JAKARTA,PGI.OR.ID-Setara Institute mencatat terjadi kenaikan kasus intoleransi di Indonesia selama awal tahun 2023. Setara menduga eskalasi ini berkaitan dengan persiapan tahun politik, yaitu Pemilihan Umum 2024.
“Dalam analisis Setara Insitute, mencolok upaya konsolidasi kelompok-kelompok intoleran dan mobilisasi mereka untuk menghimpun sentimen pemilih mayoritas dengan menekan kelompok-kelompok minoritas,” kata Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan, pada Jumat, (24/3/2023).
Seperti dikutip dari tempo.co, Halili mengatakan eskalasi itu nampak dari maraknya pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan belakangan ini. Satu kasus terbaru, kata dia, adalah aksi penutupan patung Bunda Maria di Lendah, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Penutupan itu diduga dilakukan oleh anggota Kepolisian Sektor Lendah pada Rabu, 22 Maret 2023. Patung Bunda Maria setinggi beberapa meter ditutup dengan terpal. Awalnya kepolisian menyatakan bahwa penutupan ini dilakukan atas desakan kelompok masyarakat yang merasa terganggu ibadah puasanya dengan keberadaan patung tersebut. Belakangan polisi meralat pernyataannya dengan mengatakan bahwa penutupan itu dilakukan atas dasar sukarela dari pemilik rumah doa.
Halili mengatakan kasus Kulon Progo bukanlah peristiwa pelanggaran kebebasan berkeyakinan yang pertama terjadi tahun ini. Menurut dia, selama awal tahun 2023 kejadian pelanggaran kebebasan berkeyakinan juga terjadi di Kabupaten Sintang, Kabupaten Sukabumi, Malang, Kota Lampung, Kabupaten Bogor dan sejumlah daerah lainnya. Terbaru, kata dia, ada rencana untuk menolak kedatangan Duta Besar Vatikan di Palembang.
“Aksi tersebut dilakukan Koalisi Palembang Darussalam, yang direncanakan hari ini di Gereja Katedral Santa Maria Palembang, yang menolak kedatangan Duta Besar Vatikan ke Palembang dengan alasan Palembang adalah daerah mayoritas Muslim,” katanya.
Minta pemerintah tegakkan hukum
Setara, kata Halili, mencatat rentetan kasus intoleransi dan diskriminasi tersebut terjadi terutama setelah Presiden menyampaikan arahan agar Pemda dan Forkompimda menjamin hak beragama dan beribadah seluruh warga negara sesuai jaminan UUD NRI Tahun 1945 pada kegiatan Rakornas Pemda dan Forkopimda, 17 Januari lalu. Namun kenyataannya, kata dia, Pemda dan Forkopimda membangkang dan mengabaikan arahan Presiden.
Atas rentetan kejadian intoleransi tersebut, Halili mengatakan Setara institute mendesak pemerintah daerah dan pusat untuk memastikan kebebasan berkeyakinan yang dijamin oleh konstitusi. Dia mengatakan tahun politik tidak boleh dijadikan alasan pemerintah tidak hadir dalam kasus-kasus intoleransi.
Stabilitas di tahun politik, kata dia, bukanlah alasan yang dapat dibenarkan untuk mendesak minoritas tunduk pada tekanan kelompok yang mengaku mewakili unsur mayoritas masyarakat. Sayangnya, menurut Halili, pemerintah saat ini masih tersandera politisasi identitas agama, sehingga tidak berani mengambil tindakan nyata.
“Pemerintah tidak boleh canggung dalam melakukan penegakan hukum secara presisi dengan tujuan menjamin keadilan bagi korban dan memberikan efek jera bagi pelaku, ketiadaan penegakan hukum akan mengundang kejahatan lain,” katanya.
Pewarta: Markus Saragih