Ketum PGI: “Pada momen 77 tahun Indonesia merdeka kita perlu belajar dari para pendiri bangsa”
JAKARTA,PGI.OR.ID-Pada momen 77 tahun Indonesia merdeka kita perlu belajar dari para pendiri bangsa. Semisal pada Sidang BPUPKI, 22 Juni 1945, dibentuk Panitia Sembilan, yang diketuai oleh Soekarno. Kita tahu bersama hasil dari Panitia Sembilan ini, Piagam Jakarta. Lalu pada 18 Agustus 1945, Sidang PPKI menyepakati perubahan sila pertama, dengan menghilangkan tujuh kata. Perubahan ini, untuk menjaga kepentingan bangsa dan negara karena Indonesia terdiri dari beragam suku dan agama.
Hal tersebut ditegaskan Ketua Umum PGI Pdt. Gomar Gultom dalam Dialog Nasional Lintas Agama, di Masjid Istiqlal, Jakarta, pada Senin (8/8/2022). Dialog mengusung tema Membina Persaudaraan Melalui Hikmah Peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia ke-77.
“Buat saya menarik, bagaimana AA Maramis, yang Kristen sedia mencantumkan 7 kata dalam Piagam Jakarta, dan bagaimana Kyai Abdul Wahid Hasyim, Teuku Muhamad Hasan dll yang muslim sedia menghapus tujuh kata tersebut pada 18 Agustus. Inilah yang saya lihat, kesediaan memasuki kesepakatan dengan mengedepankan kepentingan bersama, dan mengorbankan kepentingan diri dan kelompok,” jelasnya, dalam dialog yang digagas oleh Badan Pengelola Masjid Istiqlal ini.
Selain itu, lanjut Ketum PGI, kita juga perlu belajar dari ungkapan para pendiri bangsa kita yang menyatakan bahwa kemerdekaan itu tidak semata karena adanya kejuangan mereka, tetapi adalah rahmat Tuhan, baik di teks proklamai maupun pembukaan UUD 1945. Ini merupakan sebuah pengakuan tetapi sekaligus juga tanda kerendahan hati, yang membuka pintu untuk senantiasa mensyukuri rahmat Tuhan atas Indonesia merdeka.
Munculnya semangat kesatuan bangsa di tengah beragam suku dan agama adalah rahmat dan anugerah Tuhan. Tanpa kesediaan sedemikian, kita tidak akan mengenal dan menikmati indahnya kemajemukan Indonesia. “Saya merasa perlu menyampaikan hal pertama ini di tengah kecenderungan kita sekarang yang selalu mau menang sendiri dan memaksakan kehendak kita. Ruang publik kita, ganti kita berbagi dengan memberi kesempatan semua pihak mengekspresikan dirinya secara adil, kini ruang publik dipenuhi dengan rebutan yang seolah tak pernah berakhir,” ujarnya.
Selain itu, Ketum PGI juga menyoroti keragaman masyarakat kita, termasuk keragaman agama, kini sedang diusik oleh fanatisme agama, yang menurutnya perlu disaring oleh keindonesiaan kita. “Soekarno mengatakan, kalau mau jadi Islam tidak harus menjadi orang Arab, kalau mau jadi Kristen tak harus menjadi irang Jahudi dan kalau mau jadi Hindu tidak harus jadi orang India. Ini penting kita camkan kini agar keindonesiaan kita tidak terserabut karena fanatisme agama dan kemajemukan kita tidak tersekat-sekat karena paham keagamaan,” katanya.
Lanjutnya, dalam lingkungan gereja, merumuskan pergumulan rangkap gereja-gereja, yang di satu sisi orang Kristen bergumul dengan Tuhannya dalam arti menghayati kebenaran dan anugerah di dalam Kristus, dan, di pihak lain, sekaligus merupakan pergumulan dengan kebudayaan dan realitas masyarakat di mana orang Kristen itu hidup, yakni NKRI dan Pancasila.
Namun menurutnya, gereja perlu mengingatkan: “Pendekatan yang melulu teoritis terhadap Pancasila cenderung menjerumuskan kita pada probelamtika teoritis pula, tanpa menyentuh problematika nyata yang mendesak yang terjadi di tengah-tengah masyarakat yang sedang membangun. Pendekatan teoritis terhadap Pancasila mengandung bahaya akan melibatkan kita ke dalam suatu usaha yang melelahkan dan sia-sia, karena menghadapi keruwetan teoritis yang tak akan pernah mampu kita uraikan…. Masalah-masalah yang nyata malah jadi terlantar…Pancasila bisa membeku dan buntu dalam bentuk formal sehingga tidak lagi mampu memberikan ilham serta daya dorong untuk bertindak.”
Dia pun menyinggung kehadiran para pemuda ASEAN lintas agama di acara tersebut. “Saya mengingatkan kita semua fenomena keberagamaan kaum muda dewasa ini. UIN Syarif Hifayatulah tahun lalu merilis hasil penelitian yang memgatakan kaum muda muslim lebih banyak mendapatkan ajaran agama dari medsos, dengan narasumber dari ustad-ustad yang tidak otoritatif secara teologis. Mereka kebanyakan adalah ustad dadakan karena faktor selebritas,” jelasnya.
Dalam kaitan ketiga hal ini, Ketum PGI memandang perlunya pertemuan para tokoh agama seperti yang digagas secara berkala oleh Badan Pengelola Mesjid Istiqlal ini, dengan harapan para tokoh agama makin kuat mendorong umatnya beragama secara cerdas, dengan menghidupi substansi agama ketimbang mengendepankan simbol-simbol keagamaan, dan sedia melepas klaim-kalim keagamaannya semata, sebagaimana para pendiri bangsa kita. Semuanya demi Indonesia yang jaya dan majemuk.
Sementara itu, Imam Besar Mesjid Istiqlal, Prof Dr KH Nazaruddin Umar, mengatakan selama para tokoh agana bersatu maka tiang-tiang langit akan makin kokoh, dan sebaliknya kalau para tokoh agama terbelah akan runtuhlah tiang-tiang langit.