JAKARTA,PGI.OR.ID-Papua kembali bersimbah darah. Pada 23 Februari 2023, kerusuhan memakan korban jiwa dan korban luka-luka terjadi di Wamena, Papua Pegunungan. Akibat kerusuhan berdarah ini setidaknya dilaporkan 12 orang meninggal dunia dan 17 orang luka-luka. Dari kondisi fisik korban, ada temuan luka yang diakibatkan oleh tembakan maupun senjata tajam.
Direktur Eksekutif Amnesty International, Usman Hamid mengatakan, dalam insiden Wamena sebenarnya tidak langsung berhubungan dengan konflik senjata. Tetapi, kekuatan senjata yang bereskalasi, dan itu memberi pengaruh yang cukup serius bagi penggunaan-penggunaan kekuatan, baik dalam bentuk jumlah pasukan, atau penggunaan kekerasan yang tidak perlu, termasuk penggunaan senjata api.
“Dalam kasus Wamena penggunaan senjata api dengan peluru tajam telah mengakibatkan nyawa melayang dari warga sipil sebanyak 12 orang. Sebab itu, pemerintah perlu mengambil langkah serius, karena ongkosnya terlalu besar hanya karena rumors penculikan anak, dan kurang profesionalitas aparat keamanan dalam menangani masalah ini,” ujar Usman dalam diskusi publik bertajuk Wamena Berdarah 2023: Adakah Unsur Kejahatan Kemanusiaan? di Grha Oikoumene, Jakarta, pada Selasa (14/3/2023).
Usman menilai, sudah saatnya negara mengevaluasi potensi-potensi konflik bersenjata untuk bisa meredam atau mengurangi eskalasinya, salah satunya mendorong penjajakan dialog antara pemerintah Indonesia dengan yang pro kemerdekaan Papua.
Diskusi yang diinisiasi oleh Koalisi Kemanusiaan Papua dan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan ini, juga menghadirkan Theo Hesegem, Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua sebagai salah satu narasumber. Theo mengungkapkan secara jelas kronologis dan situasi terakhir penyelesaian kasus di Wamena. Salah satu kesepakatan keluarga korban adalah tentang pemberian uang duka.
Menurutnya, penegakan hukum sangat penting dalam menyelesaikan kasus Wamena, dan pemberian uang duka jangan memperlemah proses hukum. “Saya meminta keluarga korban untuk membuat laporan polisi, saya akan ajak,” tandas Theo.
Sementara dari perspektif media, jurnalis senior Editor Harian Jubi, Angela Flassy menyoroti pentingnya pemberitaan yang massif dan berimbang dalam kasus Wamena. Hal ini diperlukan agar kasus serupa tidak terulang lagi. Pemberitaan yang tidak berimbang memang berdampak besar terhadap kasus, situasi politik, dan lainnya bagi Papua. Akibat pemberitaan yang tidak menyeluruh atau hanya sepotong-sepotong dalam kasus Wamena, membuat kebijakan-kebijakan yang diambil juga tidak menjadi utuh. Akibat kebijakan yang sepotong-sepotong, maka kejadian pun terus berulang-ulang.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Atnike Nova Sigiro, juga menegaskan bahwa peristiwa di Wamena merupakan rangkaian siklus kekerasan dan konflik berdarah yang masih terus berlanjut di Papua. Dalam catatan Komnas HAM, di tahun 2022 ada 46 kasus peristiwa kekerasan maupun konflik yang telah menyebabkan korban jiwa 63 orang, terbanyak dari masyarakat sipil.
“Peristiwa di Wamena kalau kita lihat dari informasi yang beredar di publik adalah sebuah konflik yang memiliki dimensi horizontal dimana dipicu oleh konflik sosial, terkait adanya isu penculikan anak. Tapi kemudian konflik itu berubah ketika eskalasinya semakin tinggi dengan adanya keterlibatan aparat keamanan dan merubah konflik tersebut menjadi dimensi vertikal,” ujar Atnike.
Dia pun melihat dalam kasus Wamena adanya peningkatan sentimen antara masyarakat yang berbeda etnis, akibat adanya isu sosial yang muncul dalam masyarakat sehingga memicu terjadinya kekerasan. Sebab itu, Ketua Komnas HAM melihat perlu adanya ruang komunikasi dan interaksi sosial, yang mendapat perhatian pemerintah daerah dan pusat, juga seluruh elemen di Papua, termasuk Komnas HAM.
Peneliti BRIN, Prof. Cahyo Pamungkas menyoroti pemberian uang duka, yang menurutnya dianggap sebagai kompensasi. “Apakah tepat menggunakan mekanisme kompensasi, jika disinyalir ada keterlibatana aparat, ini tidak bisa menyelesaikan konflik di Papua. Kekerasan akan terus bergulir karena tidak ada hukuman, yang ada itu impunitas, melalui kompensasi. Jika hal ini dibiarkan akan menjadi kebiasaan dan memperburuk upaya penegakan hukum,” ujarnya.
Menurut Prof. Cahyo, siklus kekerasan tetap berlanjut hingga sekarang ini, seiring bertambahnya pemekaran DOB di Papua. Pemekaran bisa merubah sifat konflik, karena akan banyak ruang-ruang politik, yang membuat polarisasi masyarakat semakin tajam.
Diakhir diskusi, Latifah Anum Siregar, mewakili Koalisi Kemanusiaan Papua, memberikan catatan menarik. Menurutnya, terkait peristsiwa Wamena, yang pertama harus dilihat adalah menyangkut kronologis pertsiwa, karena sekarang ini banyak versi yang bersliweran. Kedua, menyangkut penembakan, karena info yang ada sekarang seakan ada yang terputus, sehingga tidak memiliki gambaran yang jelas. Ketiga, perlu investigasi. Tidak cukup tim independen.
Pewarta: Markus Saragih