PGI

  • Tentang PGI
  • Sinode Gereja Anggota PGI
  • Biro & Bidang
    • Keadilan dan Perdamaian
    • Kesaksian dan Keutuhan Ciptaan
    • Keesaan dan Pembaruan Gereja
    • Biro perempuan dan Anak
    • Biro Pemuda dan Remaja
    • Biro Penelitian dan Pengembangan
    • Biro Papua
    • Biro Pengurangan Risiko Bencana
    • Pelayanan Komunikasi Masyarakat
  • NEWS
    • Warta PGI
    • Berita Gereja
    • Indonesia
    • Dunia
    • Siaran Pers
    • Info
    • Pokok Doa
    • Opini

PGI

  • Tentang PGI
  • Sinode Gereja Anggota PGI
  • Biro & Bidang
    • Keadilan dan Perdamaian
    • Kesaksian dan Keutuhan Ciptaan
    • Keesaan dan Pembaruan Gereja
    • Biro perempuan dan Anak
    • Biro Pemuda dan Remaja
    • Biro Penelitian dan Pengembangan
    • Biro Papua
    • Biro Pengurangan Risiko Bencana
    • Pelayanan Komunikasi Masyarakat
  • NEWS
    • Warta PGI
    • Berita Gereja
    • Indonesia
    • Dunia
    • Siaran Pers
    • Info
    • Pokok Doa
    • Opini
  • Tentang PGI
  • Sinode Gereja Anggota PGI
  • Biro & Bidang
    • Keadilan dan Perdamaian
    • Kesaksian dan Keutuhan Ciptaan
    • Keesaan dan Pembaruan Gereja
    • Biro perempuan dan Anak
    • Biro Pemuda dan Remaja
    • Biro Penelitian dan Pengembangan
    • Biro Papua
    • Biro Pengurangan Risiko Bencana
    • Pelayanan Komunikasi Masyarakat
  • NEWS
    • Warta PGI
    • Berita Gereja
    • Indonesia
    • Dunia
    • Siaran Pers
    • Info
    • Pokok Doa
    • Opini

PGI

PGI

  • Tentang PGI
  • Sinode Gereja Anggota PGI
  • Biro & Bidang
    • Keadilan dan Perdamaian
    • Kesaksian dan Keutuhan Ciptaan
    • Keesaan dan Pembaruan Gereja
    • Biro perempuan dan Anak
    • Biro Pemuda dan Remaja
    • Biro Penelitian dan Pengembangan
    • Biro Papua
    • Biro Pengurangan Risiko Bencana
    • Pelayanan Komunikasi Masyarakat
  • NEWS
    • Warta PGI
    • Berita Gereja
    • Indonesia
    • Dunia
    • Siaran Pers
    • Info
    • Pokok Doa
    • Opini
Opini
Home Archive by Category "Opini"

Category: Opini

Opini
September 20, 2023

Pelajaran dari Tangisan dan Keharuan di Poso

Oleh Pdt. Jimmy Sormin

Beberapa waktu lalu Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) melalui Bidang Kesaksian dan Keutuhan Ciptaan (KKC) bersama Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina, menyelenggarakan pelatihan fasilitator Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) di Poso, Sulawesi Tengah. Salah satu hal yang membekas pada pelatihan ini adalah tangisan dan keharuan peserta setelah sekian lama tidak berinteraksi antara umat Kristen dan Islam di Poso pasca-konflik komunal beberapa dekade.

Sejak timbulnya konflik berdarah ini pada 1998, masyarakat tersegregasi, antara penduduk Nasrani dan Muslim. Korban jiwa dan beragam kerugian tidak hanya dialami oleh kedua kelompok umat beragama tersebut, umat Hindu khususnya juga terdampak konflik sarat keagamaan ini. Ada ketegangan dan ketakutan mewarnai hidup masyarakat sehari-hari, bertahun-tahun. Saat itu ekonomi lumpuh, dan hingga sekarang masih melandai. Interaksi antarwarga dipenuhi dengan rasa khawatir dan curiga satu sama lain. Hal ini menimbulkan trauma yang ternyata belum sepenuhnya teratasi di kabupaten yang dahulunya menjadi salah satu jalur pertemuan antara banyak rute di Sulawesi Tengah.

Konflik di Poso ini belum mengalami rehabilitasi secara sistematis dan berkelanjutan pasca-konflik, baik oleh pemerintah maupun organisasi-organisasi sipil yang mumpuni dalam isu perdamaian dan transformasi konflik. Seusai konflik komunal di Poso itu, selama bertahun-tahun masyarakat dihantui oleh gerakan terorisme. Salah satu kelompok teroris yang dianggap telah tuntas penanganannya adalah kelompok “Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Ali Kalora. Hal ini ditandai dengan tewasnya anggota terakhir bernama Askar atau yang dijuluki “Pak Guru” pada September 2022 lalu.

Sekalipun demikian, pada semester pertama 2023 ini telah terungkap dan tertangkap kelompok teroris lain, Jamaah Islamiyah (JI), di Sulawesi Tengah. Fakta ini seakan menjaga bayang-bayang ketakutan di Poso untuk tidak segera usai.

Pada hari pertama pelatihan fasilitator KBB, masih tampak kecanggungan antara beberapa pemuka agama Islam dan Kristen untuk berinteraksi. Para fasilitator sejak awal mencoba untuk mencairkan suasana dengan perkenalan dan beberapa permainan. Namun, satu hari belum cukup membangun keterbukaan dan kedekatan mereka. Pada hari-hari berikutnya, setelah mengalami beragam aktivitas bersama dalam pelatihan ini, para pemuka atau tokoh tadi semakin dekat, bahkan sedia berkolaborasi ke depan.

Bagi para peserta, kegiatan yang dibuat PGI ini adalah ruang perjumpaan yang langka. Berkali-kali dalam diskusi dengan pihak pemerintah, Plt. Sekretaris Daerah dan pejabat Kesbangpol Kabupaten Poso yang hadir dalam pelatihan ini, peserta mengharapkan agar pemerintah memfasilitasi sebanyak-banyaknya ruang perjumpaan itu dalam bentuk kegiatan-kegiatan antariman dan budaya. Tujuannya agar trauma yang masih mereka miliki, termasuk masyarakat pada umumnya, dapat semakin dipulihkan. Tidak semata upaya-upaya keamanan atau pembangunan infrastruktur yang pemerintah harus pikirkan, tetapi rehabilitasi sosial dalam bentuk pemulihan trauma dan pembangunan manusia adalah yang paling krusial.

“Setelah puluhan tahun saya tidak dekat dengan saudara-saudara yang Muslim, lama sekali tidak mengalami perayaan Idul Fitri seperti di masa lalu saat saya bebas dan senang merayakan bersama.  Sekarang saya sudah punya saudara-saudara yang akan saya kunjungi saat Idul Fitri nanti. Kami sudah janjian juga Natal nanti akan dikunjungi saudara-saudara saya ini,” ungkap seorang pendeta perempuan saat memberi kesan tentang kegiatan ini. Mendengar ungkapan itu, keharuan menyelimuti ruangan pelatihan.

Di antara peserta terlihat mata-mata basah yang mewakili perasaan yang sama. Bahkan saat doa bersama, pecah tangis dari seorang Imam masjid, dari salah satu lokasi yang dahulunya sangat ditakuti. Saat itu beliau didaulat untuk memimpin doa dengan cara Islam. Ia mendoakan kesatuan hati dan masa depan yang lebih baik untuk seluruh warga Poso, serta setiap pihak yang sudah memfasilitasi perjumpaan dan pelatihan itu.

Tidak saja terbangunnya kembali rasa percaya dan kedekatan antarumat seperti di atas, peserta pelatihan juga meneruskan pertemuan ini dengan kegiatan-kegiatan kolaboratif secara berkelompok, untuk Poso Kota dan Poso Pesisir. Seluruh kegiatan itu selain didukung sebagian pendanaannya oleh PGI, mereka juga secara sukarela menyumbang untuk kesuksesan implementasinya. Seluruh kegiatan yang akan mereka selenggarakan itu akan membangun ruang-ruang perjumpaan bagi ratusan warga masyarakat lainnya. Beberapa kegiatan dimaksud seperti kemah pemuda antariman, aksi antariman untuk penyelematan ekosistem pantai, dan sosialisasi atau diskusi tentang KBB.

