JAKARTA,PGI.OR.ID-Kamis (23/2/2023) terjadi penggunaan kekuatan berlebihan yang menyebabkan hilangnya setidaknya 12 nyawa oleh aparat keamanan. Berdasarkan informasi yang koalisi himpun dari berbagai sumber, termasuk jaringan dan jurnalis, aparat keamanan melakukan penembakan peluru tajam ke arah massa hingga terjadi korban jiwa.
Menyikapi kondisi tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan dan Koalisi Kemanusiaan untuk Papua, dalam siaran persnya yang dikeluarkan pada Jumat (3/3/2023) menyatakan:
Pertama, mengucapkan belasungkawa yang sedalam-dalamnya kepada keluarga korban sekaligus berharap pengungkapan terhadap kebenaran benar-benar dilakukan.
Kedua, kami memandang dalam peristiwa yang menyebabkan jatuhnya 12 korban tersebut telah terjadi penggunaan kekuatan yang berlebihan (excessive use of force) oleh aparat keamanan saat mengendalikan kerusuhan. Penggunaan senjata api dalam penanganan massa memang dimungkinkan, akan tetapi penggunaannya seharusnya dilakukan secara ketat dengan tetap memperhatikan faktor keselamatan dan standar operasional yang berlaku.
Ketiga, penggunaan kekuatan berlebihan terutama di Papua selama ini memperkuat cermin pendekatan keamanan yang dilakukan Pemerintah di Papua. Perlu diingat kembali bahwa status darurat militer dan daerah operasi militer di Papua sejak awal Reformasi telah dicabut dan oleh karena itu penanganan massa secara koersif di tengah-tengah sipil harus dihindari.
Keempat, kami mendesak aparat keamanan untuk berhenti menyakiti perasaan warga sipil di Papua dengan berhenti membunuh orang Papua. Negara harus belajar dari peristiwa sebelumnya dimana jatuhnya korban jiwa dalam penanganan massa sebelumnya juga terjadi di beberapa wilayah di Papua pada 2019 yang menentang tindakan rasisme aparat keamanan di Surabaya. Dalam peristiwa itu, puluhan orang meninggal dunia. Jauh sebelum itu juga pada tahun 1998 terjadi penggunaan kekuatan berlebihan yang mengarah pada pelanggaran ham yang berat, yakni kasus Biak Berdarah yang menewaskan 8 orang meninggal dunia. Ironisnya, kendati penembakan terhadap warga sipil terus terjadi dalam penanganan massa di Papua, namun hingga saat ini tidak ada langkah konkret aparat keamanan melakukan perubahan tata kelola keamanan bahkan terkesan aparat keamanan membiarkan spiral kekerasan tersebut terjadi.
Dengan penilaian dan pertimbangan di atas, maka Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan dan Koalisi Kemanusiaan untuk Papua juga menegaskan beberapa hal, sebagai berikut:
Pertama, peristiwa kericuhan yang terjadi seharusnya dipandang oleh aparat keamanan, dalam hal ini kepolisian sebagai pelanggaran hukum dan direspons dengan penegakan hukum. Artinya apabila ada orang yang diduga melakukan pelanggaran hukum seharusnya direspon dengan penegakan hukum (penangkapan) dan bukan ditembaki. Karena negara berkewajiban untuk melindungi hak setiap orang yang diduga melakukan pelanggaran hukum agar dapat membela diri dalam suatu proses peradilan pidana yang jujur dan adil (the right to a fair trial). Apalagi penembakan terhadap kerumunan massa dalam kerusuhan ini dengan dalih mengurai/membubarkan kerusuhan justru kontraproduktif dan menunjukkan abainya negara dalam menjamin hak tersebut
Kedua, setiap penggunaan kekuatan senjata yang dilakukan oleh aparat keamanan, wajib berpegangan pada prinsip-prinsip umum yang diakui secara internasional sebagaimana Resolusi Majelis Umum PBB No. 34/169 mengenai prinsip-prinsip berperilaku bagi aparat penegak hukum yang dituangkan dalam Code of Conduct Law Enforcement (CCLEO) dan UN Basic Principle on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials (BPUFF). Dalam ketentuan tersebut, penggunaan senjata api merupakan alternatif terakhir dengan tujuan melindungi nyawa manusia (the “protect-life”-principle), serta harus dapat diuji berdasarkan empat prinsip, yakni legalitas, nesesitas, proporsionalitas, dan akuntabilitas.
