bernegara harus sesuai dengan norma-norma yang terkandung dalam Pancasila. Pertanyaan, apakah Pancasila masih relevan dengan era kekinian, era digital, era 4.0. Yang pasti dengan berbagai tantangan yang dialami Pancasila dalam perjalanan waktu tentu bisa menjawab semuanya.
“Asalkan tentunya, masyarakat tetap setia dengan Pancasila. Soal kreatifitas masyarakat dalam tantangan global sudah bisa dibuktikan semua bisa kita lewati. Tinggal sekarang, bagaimana merdekakan kreatifitas putra putri bangsa dengan ideologi bangsa, Pancasila,” pungkasnya.
Pewarta: Markus Saragih