Belajar dari pengalaman di atas, memang krisis ruang perjumpaan di Poso adalah kebutuhan krusial dalam mengurai serta memulihkan trauma masyarakat yang pernah mengalami beragam konflik dan aksi terorisme. Pemerintah patut menempatkan hal ini sebagai prioritas program. Dengan masyarakat yang pulih dan sehat relasi sosialnya, rasa saling percaya terbangun, kolaborasi dan beragam transaksi ekonomi semakin meningkat, demikian pula rasa percaya dan terdorongnya pihak-pihak investor untuk pembangunan Poso. Generasi-generasi muda Poso ke depan juga harusnya diharapakan tidak lagi mewarisi kebencian dan ketakutan, demikian pula tidak menggantungkan masa depan di luar Poso yang menuntut migrasi besar, melainkan mengoptimalkan sumber daya atau beragam potensi di pesisir maupun pegunungan Poso.

Ruang perjumpaan memang terkesan sepele. Tidak hanya di Poso sejatinya. Di banyak tempat juga mengalami krisis ruang perjumpaan. Akibat beragam praktik politisasi agama, masuknya ideologi transnasional bernafaskan intoleransi dan ekstremisme keagamaan, masyarakat menjadi terpolarisasi dan segregasi. Hal ini didukung pula dengan beberapa sektor lain, seperti pendidikan. Sekolah-sekolah mulai pendidikan usia dini hingga perguruan tinggi sudah mewakili identitas keagamaan tertentu.

Bukan tidak mungkin seseorang hanya mengalami pendidikan di kelompok keagamaannya sendiri sejak kecil hingga dewasa, tanpa mengalami perjumpaan dengan orang-orang yang beragama dan berbudaya lain. Sekalipun teknologi digital dapat menjembatani terjadinya perjumpaan, namun eksklusivisme yang terbangun dalam hati dan pikiran turut mendorong pembatasan interaksi di ruang digital itu. Tak jarang malah turut memperkuat kebencian dan diskriminasi terhadap kelompok-kelompok lain dengan kemudahan berekspresi di media-media sosial.

Bagaimanapun, setiap kita bertanggung jawab untuk membangun kembali ruang perjumpaan yang sehat. Kita perlu memulainya dari niatan atau pikiran yang adil terhadap sesama manusia. Upaya lain seperti membangun literasi tentang keadilan dan kedamaian, kolaborasi antariman dan sektor untuk membangun kesejahteraan bersama, dan pengawalan terhadap beragam kebijakan pemerintah terkait pengelolaan keberagaman dan hak KBB patut untuk terus kita lakukan. Dengan niatan dan upaya ini, kita mengharapkan tidak ada lagi korban dan warisan kebencian yang muncul ke depan di tanah air tercinta ini.

 

Penulis, Sekretaris Eksekutif Bidang KKC PGI

Read More
By markus
Opini
September 4, 2023

Jubileum 120 Tahun Injil di Simalungun dan Memorialisasi Peresmian Monumen Djaulung W. Saragih

Oleh: Chris Poerba

Pada 2 September 2023, Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) memperingati Jubileum 120 tahun Injil datang di Tanah Sumalungun, Sumatera Utara. Mengenang peristiwa tersebut tidak lepas dan sosok Djaulung Wismar Saragih, pendeta pertama di Simalungun dan mendirikan GKPS.

Hoekema dan Swellengrebel menyebut Wismar dengan Martin Luther dari Simalungun (Een Simaloengoensche Luther) atas perannya sebagai orang Nusantara yang pertamakali menerjemahkan Alkitab secara mandiri ke salah satu bahasa di Nusantara: Simalungun. Alkitab Nusantara. Melalui Wismar, maka kitab suci dapat dibaca semua orang, khususnya orang Simalungun, karena pada waktu itu, kitab suci hanya otoritas para penginjil zending Jerman RMG saja.

Selain memiliki peran dalam hal agama, kiprah Wismar juga terdapat dalam bidang kesenian, kebudayaan, kesetaraan gender dan perempuan, diantaranya: mendirikan Comite Na Ra Marpodah Simalungun (1928), Menerbitkan Sinalsal majalah pertama di Simalungun (1931-1942), penerjemah Alkitab pertama di Nusantara (1928-1950), penyusun Kamus Simalungun pertama (1937),  perintis Museum Simalungun (1939), dan perintis Sekolah Perempuan pertama. Biografi lengkapnya dapat dibaca di https://id.m.wikipedia.org/wiki/Jaulung_Wismar_Saragih

Wismar pun merintis sekolah perempuan yaitu ‘Sekolah Putri’ yang berlangsung pada sore hari (1915). Sama halnya dengan para perintis lainnya sekitar tahun 1900, seperti Dewi Sartika mendirikan ‘Sakola Istri’ (1904), Roehana Koeddoes mendirikan sekolah perempuan ‘Kerajinan Amai Setia’  (1911), ‘Sekolah Kartini’ (1912) didirikan oleh Yayasan Kartini oleh Keluarga Kartini.

Deventer seorang tokoh Politik Etis, dan Wismar mendirikan Sekolah Putri Sore (1915). Berbeda dengan ketiga nama yang telah disebut sebelumnya (Sartika, Koeddoes, Kartini), maka di Simalungun sekolah untuk perempuan dirintis oleh seorang laki-laki: Wismar Saragih. Saya telah menulisnya dengan judul “Emansipasi Simalungun dan ‘Herstory’ dari Tiga Ompung Boru” dalam buku Gender, Seksualitas, dan HAM Perempuan (2022).

memorialisasi peresmian Monumen J. Wismar Saragih

Dia pun memimpin rakyat  (Simalungun) untuk mendukung kemerdekaan Indonesia yang baru diproklamirkan beberapa bulan oleh Soekarno-Hatta. Wismar menyampaikannya melalui mimbar gereja, maupun pidato umum, seperti yang dilakukannya di Lapangan Sepak Bola Pematang Raya, pada tanggal 23 Desember 1945.

Jumat, 1 September 2023, telah dilakukan memorialisasi peresmian Monumen J. Wismar Saragih, di Kecamatan Raya, Pamatang Raya, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Semoga upaya memorialisasi ini semakin mengenalkan sosok dan peran Wismar kepada masyarakat luas, dan mohon dukungan doa agar semakin dimudahkan untuk tahap selanjutnya.

“Janganlah kita hidup sekarang jadi pembohong. Biarlah sifat jujur yang kita warisi dari nenek moyang, tetap kita pertahankan dan dapat kita sumbangkan kepada generasi penerus, kepada bangsa Indonesia dan kepada orang Simalungun khususnya” (Pdt. Jaulung Wismar Saragih)

 

 

Jakarta, 2 September 2023

Penulis, aktifis keberagaman dan pemerhati budaya

Read More
By markus
Opini
May 8, 2023

Catatan dari Konferensi Dewan Gereja Asia (CCA) 2023

 

Oleh: Pdt Rudy Rahabeat

Tanggal 27 September-3 Oktober 2023 akan berlangsung Sidang Raya ke-15 Dewan Gereja Asia/CCA (Christian Conference of Asia) di Kottayam Kerala India. Kurang lebih 400 peserta akan menghadiri Sidang yang berlangsung lima tahun sekali tersebut. Gereja Protestan Maluku (GPM) sebagai salah satu angggota CCA mendapat quota peserta 3 orang guna menghadiri Sidang Raya tersebut, dengan memperhatikan keterwakilan laki-laki dan perempuan.

Sebelum iven bersejarah ini terlaksana, telah berlangsung Konferensi bagi para pemimpin gereja negara-negara Asia di Jakarta. Sebagai Wakil Sekretaris Umum Majelis Pekerja Harian Sinode GPM menghadiri acara yang berlangsung di Hotel Millenium Sirih Tanah Abang Jakarta, 1-5 Mei 2023. Berikut beberapa catatan singkat terkait kegiatan oikumenis tersebut.

Pertama, Asian Church and Ecumenical Leaders Conference (ACELC).  Kegiatan oikumenis yang dihadiri seratus pimpinan lembaga gereja dari 28 negara di Asia, termasuk Australia dan Selandia Baru. Selain gereja ortodoks, Lutheran, Calvinis, hadir pula perwakilan dari Gereja Mar Thoma India. Mar Thoma adalah gereja yang meyakini bahwa rasul Thomas menginjili hingga wafat di India.

