TANGERANG,PGI.OR.ID-Mengusung tema Qua Vadis Sekolah Kristen? dan sub tema Kolaborasi Menjuju Solusi, Majelis Pendidikan Kristen (MPK) Indonesia bersama Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) menggelar kegiatan Koordinasi Nasional (Pra-Konas Gereja dan Pendidikan), di Kampus Universitas Pelita Harapan (UPH), Tangerang, pada Rabu (1/3/2023).
Dalam sambutannya, Ketua Umum PGI, Pdt. Gomar Gultom menegaskan, bahwa di kalangan gereja, Yesus sendiri yang memulai tugas pengajaran. Narasi kitab Injil juga berkali-kali menyebutkan, Sang Guru menjalankan pelayanannya dalam tiga hal menonjol, yaitu mengajar, menyembuhkan orang sakit dan berkotbah. Dia keluar masuk desa, menelusuri lorong-lorong sempit Galilea dan desa lain dengan tiga hal menonjol itu.
“Saya kira itu juga sebabnya, sejarah pekabaran Injil meneruskan ketiga pelayanan tersebut secara simultan. Sejarah mencatat, dimana pos perkabaran Injil berdiri, pada saat yang sama berdiri sekolah, balai pengobatan dan ruang ibadah. Itulah esensi gereja yang sebenarnya. Dan lewat ketiga dimensi itu juga terlihat peran transformatif gereja yang menyejarah itu,” jelas Pdt. Gomar.
Menurutnya, gereja pun meneruskan tradisi itu, hingga kini. Tugas mengajar diteruskan lewat katekisasi, tugas menyembuhkan diteruskan dengan konseling dan tugas berkotbah diteruskan dengan adanya mimbar. Sayangnya, ada kecenderungan beberapa dekade ini, pelayanan gereja memusat pada mimbar untuk kotbah.
Lebih jauh dijelaskan, alasan utama Yesus mengajar adalah karena dengan datangnya Yesus, maka Kerajaan Allah sedang datang. Dan dalam rangka menghadirkan Kerajaan Allah itu, Yesus mempersoalkan dan mempertanyakan seluruh pemahaman dan sikap-sikap manusia. Dan dalam mempersoalkan itulah Dia melakukan pengajaran.
“Orang yang telah menerima Kerajaan Allah mestinya terpanggil juga untuk mengajar agar sikap hidup manusia dan struktur-strukturnya benar-benar mengalami perubahan mendasar seturut dengan iklim Kerajaan Allah itu. Hanya dengan proses pendidikan dan pengajaran kita bisa mewarisi, dan mewariskan harta dalam bejana itu; dan hanya dengan pengajaran kita berharap transformasi masyarakat terjadi: masuk dalam Kerajaan Allah di dunia ini,” katanya.
Sebab itu, lanjut Ketum PGI, kekristenan selalu menempatkan pendidikan dalam skala prioritasnya. “Saya meragukan kecurigaan sementara pihak, yang menilai bahwa kekristenan menjadikan pendidikan melulu sebagai entry point, bagi sebuah proses kristenisasi. Walau mungkin pada kurun tertentu, atau bahkan mungkin kini oleh kelompok tertentu, pendekatan seperti itu diterapkan, saya tetap menilai bahwa pendidikan menjadi prioritas bagi gereja bukanlah soal terkait dengan survivalnya gereja, apalagi menjadi sekedar, entry point,” ujarnya.
Pdt. Gomar melihat, melalui pendidikanlah seseorang dimanusiakan, dengan menyadari diri dan sekitarnya. Menjadi pertanyaan, pertama, apakah pelayanan pendidikan itu kini cukup hanya dalam bentuk kehadiran kelas katekisasi, dan menyerahkan selebihnya kepada yayasan atau kepada negara? Kedua, ketika gereja masih melayankan pendidikan dalam bentuk sekolah kristen, apakah itu masih dalam terang pelayanan atau sudan menjadi komoditi dagang?
“Ini pergumulan konkrit kita mestinya, di tengah fenomena masyarakat kita yang menempatkan pendidikan sebagai komoditi dagang. Koordinasi Nasional hari ini bertajuk Kolaborasi. Kolaborasinya seperti apa? Saya masgul dan saya cukup prihatin dengan fenomena yang berkembang dalam perkembangan pengelolaan sekolah-sekolah milik gereja yang dalam posisi hidup segan mati tak mau,” tandasnya.
Sebab, katanya, bukan rahasia umum lagi, di beberapa bentuk kolaborasi, ganti memberdayakan sekolah-sekolah gereja yang “hidup segan mati tak mau” itu, sekolah atau yayasan raksasa yang kaya malah memperdayakan gereja-gereja, dengan mengakuisisi sekolah-sekolah milik gereja yang sedang megap-megap.
Ditandaskan, kita masih bergumul bagaimana baiknya gereja mengelola sekolah-sekolah. Tetapi dengan mengakuisisi sekolah-sekolah yang megap-megap sangat jauh dari prinsip pemberdayaan. Pola itu tidak memberdayakan gereja di bidang pendidikan. “Pola sedemikian justru mematikan prakarsa gereja, dan pada gilirannya malah makin melepaskan tanggung-jawab gereja yang memanusiakan itu, lewat proses pendidikan dan pengajaran,” pungkasnya.
Pewarta: Markus Saragih