Di Indonesia, terdapat pula beberapa ketentuan yang telah mengadopsi prinsip-prinsip penggunaan kekuatan senjata yang diakui secara internasional. Khususnya ketentuan internal Polri seperti Perkap No. 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian dan Perkap No. 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian.
Ketiga, jatuhnya belasan korban jiwa dengan mayoritas korban mengalami luka tembak oleh aparat keamanan dengan senjata mematikan dalam kerusuhan ini bukan hanya sekadar pelanggaran hukum biasa, melainkan sudah mengarah ke level yang lebih serius, yakni kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Statuta Roma 1998 dan Pasal 9 UU 26/2000. Hal tersebut sudah sepatutnya direspons secara aktif oleh Komnas HAM RI untuk memastikan terpenuhi atau tidaknya unsur pelanggaran HAM berat tersebut.
Keempat, Peristiwa Wamena Berdarah pada awal tahun 2023 ini hanyalah salah satu dari sekian banyak peristiwa penanganan konflik berdarah di Papua. Kami menilai bahwa pendekatan keamanan dengan penggunaan kekuatan senjata yang berlebihan hanya akan meningkatkan eskalasi pelanggaran HAM. Oleh karena itu, kami mendesak Pemerintah harus mengevaluasi dan menghentikan pendekatan keamanan dalam menyelesaikan setiap konflik yang terjadi di Papua.
Oleh karena hal-hal tersebut di atas, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan dan Koalisi Kemanusiaan untuk Papua mendesak agar:
- Presiden memerintahkan Kapolri dan Panglima TNI untuk melakukan pemeriksaan secara profesional, transparan, dan akuntabel terhadap anggota yang diduga terlibat dalam kasus ini;
- Presiden menghentikan pendekatan keamanan yang selama ini digunakan dengan mengedepankan kekuatan senjata dan memerintahkan dilakukannya perubahan tata kelola keamanan yang lebih humanis di Papua sehingga dapat memutus spiral kekerasan yang terjadi;
- Lembaga negara independen (Komnas HAM, Ombudsman RI, Kompolnas, dll) secara aktif melakukan pemeriksaan terhadap kasus ini sesuai cakupan wewenangnya;
- Komnas HAM melakukan pemeriksaan atas dugaan pelanggaran HAM yang berat dalam kasus ini;
- Kapolri segera melakukan evaluasi total penggunaan kekuatan dalam tugas-tugas pemolisian;
- Presiden membentuk tim independen dengan keterwakilan masyarakat sipil yang memadai untuk melakukan kajian evaluatif tentang penggunaan kekuatan senjata dan eksesnya terhadap keamanan warga negara;
- Presiden dan DPR segera mendorong – agenda konkret – reformasi kepolisian berkelanjutan secara struktural, instrumental, dan kultural demi memastikan kerja-kerja kepolisian yang profesional, transparan, dan akuntabel.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan dan Koalisi Kemanusiaan untuk Papua terdiri dari KontraS, IMPARSIAL, YLBHI, LBH Jakarta, LBH Papua, LBH Malang, ICW, LBH Masyarakat, ELSAM, HRWG, Public Virtue Institute, SETARA Institute, WALHI Eknas, PBHI Nasional, ICJR, Centra Initiative, Aliansi Jurnalis Independen Jakarta, Amnesty International Indonesia, Biro Papua PGI, Aliansi Demokrasi untuk Papua, KPKC GKI-TP, KPKC GKIP, SKPKC Keuskupan Jayapura.
Pewarta: Markus Saragih