Kegiatan ACELC 2023 ini bertema “Changing Ecclesial and Ecumenical Landscape in Asia: Our Witness and Accompaniment”. Tema ini menegaskan realitas dan dinamika perubahan bergereja dan gerakan oikumene di Asia serta panggilan untuk terus bersaksi dan membangun solidaritas kemanusiaan lintas bangsa. Isu-isu global seperti kemiskinan, kerusakan lingkungan hidup, demokratisasi, korupsi, dialog lintas agama, gender, human trafficking, transformasi digital, dan sebagainya merupakan masalah-masalah global yang membutuhkan respons kreatif dan dinamis dari semua lembaga termasuk gereja-gereja.

Hal ini ditegaskan pula oleh Sekretaris Jenderal Dewan Gereja Asia (CCA), Dr Matthews George Chunakara dalam pengantar konperensi. Tidak ada jalan lain untuk mengatasi masalah-masalah ini selain memperkuat solidaritas, mengembangkan kepemimpinan yang relevan dengan perubahan dan membangun budaya serta tata kelola yang baik dan transformatif. 

Kedua, kepemimpinan Berintegritas dan good governance serta konsensus. Presiden Dewan Gereja Sedunia Regio Asia yang juga mantan Sekjen CCA dan mantan Ketua Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Pdt Dr Henriette Lebang-Hutabarat menyajikan materi tentang kepemimpinan transendental. Ini merupakan model kepemimpinan yang melampaui kepemimpinan transaksional dan tranformasional. Jika kepemimpinan transaksional lebih berfokus pada kepentingan material, dan kepemimpinan transformasional terpusat pada individu, maka kepemimpinan transcendental melampaui keduanya dan merangkul semesta ciptaan.

Penting sekali menghindari jebakan antroposentrisme (berpusat pada manusia semata) dan perlunya aspek ekosentrisme (berpusat pada keutuhan ciptaan). Bhisop Steven Lawrence dari Gereja Lutheran Malaysia menyajikan materi tentang kepemimpinan pelayan/hamba. Ia merujuk pada kepemimpinan Yesus yang datang untuk melayani bukan untuk dilayani. Dalam kaitan ini penting pula memperhatikan aspek tata kelola yang baik (good governance). Rev.Terence Corkin menyajikan materi tentang prinsip, nilai-nilai dan relevansi konsep Good Gavernance bagi gereja. Menurut Rev Corkin dari Uniting Church in Australia hal-hal penting terkait tata kelola yang baik mesti memperhatikan akuntabilitas dan transparansi, mengikuti aturan hukum, responsif – terbuka untuk yang baru dan informasi dan opini yang berbeda, adil dan inklusif, efektif dan efisien serta partisipatif.

Rev. Tara Tautari dari Gereja Methodis Selandia Baru menyajikan materi tentang Consensus Decision Making: Prospect and Challenges for Implementation. Menurutnya seorang pemimpin idealnya dalam pengambilan keputusan tidak bersifat otoriter dan elitis. Ia mestinya terbuka mendengar dan merangkul semua perbedaan. Sayangnya, dalam praktiknya karena bias gender dan kendala bahasa misalnya, maka keputusan-keputusan tidak lagi berdasarkan konsensus (mufakat bersama) tetapi bersifat dominatif dan diskriminatif. Pemimpin dan kepemimpinan yang baik hendaknya adil dan inklusif serta emansipatif.

Ketiga, Ecumenical Diakonia-Call to Transformation. Pdt Dr Merry Kolimon, Ketua Sinode GMIT (Gereja Masehi Injili di Timor)  pada hari keempat kegiatan menyajikan refleksi teologi tentang agenda dan praksis diakonia transformatif. Menurut Pdt Kolimon, selain diakonia karitatif dan diakonia reformatif maka diakonia transformatif merupakan panggilan gereja yang urgen saat ini. Ia mencontohkan berbagai bencana yang terjadi di penjuru dunia, termasuk di Nusa Tenggara Timur, seperti badai Siklon dan Gempa Bumi telah memanggil gereja-gereja dan lembaga-lembaga kemanusiaan untuk menyatakan solidaritas dan aksi nyata untuk menolong para korban.

Bukan itu saja, namun bencana alam tersebut memicu direvitalisasi kembali pranata-pranata sosial budaya yang menegaskan kerjasana dan gotong royong di antara sesama. Solidaritas global juga hadir melalui jaringan gereja-gereja di lingkup Asia (CCA) maupun dunia (WCC). Sejak tahun 2014 Dewan Gereja Sedunia (WCC) menerbitkan Dokumen Called to Transformation. Ecumenical Diakonia. Rev. Matthew Ross dari Dewan Gereja Sedunia (WCC) dalam presentasinya menyatakan komitmen Dewan Gereja Sedunia untuk terus mengembangkan dan membumikan Diakonia. Misi, diakonia dan ekumenisme merupakan inti dari apa artinya menjadi Gereja. Seperti yang kita ketahui bahwa ada empat panggilan gereja yang utama yakni koinonia, marturia, diakonia dan oikudomia. Keempat panggilan ini saling terkait dan perlu sungguh-sungguh dilaksanakan oleh gereja-gereja di belahan bumi manapun, termasuk di Asia.

Keempat, kader-kader muda aktivis gerakan oikumene. Salah satu hal yang menarik dalam Konferensi ini adalah keterlibatan orang-orang muda dalam gerakan oikumene. Memang amatan sekilas peserta konferensi masih didominasi orang tua (diatas 50 tahunan) tetapi panitia dan staf CCA adalah orang-orang muda yang enerjik dan kreatif. Mereka bekerja di belakang layar menyiapkan segala sesuatu demi kelancaran kegiatan tersebut. Panitia lokal berasal dari Gereja Protestan Indonesia bagian Barat (GPIB) dan ditopang oleh Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI).

Diantara orang-orang muda itu dua diantaranya yakni Karen Erina Puimera yang saat ini merupakan anggota Central Committee Dewan Gereja Sedunia (WCC) mewakili unsur pemuda, perempuan dan non pendeta. Karen berasal dari Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB). Selanjutnya, Calvin Tehuayo (27 tahun) merupakan salah satu Staf CCA yang berasal dari Gereja Protestan Maluku. di CCA ia merupakan Staf Profetik Diakonia yang cukup sibuk membantu jalannya kegiatan tersebut. Calvin merupakan alumni Fakultas Teologi Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM) Ambon. Sejak tahun 2019 ia bergabung dengan CCA yang berkantor di Chiangmai Thailand.

Pria asal Desa Lafa Kecamatan Telutih Maluku Tengah ini sedang berproses sebagai Calon Pendeta (Vikaris) Gereja Protestan Maluku. Calvin merupakan sosok yang mewakil kaum muda yang terlibat dalam gerakan oikumene internasional. Pada aras Nasional (PGI) GPM mengutus beberapa pelayannya seperti Pdt Jacky Manuputty (Sekum PGI), Pdt Hendrek Lokra (Sekretaris Eksekutif Keadilan dan Perdamaian PGI) dan Pdt Suresjh Tomaluweng (Kepala Biro Pengurangan Resiko Bencana PGI). 

Kelima, saling mendengar dan berbagi pengalaman serta komitmen etik. Suasana konferensi selain menampilkan beragam presentasi, tetapi juga kesediaan mendengar dan berbagi pengalaman merupakan hal yang indah. Ambil contoh, Ms Juliate Malakar dari Christian Commission for Development in Bangladesh (CCDB) Bangladesh menyampaikan kerja-kerja lembaganya bersama komunitas basis di Bangladesh mengembangkan sumber daya energi terbarukan untuk menghadapi perubahan iklim dan merawat bumi. Ancaman krisis energi membutuhkan aktivasi kearifan lokal yang ramah lingkungan.

Demikian pula pengalaman dari Timor Leste yang disampaikan Levi Vasconselos tentang perjuangan Igreja Protestante iha Timor Lorosae (IPTL) sebagai gereja minoritas di Timor Leste yang mayoritas beragama Katolik. Bagaimana gereja di sana berjuang membuat jemaat-jemaatnya mandiri secara ekonomi maupun sosial budaya. Hal yang sama dibagikan pula secara personal oleh Rev. Juliana Temparaja, Sekretaris Umum Sinode IPTL. Semangat mengembangkan diakonia transformatif juga dibagikan oleh Diaken Ayub Junus, selaku Direktur Yayasan Diakonia (Yadia) GPIB serta berbagi pengalaman berharga dari negara lainnya seperti Korea Selatan, Filipina, India, Srilanka, dan sebagainya.

