JAKARTA,PGI.OR.ID-Para pimpinan lintas agama mendesak agar Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) disahkan menjadi undang-undang. Pasalnya, sudah 18 tahun RUU Perlindungan PRT terkatung-katung di DPR RI.
Desakan tersebut disampaikan dalam diskusi daring bertema seruan sahkan RUU Perlindungan PRT dari para pemimpin agama, pada Minggu (9/1/2022).
Katib Syuriah Pengurus Besar NU, KH Zulfa Mustofa, mengatakan pihaknya berkomitmen untuk selalu mendukung, dan membantu para mustad’afin (kaum lemah) dalam hal ini seperti PRT. Dukungan itu berupa menyuarakan agar RUU Perlindungan PRT segera disahkan menjadi undang-undang.
“Kami melihat kondisi PRT yang mayoritas perempuan itu umumnya memang kondisinya terdiskriminasi. Padahal kita tahu semua ajaran agama sangat menghormati perempuan,” ujarnya.
Zulfa menambahkan, RUU Perlindungan PRT bukan hanya sejalan dengan norma agama. Namun, juga norma budaya, dan undang-undang. Atas hal tersebut, memperjuangkan RUU Perlindungan PRT menjadi undang-undang merupakan tanggung jawab bersama.
Dukungan juga disampaikan Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Pdt Gomar Gultom. Menurutnya, hampir 77 tahun bangsa Indonesia telah merdeka namun masih banyak PRT yang jauh dari perlindungan negara. “Perhatian negara untuk perlindungan PRT begitu rendah. Jika PRT mengalami kekerasan sulit bagi mereka untuk membela diri. Sering kali akses mereka untuk ke ruang publik mengadu ke polisi juga ditutup oleh majikannya. Ini kita saksikan di beberapa tempat,” ujarnya.
Lanjut Pdt. Gomar, dari perspektif Kristen, seluruh manusia termasuk PRT merupakan gambar Allah. Oleh karena itu, memperlakukan semena-mena umat manusia termasuk PRT itu sama dengan mencederai Allah. Untuk itu gereja-gereja di Indonesia mendukung sepenuhnya upaya perlindungan hukum kepada PRT sebagai bagian penghargaan dari harkat, dan martabatnya sebagai manusia utuh.
Mangkraknya RUU Perlindungan PRT sampai 18 tahun, menurut Ketum PGI dikarenakan lemahnya komitmen kita untuk menghargai sesama manusia, dan lemahnya komitmen negara untuk hadir melindungi warga negaranya yang bekerja sebagai PRT.
Sementara itu, perwakilan dari Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin), Liem Lillyani Lontoh, menyerukan agar para tokoh lintas agama bekerjasama dengan Komnas Perempuan, dan organisasi-organisasi lainnya untuk tetap konsisten dalam pengawalan pengesahan serta kampanye terkait urgensi RUU Perlindungan PRT.
“Ini merupakan hal yang krusial dan perlu dilakukan secara masif. Agama Khonghucu juga semua kepercayaan menekankan keadilan, kesetaraan dan kesejahteraan. PRT bukan budak, tak boleh ada perlakuan diskriminasi, eksploitasi, pelecehan atau tidak adanya rasa kemanusiaan,” katanya.
Dia pun berharap disahkannya RUU Perlindungan PRT bisa menjadi payung hukum, dan terjaminnya pemenuhan hak serta kewajiban PRT. Bukan hanya itu, disahkannya RUU Perlindungan PRT menjadi undang-undang juga akan menciptakan hubungan kerja yang lebih jelas bagi pemberi kerja.
Pewarta: Markus Saragih