Saling berbagi dan saling belajar juga terasa dalam sesi setiap kebaktian pagi dan refleksi teologi serta penelaahan Alkitab, juga interaksi antar peserta di sela-sela makan bersama maupun waktu istirahat. Tak terlupakan tentu saja kunjungan langsung dan acara ke kantor Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) di Jalan Salemba 10 Jakarta juga atraksi seni dan budaya yang disajikan Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB) di lokasi gedung Gereja GPIB Imanuel Jakarta, salah situs sejarah Protestantisme di Indonesia dan Asia pada umumnya.

Partisipasi dalam kegiatan konferensi CCA ini selain menambah wawasan dan referensi terkait isu-isu global sekaligus merajut persahabatan dengan berbagai peserta dari berbagai gereja dan negara. Kehadiran kami mewakili GPM merupakan wujud komitmen dan konsistensi untuk turut berperan aktif dalam gerakan oikumene baik pada aras lokal, nasional maupun global.

Semua ini selaras dengan amanat panggilan gereja, sebagaimana doa Tuhan Yesus agar semuanya menjadi satu (ut omnes unum sint). Kesatuan dan keragaman untuk bersama-sama mengembangkan oikumene semesta yang memperkuat relasi dan komunikasi antar-gereja, antar-agama dan antar-negara untuk bersama-sama menjaga dan merawat bumi sebagai rumah bersama yang damai dan sejahtera bagi semua ciptaan. Dalam terang tema Sidang Raya ke-15 CCA 2023 “God Renew Us In Your Spirit and Restore the Creation”, kiranya Allah Pencipta di dalam Kristus dan Roh Kudus senantiasa membarui kita untuk terus membarui gereja dan dunia serta memulihkan seluruh ciptaan menjadi baru dan sejahtera. Tuhan memberkati kita semua.

 

Penulis Wasekum Sinode GPM, dan peserta ACELC

Read More
By admin
Opini
April 4, 2023

Mewujudkan Kekristenan Otentik

 

Oleh Weinata Sairin

“Hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia, hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu, dan hendaklah hatimu melimpah dengan syukur.” —Kolose 2:7

Umat Kristen yang hidup di abad-abad pertama begitu banyak menghadapi tantangan, hantaman multidimensi yang menyerang iman mereka telak dan bertubi-tubi. Serangan itu tidak saja datang dari dalam, soal teologi, relasi iman dengan budaya setempat, tetapi juga dari luar: Resistensi masyarakat, sikap penguasa yang tidak ramah, dan sebagainya.

Sebagai “agama” baru, tentu saja kekristenan tidak begitu mudah diterima oleh khalayak pada zaman itu yang telah memiliki pandangan hidup tertentu dan telah memengaruhi kedirian mereka, bahkan telah memberi mereka kenyamanan tertentu serta mengurung mereka dalam “zona nyaman”.

Jemaat di Kolose yang dikirimi surat oleh Paulus terdiri dari orang-orang eks-Yahudi, bahkan ada banyak orang yang dulunya tidak mengenal Allah (vide 1:21, 2:13). Dalam kondisi seperti itu maka penguatan spiritual warga menjadi hal yang sangat urgen, agar dengan iman yang teguh-kukuh mereka bisa survive di tengah guncangan zaman yang mereka hidupi pada era itu.

Paulus mengungkapkan beberapa kata kunci dengan mengacu pada diksi dan vokabulari yang amat dikenal dalam kehidupan umat sehari-hari. la meminta agar warga Jemaat Kolose “berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia”. Akar, yang biasanya jauh menghunjam ke dalam tanah, adalah benda yang membuat sebuah pohon tegak dan kukuh berdiri. Pohon dengan “akar serabut” maupun “akar tunggang” memiliki kekuatan sejati justru pada akarnya itu. Itulah sebabnya, dalam merawat tanaman para petani tidak hanya menyiram pokok dan dahan tanaman itu, tetapi juga akarnya.

Jika akar tidak kuat, kurang pupuk, ia akan menjadi lemah dan nirnutrisi sehingga tak mampu menjadi penyangga pohon tatkala pohon menjadi besar. Akar adalah dasar, fundamen, yang membuat sebuah pohon/tanaman bertahan hidup. Akar, radiks, radikal, mengacu pada pemaknaan kekuatan mendasar yang memiliki kedalaman dan penetrasi yang kuat. Ada kalimat standar: “Jika mau membubarkan suatu organisasi tidak cukup hanya secara formal hukum, tetapi harus dibasmi hingga ke akar-akarnya”.

Menarik, bahwa Paulus menggunakan kata “berakar” dari dunia agraris dan kata “dibangun” dari khazanah konstruksi. Secara eksplisit diingatkan, “berakar di dalam Dia” berarti berakar dan mengakar kepada Yesus Kristus yang telah mereka terima sebagai Tuhan (ayat 6). Jadi, bukan berakar kepada kekuatan-kekuatan lain, syariat yang lain, atau filsafat kosong menurut roh dunia yang bertentangan dengan Kristus (ayat 8). Jemaat tidak saja berakar kepada Kristus (keterikatan kepada yang di bawah seperti layaknya akar) tetapi juga dibangun di atas Dia.

Kristus dalam konteks ini adalah fondasi yang kuat, di atasnya bangunan kekristenan itu didirikan. Membuat fondasi untuk sebuah bangunan, apalagi bangunan bertingkat yang tahan berbagai guncangan itu bukan hal yang mudah. Para arsitek dari teknik sipil ada yang khusus mendalami aspek ini. Dulu, jika kita lewat di tempat-tempat yang ada pembangunan gedung, sering kita baca “foundation by Franky”. Itu menunjukkan bahwa Grup Franky ini memiliki keahlian khusus dalam hal membuat fondasi bangunan, misalnya jenis dan merek semen yang digunakan, komposisi adukannya, berapa lama pengerjaannya, dan sebagainya. Ucapan Paulus, “dibangun di atas Dia” adalah sebuah ungkapan imperatif bahwa konstruksi kekristenan hanya bisa teguh, kukuh, dan tangguh jika Kristus menjadi dasarnya.

Paulus juga menekankan agar umat bertambah teguh dalam iman Yang diajarkan kepada mereka, dan agar hati mereka melimpah dengan syukur. Realitas konteks yang dihadapi umat waktu itu memang tidak kondusif terhadap iman Kristen, ada banyak aliran yang menyesatkan iman yang membawa umat ke arah yang salah. Umat harus menghadapi realitas itu dengan meneguhkan iman sambil tetap bersyukur kepada Tuhan.

Kita umat kristiani tengah menghidupi sebuah dunia yang penuh dengan beragam turbulensi. Ada arogansi keagamaan ketika di suatu wilayah NKRI tak bisa dibangun gedung gereja, ada sisa-sisa sikap barbar tatkala tempat ibadah dihancurkan dan pejabat Gereja yang sedang  melakukan pelayanan di gereja dianiaya, ada warga Gereja yang bertahun-tahun tak bisa beribadah di gedung gereja, dan begitu banyak persoalan internal dan eksternal yang mendera kehidupan kita sebagai warga Gereja dan warga bangsa.

Di tengah realitas ini, Paulus mengajak kita mengaplikasikan empat keywords penting, yaitu BERAKAR, DIBANGUN, BERIMAN TEGUH dan BERSYUKUR. Kesemuanya itu ditujukan kepada Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamat kita. Karena itu, mari terus memberi yang terbaik dalam hidup ini, menggarami dan menerangi dunia, menampilkan kekristenan yang cantik, otentik, elegan, penuh cinta kasih, dan menebarkan buah-buah Roh (Galatia 5:22-23) tanpa jeda, tanpa lelah.

Dalam kasus skenario pembunuhan berencana di kompleks Duren Tiga Jakarta Selatan yang melibatkan oknum-oknum beragama Kristen, kekristenan secara tidaklangsung ikut mengalami pengaruh negatip. Publik melihat itu secara cermat, apalagi pimpinan tertinggi organidasi itu juga beragama Kristen. Kita takboleh berfikir bahwa kasus itu bagian dari budaya kekristenan secara formal. Itu murni urusan pribadi oknum-oknum yang adalah warga Gereja. Kita takboleh terjebak dengan menyatakan bahwa itu seolah wujud formal sebuah agama.

Dalam konteks itu maka Gereja-gereja harus terus berjuang menghadirkan sebuah kekristenan yang elegan, penuh kasih, yang mengarami dan menerangi dunia. Ditengah masa-masa Pra Paskah sekarang ini kita diingatkan bahwa Yesus telah menjalani jalan sengsara demi Keselamatan abadi yang Ia anugerahkan bagi umat manusia. Kita harus merespons hal itu dengan mewujudkan kekristenan sejati, kekristenan otentik, bukan kekristenan KTP, kekristenan formalistik atau pseudo kekristenan.

God Bless Us. God Bless NKRI!

 

 

Read More
By markus
Opini
March 24, 2023

Kedamaian Berbangsa Menuju Pemilu 2024 Tanpa Politisasi Agama

 

Oleh: Pdt Gomar Gultom

Sebagai bangsa, kita telah menetapkan demokrasi sebagai kendaraan menuju masyarakat adil dan makmur yang kita cita-citakan. Dan salah satu prasyarat negara demokrasi adalah penyelenggaraan Pemilu secara berkala, sebagai mekanisme berkala pemilihan wakil rakyat untuk menjadi penyelenggara negara. Pemilu merupakan salah satu pilar utama dari proses akumulasi kehendak masyarakat.

Dengan demikian melalui Pemilu 2024 rakyat Indonesia sedang menilai kontrak yang pernah diberikan kepada wakil-wakilnya di masa lalu, dan pada saat sama juga akan menentukan orang-orang yang dipercayai untuk memimpin negeri ini ke masa depan.

Sebagai demikian, sekalipun Pemilu 2024 bukanlah segala-galanya bagi tegaknya NKRI dan bagi upaya pensejahteraan masyarakat yang adil dan makmur, namun tanpa Pemilu 2024 yang berkualitas akan mempersulit masyarakat dan bangsa Indonesia menggapai keadilan dan kesejahteraan di masa depan. Oleh karena itu, menjadi keharusan bagi kita semua memperjuangkan dan mengawal penyelenggaraan Pemilu 2024 ini untuk sungguh-sungguh mencerminkan nilai-nilai demokrasi, yakni kemanusiaan, kesetaraan, keadilan dan profesionalitas, dengan tetap berpegang teguh pada keutuhan masyarakat dan bangsa Indonesia yang berazaskan Pancasila dan UUD 1945.

Kita bersyukur bahwa sejak Reformasi 1998, Indonesia telah mampu menyelenggarakan Pemilu yang makin mencerminkan nilai-nilai demokrasi, dan telah melahirkan penyelenggara yang lebih mencerminkan kehendak rakyat. Namun dari pengalaman Pemilu akhir-akhir ini, terlihat makin menggejalanya pengedepanan Politik Identitas, yang ditengarai juga akan mewarnai penyelenggaraan Pemilu 2024 yang akan datang.

Kenyataan kemajemukan Indonesia memang merupakan lahan subur dan konsekwensi logis bagi muncul dan berkembangnya Politik Identitas. Keberadaan identitas sebuah kelompok atau komunitas, entah agama atau etnis, di ruang publik, dengan mudah dikapitalisasi untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Apalagi kalau para kontestan tidak memiliki profesionalitas yang mumpuni dan rekam jejaknya terasa kurang, akan tergoda untuk mengedepankan Politik Identitas. Dan penggunaan sentimen agama merupakan pendekatan yang sangat digermari mengingat masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang agamaniah.

Sesungguhnya Politik Identitas ini bagaikan pedang bermata dua. Di satu sisi kehadirannya menjanjikan suatu kebaikan, namun di sisi lain cenderung melanggar hak-hak kelompok identitas lain. (bandingkan Bush: “kita atau musuh”). Oleh karena itu, kalau Politik Identitas tidak bisa dihindari, maka yang perlu adalah bagaimana mengelola ekspresinya di ruang publik.

Kalau kita perhatikan awal kemunculan Politik Identitas, terlihat bahwa dia berawal dari perjuangan kelompok-kelompok minoritas yang merasa terpinggirkan dan teraniaya. Penggunaan Identitas tertentu selalu merupakan perjuangan sekelompok orang yang merasa tersingkir oleh dominasi arus besar, dan perjuangannya adalah Keadilan untuk Semua. Gerakan Martin Luther King dan Black Moslem dll: karena mengalami perlakuan yang tidak adil dan ingin diberlakukannya persamaan dalam masyarakat. Semuanya mengarah pada dorongan untuk memperoleh persamaan hak dan derajat atas kelompok dominan atau mayoritas dan lebih didorong oleh perjuangan keadilan sosial, bukan karena kepentingan politik tertentu.

Sayangnya, yang berkembang di Indonesia belasan tahun terakhir ini, Politik identitas dilakukan oleh kelompok mainstream, dengan niat ”menyingkirkan” kaum minoritas yang dianggapnya ”menyimpang” atau ”menyeleweng”. Meski di permukaan isu yang kedengarannya indah, namun pada kenyataannya ini tak lain dari politisasi (bahkan instrumentalisasi) identitas tertentu, entah etnis atau agama, dan tragisnya, seraya menegasikan bahkan menyingkirkan mereka yang berasal dari identitas yang berbeda.

Dengan demikian sesungguhnya yang perlu diupayakan adalah bagaimana mengelola Politik Identitas ini tetap dalam semangat Pluralisme. Pluralisme tidak berarti seseorang harus menanggalkan identitas keagamaan dan komitmennya terhadap agama tertentu. Pluralisme intinya adalah perjumpaan komitmen untuk membangun hubungan sinergis satu dengan yang lain. Pluralisme tidak bermaksud melebur berbagai identitas yang ada, tetapi merangkai dengan indah berbagai identitas itu demi tujuan kemanusiaan yang hakiki.

Selain itu, Politik Identitas itu diarahkan untuk menghadirkan diri sebagai narasi perlawanan dari mereka yang terpinggirkan dan menghadirkan diri sebagai wahana mediasi penyuaraan aspirasi bagi yang tertindas.

Maka untuk mewaspadai pragmatisme politik yang akhirnya mempolitisasi atau menginstrumentalisasi agama atau etnis, diperlukan partai yang kuat sebagai soko guru demokrasi, yang mempersiapkan proses kaderisasi yang memampukan para kadernya bekerja profesional, tampil dengan kontentasi berbasis visi dan program ketimbang pendekatan primordial dan sektarian, yang potensial membuat perpecahan. Sebuah partai sehat, yang kukuh pada perjuangan kesetaraan dan nilai-nilai universal.

Akhirnya, saya ingin mengutip Buya Syafii Maarif  yang berbicara tentang Politik Identitas demikian: “Politik identitas dalam bentuk apa pun tidak akan membahayakan keutuhan bangsa dan negara ini di masa depan, selama cita-cita para pendiri bangsa tentang persatuan dan integrasi nasional, semangat Sumpah Pemuda yang telah melebur sentimen kesukuan, dan Pancasila sebagai dasar filosofi negara tidak dibiarkan tergantung di awang-awang, tetapi dihayati dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh  dan penuh tanggung jawab.”

 

Penulis, Ketua Umum PGI

Read More
By markus
Opini
March 17, 2023

Refleksi Paskah di Tengah Pergumulan Bangsa

Oleh: Pdt. Dr. Arnold A. Abbas

Umat Kristiani di seluruh dunia, tidak lama lagi akan merayakan Paskah. Paskah tahun ini yang jatuh pada, 9 April 2023, akan diperingati dan dirayakan di tengah situasi dunia yang sedang diliputi oleh berbagai pergumulan.

Tantangan berat yang dihadapi oleh umat manusia dewasa ini antara lain adalah ancaman krisis ekonomi global berkaitan dengan perang di Eropa antara Rusia dan Ukraina. Demikian juga bencana alam yang terjadi di beberapa negara, seperti gempa bumi di Turki yang menewaskan ribuan orang, banjir dan angin topan yang melanda negara-negara yang ada di Asia, Eropa dan Amerika.

Di negara kita sendiri Indonesia, kita bersyukur karena bangsa kita sudah pulih dari pandemi covid-19, sehingga  aktivitas  ekonomi mulai tumbuh.  Namun krisis global yang sedang melanda dunia, dampaknya juga terasa di negara kita.  Dalam kondisini ini kita juga akan  menghadapi agenda nasional lima tahunan, yaitu pesta demokrasi pemilihan Presiden dan Legislatif 2024, yang sudah mulai terasa geliatnya saat ini, yang menimbulkan potensi konflik, dan disintegrasi bila tidak disikapi dengan Arif dan bijaksana. Sementara dibeberapa daerah juga terjadi bencana alam yang membuat rakyat semakin menderita dan terpuruk.

Di tengah situasi itulah umat Kristiani akan merayakan Paskah. PGI dan KWI telah menetapkan tema Paskah adalah: “Ia mendahului kamu ke Galilea; Jangan Takut!” (Matius 28:7, 10)

Paskah adalah Peristiwa kebangkitan/kemenangan Kristus atas kuasa maut (kuasa kegelapan). Peristiwa Paskah sesungguhnya membebaskan manusia dari segala ketakutan, kekuatiran dan frustrasi, sebab maut sudah di kalahkan oleh kebangkitan Kristus (I Kristus 15:55 dan 57). 

Yesus yang bangkit dari kematian, memulihkan iman murid-murid-Nya. Seperti kesaksian Injil Matius”:  “Dan katakanlah kepada murid-murid-Nya bahwa Ia telah bangkit dari antara orang mati. Ia mendahului kamu ke Galile”. Maka kata Yesus kepada mereka: “Jangalah takut” (Matius 28:7 dan 10).

Dalam konteks itu, perayaan Paskah umat Kristiani memberikan kekuatan dan harapan bagi umat manusia untuk bangkit dari keterpurukan dan penderitaan. Sehingga kita memiliki optimisme menjalani hari-hari kedepan bersama Kristus yang bangkit.

 

Manado, Bolevard Dua, Maret 2023.

 

Penulis, Ketua Umum Gereja Masehi Injili Talaud (GERMITA)

 

Read More
By markus
OpiniUtama
December 1, 2022

Geliat Gereja di Tengah Bencana-Catatan Perjalanan dari Cianjur

Oleh: Pdt. Jacky Manuputty

Selasa (29/11) seharian saya berada di Cianjur untuk mengunjungi beberapa wilayah terdampak bencana, serta melihat kerjasama jaringan gereja dan lembaga-lembaga Kristen dalam penanganan bencana Cianjur. Memasuki wilayah Cianjur sekitar jam 7.30 WIB, jalanan cenderung macet oleh berbagai kendaaraan dan ambulance pemasok bantuan dari berbagai lembaga kemanusiaan.

Di kiri dan kanan jalan nampak hamparan tenda serta berbagai pos bantuan dari  beragam lembaga kemanusiaan. Lokasi Cianjur yang mudah terjangkau dari Jakarta dan kota-kota di sekitarnya memudahkan distribusi logistik datang dari banyak pihak untuk membantu masyarakat terdampak.

Pos Terpadu Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) dan Penguatan Kapasitas Lokal
Memasuki Pos Terpadu PGI yang berpusat di gedung gereja GKP Cianjur, saya berjumpa teman-teman lintas gereja yang dikordinir oleh PGIS Cianjur. Pos Terpadu yang diinisiasi Biro PRB PGI dengan Jakomkris, PGIS Cianjur, dan lembaga-lembaga Kristen lainnya, berupaya memperkuat kordinasi lintas gereja dan lembaga Kristen dalam hal penanganan bencana. Kordinasi memang menjadi kata kunci dalam penanggulangan bencana seperti ini. Semua lembaga berniat baik untuk membantu, namun niat baik saja tak cukup. Dibutuhkan kesediaan untuk berkordinasi antarlembaga, sehingga daya intervensi kemanusiaan lebih efektif, efisien, dan tertata di lapangan. Pos Terpadu dengan demikian menjadi terminal untuk berbagi sumber daya antar berbagai jaringan Kristen penanggulangan bencana.

Pengelolaan Pos Terpadu sejauh ini dilakukan oleh tenaga-tenaga relawan dari jemaat GKP Cianjur. Mengingat terbatasnya kapasitas tenaga yang tersedia, MJ GKP Cianjur mengharapkan adanya tambahan tenaga relawan dari 23 gereja anggota PGIS Cianjur. Permintaan ini dapat dimengerti mengingat kapasitas gereja-gereja local untuk penanggulangan bencana sangatlah terbatas. Mekanisme standar untuk penanganan bencana seperti ini tidaklah mudah bagi lembaga gereja yang belum pernah mengalaminya. Pengelolaan gudang, distribusi, pendataan, dan berbagai kegiatan terkait dengan fase tanggap darurat kebencanaan membutuhkan kepasitas tim yang kuat dan terlatih.

Saat bencana terjadi, Tim dari Pos Terpadu PGI melakukan distribusi bantuan secara langsung ke 33 titik terdampak selama beberapa hari. Mereka kemudian memutuskan untuk membuka dapur umum dan menyediakan makanan siap makan untuk 500 orang/hari. Setelah beberapa hari, dapur umum itu kemudian ditutup karena kelelahan dan keterbatasan tenaga, selain berbagai lembaga sudah juga membuka pelayanan dapur umum. Tim dari Pos Terpadu PGI yang dikordinir oleh PGIS Cianjur dan GKP Cianjur merubah strategi dengan cara menyalurkan bantuan bahan makanan ke dapur-dapur umum yang bermitra dengan mereka. Saat ini mereka telah menyalurkan bantuan ke 30 titik dapur umum.

Sejak Senin (28/11), Pos Terpadu PGI memutuskan untuk memasuki tahap penanggulangan 14 hari ke depan dengan memberi perhatian kepada keluarga-keluarga jemaat yang terdampak, selain warga masyarakat di sekitar gereja mereka. Dijelaskan oleh Ketua PGIS Cianjur bahwa pada hari-hari pertama bencana, mereka belum secara spesifik memberi perhatian kepada warga jemaat yang terdampak. Saat itu mereka  lebih focus pada masyarakat secara umum. Siapa saja yang datang dan meminta bantuan pasti akan diberikan seadanya. Kini mereka akan membantu keluarga-keluarga dari jemaat-jemaat di Cianjur dan sekitarnya yang terdampak karena mereka telah memperoleh data-data yang lebih lengkap.

Belajar dari berbagai bencana yang terjadi di Indonesia, Biro PRB-PGI terus mendorong gereja-gereja anggota PGI untuk menginstalasi unit Penanggulangan Risiko Bencana di gereja mereka masing-masing, terutama di gereja-gereja yang berada di wilayah dengan risiko bencana tinggi. Untuk maksud itu Biro PRB-PGI sedapat mungkin mengonsolidasikan sebaran sumber daya jaringan yang tersedia guna membantu gereja-gereja anggota PGI yang membutuhkan pendampingan bagi pengadaan unit PRB di gereja masing-masing.

Bencana yang terjadi di Cianjur merupakan momentum untuk menguatkan gereja-gereja anggota di wilayah Jawa Barat, khususnya Cianjur, bagi peningkatan kapasitas PRB di masa depan. Jejaring mitra gereja dan berbagai lembaga kemanusiaan lainnya umumnya bekerja dengan durasi waktu terbatas, sementara pengelolaan dampak bencana akan berlangsung dalam waktu panjang. Menyikapi fakta ini, jejaring gereja dan lembaga mitra gereja perlu didorong untuk sungguh-sungguh menguatkan kapasitas mitra lokal di wilayah bencana, sehingga kelak mereka memiliki kecukupan pengetahuan dan kapasitas mandiri untuk mengelola situasi bencana dan paska bencana di masa depan.

Dalam kaitan itu, perlu dihindari ketergantungan warga lokal kepada lembaga-lembaga yang cenderung mengembangkan perilaku ‘savior syndrome’ (Sindrom Juruselamat) dan memosisikan warga lokal sebagai korban semata, bukan penyintas.

Penerimaan Warga dan Kerjasama Antaragama
Kunjungan ke beberapa lokasi terdampak seakan memupus viralnya berita tentang penolakan bantuan oleh warga disana berdasarkan perbedaan agama. Dalam percakapan dengan teman-teman lintas gereja dan lembaga di Pos Terpadu PGI, tidak terdengar sedikitpun cerita tentang penolakan warga. Kunjungan langsung ke lapangan malah memperlihatkan betapa antuasiasnya warga bekerjasama dengan teman-teman Jakomkris dan gereja-gereja lokal  disana. Tak ada warga yang mempertanyakan asal usul lembaga bantuan ataupun latar belakang agama. Menurut mereka, beberapa kasus yang diviralkan di media sosial hanyalah ulah kelompok-kelompok kecil yang tak didudukung oleh masyarakat setempat. Aparat keamanan bahkan telah menyikapi dan menindak para peneror pekerja kemanusiaan itu.

Di lapangan, rekan-rekan jaringan dan lembaga Kristen membangun kerjasama lintas iman dengan beberapa organisasi Muslim setempat, di antaranya dengan LPBI-NU PCNU Jabar maupun Kab. Cianjur. Teman-teman dari Gerakan Kemanusiaan Indonesia (GKI) yang membangun Pos Penanggulangan di gedung gereja GKI Cianjur, juga mengelola Kerjasama dengan teman-teman Gusdurian, GP Ansor, dan lainnya. Kerja-kerja kemanusiaan di tengah bencana memang harus menjadi simpul bagi penguatan relasi antaragama, mengingat bencana tak memiliki identitas agama.

Dalam kunjungan ke Desa Cisarandi, ditemukan kerusakan bangunan dalam skala yang luas. Menurut warga setempat, hanya tersisa 8 rumah yang tidak retak dari total 300 KK. Selebihnya terjadi keretakan, patahan, dan ambruk dalam skala yang berbeda-beda. Warga terdampak memilih tinggal di tenda-tenda pengungsi dalam wilayah desa yang menjadi area pelayanan teman-teman dari Mennonite Diakonia Services (MDS). Di desa itu mereka menginstalasi wadah pengelolaan air bersih yang bisa menghasilkan air siap minum sebanyak 1000 lt/hari, selain menyelenggarakan kegiatan-kegiatan pemulihan trauma bagi anak-anak. Interaksi teman-teman jaringan Oikumene dengan warga disitu terlihat sangat akrab. Teman-teman MDS bahkan menggelar satu tenda yang bertindihan dengan kuburan warga desa untuk tempat peristirahan mereka selama melayani disitu.

Pemulihan trauma bagi anak-anak adalah kerja besar paska bencana yang perlu konsolidasi serius. Bencana yang terjadi siang hari saat kegiatan persekolahan sedang berlangsung berdampak pada meninggalnya banyak anak akibat tertimpa reruntuhan sekolah. Catatan jumlah guru yang meninggal juga cukup tinggi dibanding total jumlah korban jiwa. Menyikapi situasi itu, beberapa lembaga Kristen lainnya berinisiatif untuk mengelola area trauma healing dalam kerjasama dengan guru-guru dan lembaga pengajian di wilayah terdampak, bermodalkan kapasitas yang tersedia. Selain MDS, teman-teman dari POUK di Bekasi mengirim tim khusus untuk mengelola aktifitas ini; begitu pula teman-teman dari dari pos penanggulangan di GKI Cianjur.

Membangun Gereja Tangguh Bencana
Selepas kunjungan ke beberapa area terdampak, koordinasi jaringan dilakukan di Pos Terpadu pada jam 16.00 sampai jam 19.30. Di antara yang hadir adalah; Jakomkris, Pelkesi, YEU, YAKKUM, PGIS, GKP, HKBP, POUK Jati Asih, YSDK-GKP, dan GKP Cianjur sebagai tuan rumah. Teman-teman yang hadir membagi pengalaman pelayanan di area masing-masing, tantangan yang dihadapi, serta berbagai pelajaran menarik yang diperoleh dari lapangan.

Disadari bahwa penanggulangan paska bencana masih menjadi rangkaian kerja panjang yang membutuhkan banyak tenaga. Tidak tertutup kemungkinan  bagi terjadinya gempa susulan, sekalipun pelepasan energi gempa telah semakin kecil. Hal yang mencemaskan bahwa episentrum gempa pada kedalaman 5-10 km di wilayah itu memperlihatkan kedangkalan gempa. Kondisi ini cukup berbahaya kalau ada gempa-gempa susulan. Struktur batuan di daerah Cianjur juga cukup lapuk, ditambah mulainya musim hujan, sehingga potensi longsoran dan goncangan masih mungkin terjadi.

Terhadap berbagai tantangan di atas, gereja-gereja di wilayah bencana harus sungguh-sungguh meningkatkan kapasitas mereka dalam hal Penanggulangan Risiko Bencana. Sangatlah penting bagi gereja untuk memaknai momentum ini guna bertumbuh sebagai gereja yang peduli terhadap kerentanan geografis di wilayahnya. Pengelolaan logistik di saat bencana sangat penting, namun pemulihan fisik dan pemukiman paska bencana tak boleh disepelekan, terutama untuk membangun konstruksi rumah yang tahan bencana.

Dalam kaitan ini, sejak setahun terakhir PRB-PGI telah berkordinasi dengan BNPB untuk menggagas konsep ‘Gereja Tangguh Bancana.’ Sangat diharapkan gereja-gereja anggota PGI dapat secara serius menaruh perhatian terhadap berbagai potensi bencana di wilayahnya, mengingat kontur geografis Indonesia yang dikenal juga dengan istilah ‘super mall’ bencana.

 

Penulis, Sekretaris Umum PGI

Read More
By markus
Opini
September 2, 2022

Booster Oikoumenis untuk Rekonsiliasi dan Persatuan

Oleh: Fary Djemy Francis

 Saya bersyukur bisa mengikuti Sidang Raya ke-11 Dewan Gereja – Gereja se-Dunia (WCC), yang diikuti oleh 4000-an peserta dari berbagai negara dan hadir 322 gereja – gereja anggota. Pertemuan ini dilaksanakan di Kota Karlsruhe, Jerman. Tentang nama lokasi pertemuan ini, ternyata ada sejarahnya. Menurut Archbishop Gereja Ortodox, Radu Constantin Miron, Karlsruhe berarti Karl yang tidur. Menurut legenda, saat pendiri kota ini tertidur dekat sebuah pohon, ia bermimpi dan mendapatkan ide untuk membangun kota ini. Itu sebabnya dinamai Karlsruhe.

Dalam semangat untuk membangun rekonsiliasi dan persatuan, kehadiran para peserta dalam sidang raya ini tentu bukan untuk tidur-tiduran melepas lelah atau sekadar liburan. Archbishop Miron berkata bahwa Gereja Jerman mengharapkan persidangan ini tidak menjadi tempat untuk tidur. Tuhan akan selalu bertanya, apakah kita masih tidur. Semua ini tergantung kepada kita, apakah Karlsruhe ini akan tidur oikoumene atau akan bangkit. Archbishop berharap Sidang Raya ini menjadi semacam wake up call untuk hal-hal baru.

Tema sidang raya ini adalah “Kasih Kristus Menggerakkan Dunia untuk Rekonsiliasi dan Persatuan”. Bagi Rev Christian Krieger, Presiden Conference of Europian Churches (CEC), Sidang Raya ini harus menggapai visi rekonsiliasi dan persatuan di tengah dunia yang kini tercabik-cabik. “Bagi kami di Eropa, bagaimana menyampaikan suara kenabian pada para pemangku kepentingan, menjadi pergumulan nyata. Tema Sidang Raya ini berada di jantung misi kita selagi terus-menerus menyampaikan suara nabiah di tengah masyarakat Eropa yang makin sekuler.” Menurutnya, kasih Kristus merengkuh kita ke dalam rekonsiliasi dan kesatuan, sehingga kita mendapat makna baru di tengah situasi dunia saat ini. Migrasi, rasisme yang berkelanjutan, populisme yang memecah, krisis lingkungan, meningkatnya persenjataan hingga perang Ukrania-Rusia; semua tantangan ini menggaris bawahi tanggung jawab gereja, bagaimana memelihara dunia yang damai.

Sentralisasi dari seluruh pertemuan, perjumpaan, dialog, sharing selama sidang raya ini adalah KASIH. Tanpa kasih kita tak dapat menggapai rekonsiliasi dan kesatuan. Kasih Allah harus menjadi kiblat kita semua. Sebab seperti kata Rasul Paulus, tanpa kasih kita tidak bisa melakukan apa-apa. Oleh karena itu, kasih Kristus harus menggerakkan kita ke arah perdamaian dan kesatuan, yang kita dambakan sekian lama.

Karena kasih itu menggerakkan rekonsiliasi dan kesatuan dunia, dari Kota Karlsruhe ini kita mempertanyakan mengapa tak ada rekonsiliasi antara Rusia dan Ukraina? Apakah karena tak ada lagi kasih itu? Rev Christian Krieger menggarisbawahi perang Rusia – Ukraina di sidang raya ini dan menegaskan apa artinya menjadi gereja di Eropa dan apa maknanya menjadi tuan rumah sidang raya ini. Krieger berharap Sidang Raya ini menjadi semacam booster oikoumenis bagi Eropa, yang mentrasnformasikan semua orang bagi ekumene global untuk rekonsiliasi dan persatuan.

* * *

Sejak tanggal 31 Agustus sampai 8 September 2022, para peserta dan delegasi Sidang Raya berkumpul di “kota tidur” Karlsruhe ini. Nama kota ini menjadi semacam otokritik bagi gereja-gereja saat ini. Mungkin sudah cukup lama kita telah menjadi gereja yang tidur, gereja yang susah melekkan matanya. Apakah tidurnya gereja-gereja itu, seperti si Karl yang akhirnya menemukan ide untuk membangun kota? Ataukah tidurnya gereja-gereja kita itu adalah tidur karena kelelahan, kemalasan, apatis, penuh beban, tak bergairah dan kehilangan masa depan?

Karslruhe adalah otokritik bahwa selama ini kita sering menjadi gereja yang tidur. Gereja yang peduli dengan urusannya sendiri. Gereja yang hanya fokus pada pelayanannya sendiri. Gereja yang tidak berani membuka mata dan melihat keluar dari jendelanya tentang sesuatu realitas lain di luar sana. Gereja yang sudah merasa nyaman dalam ghetto (gua) buatannya sendiri. Gereja yang tidak berani menyeberang ke situasi dan kondisi yang lain. Apakah di Karlsruhe ini kita mau tidur-tiduran lagi atau mau bangkit bersama?

Karlsruhe adalah serentak gugatan kolektif kepada gereja-gereja agar jangan tidur, tetapi berjaga-jagalah. Kita adalah gereja yang hidup di tengah-tengah dunia. Maka, di luar kita ada realitas-realitas dunia. Kita sedang berhadapan dengan situasi dunia saat ini: migrasi, rasisme yang berkelanjutan, populisme yang memecah, krisis lingkungan, ancaman senjata nuklir, meningkatnya persenjataan hingga perang Ukraina – Rusia. Ini realitas dunia yang juga realitas yang dihadapi gereja-gereja kita. Apakah kita masih mau tidur? Atau harus segera bangkit untuk berjuang bersama menciptakan rekonsiliasi dan kesatuan?

Bagi kita saat ini, rekonsiliasi adalah vaksin. Sama halnya kesatuan. Gereja-gereja, bangsa-bangsa harus diberi vaksin rekonsiliasi dan kesatuan. Namun, vaksin-vaksin itu menjadi lengkap, kuat, bertahan dan sempurna jika kita memiliki booster yang namanya KASIH. Booster kasih ini memampukan vaksin rekonsiliasi dan vaksin kesatuan bekerja maksimal karena hanya booster kasih yang sanggup menggerakan keduanya.

* * *

Dalam konteks gereja-gereja di Indonesia, kita memang sangat membutuhkan booster kasih untuk bisa menggerakkan vaksin rekonsiliasi dan kesatuan. Gereja – gereja Indonesia juga menghadapi persoalan-persoalan tersendiri. Dengan tidak menjadi gereja yang tidur (terus), kita bisa memahami realitas di sekitar kita. Kurang lebih 2 tahun, kita menghadapi pandemi Covid-19. Ini pukulan keras dan besar bagi gereja-gereja kita. Covid membongkar dan memporakporandakan kemapanan cara berpikir, tata cara liturgis, cara pandang kita tentang yang lain.

Pandemi Covid-19 menantang gereja-gereja untuk mengembangkan pelayanan dalam berbagai bentuk inovasi karena berbagai pembatasan yang ditetapkan oleh otoritas kesehatan. Gereja-gereja di Indonesia memainkan peran signifikan dalam upaya penanggulangan Pandemi Covid19 bersama pemerintah dan berbagai elemen bangsa lainnya.  Selama Pandemi Covid-19, gereja-gereja mengelola perannya dalam tiga kategori; 

a. Gereja sebagai pusat mengelolaan pengembangan makna. Pademi berkepanjangan memperhadapkan orang pada berbagai pertanyaan substansial mengenai kehidupan dan peran Allah di dalamnya. Dalam situasi itu gereja hadir untuk menawarkan  makna hidup serta model spiritualitas yang harus dipegang umat untuk beradaptasi dengan tantangan Covid-19. Banyak pemikiran teologi serta rumusan spiritualitas bencana dan model-model pastoral dikembangkan oleh berbagai gereja di Indonesia selama Pandemi Covid-19.

b. Gereja sebagai pusat literasi dan edukasi. Peran literasi dan edukasi dikelola gereja dalam kerja sama dengan berbagai pemangku kebijakan serta otoritas kesehatan dan pemerintah. Pandemi Covid-19 sebagai sebuah koreksi kemanusiaan dalam abad ini menuntut orang beradaptasi dengan sejumlah kebiasaan baru yang membutuhkan pengetahuan dasar serta kapasitas tekhnis. Gereja menawarkan literasi dan edukasi dalam untuk memenuhi kebutuhan itu, karenanya di banyak gereja tersedia pusat penanggulangan/gugus tugas Pandemi Covid-19.

c. Gereja sebagai pusat gerakan solidaritas. Pandemi Covid-19 menghantam kehidupan bukan saja pada aspek kesehatan, tetapi juga berimbas pada situasi sosial, ekonomi, dan politik. Dalam realitas ini, gereja-gereja terpanggil untuk menyuarakan dan menggerakan solidaritas kemanusiaan dalam berbagai bentuk yang bertujuan untuk saling meringankan beban. Berbagai inovasi dilakukan, terutama dalam bidang diakonia transformatif.

Realitas lain, selain Covid-19 adalah persoalan krisis dan ketidakadilan ekologis. Hingga saat ini alam terus merintih akibat kerusakan lingkungan hidup secara masif dan menimbulkan masalah perubahan iklim yang sangat serius. Kita ibarat di ambang kiamat ekologis. Melunturnya moralitas dan keadilan ekologis, hanya untuk memenuhi pemuasan keinginan daging/dunia (epithumia), telah membawa kita pada pandemi kerakusan. Kerusakan ekosistem hutan dan laut, pemanasan global yang semakin akut, harus didengar oleh umat Kristen sebagai panggilan dan langkah imannya.  

Ini semua merupakan bentuk ketidakadilan ekologis, yang tidak semata mengancam dan mengorbankan alam, tetapi juga setiap entitas yang ada di dalamnya, termasuk masyarakat adat. Mereka yang lahir dan hidup di tanah atau alam yang mereka diami selama ini harus tercerabut dari asalnya, akibat perampasan tanah oleh konsesi-konsesi raksasa. Sumber pangan dan penghidupan mereka sehari-hari semakin berkurang, bahkan menghilang, akibat penebangan hutan secara masif dan aktivitas penambangan yang terus menjalar pada titik-titik yang memiliki sumber daya alam untuk diekstraksi.  

Kerusakan hutan, menjadi penanda paling mudah untuk melihat masalah lingkungan hidup. Meski kerusakan juga dapat terjadi di laut, atau di kebun-kebun warga. Perubahan bentang alam yang dikonversi akan nampak nyata terlihat sebagai wujud kerusakan lingkungan. Banjir dan longsor adalah dampak yang melekat diantaranya, manakala kerusakan hutan telah terjadi. Tiap tahunnya, hutan di Indonesia terus menerus kehilangan luasan dan tegakkan pohon atau deforestasi, yang diakibatkan oleh industri berbasis lahan skala besar, seperti pertambangan, perkebunan dan Kehutanan. Ketiganya juga sering disebut industri ekstraktif, karena aktivitasnya yang melakukan pembongkaran tanah dan hutan. Industri pariwisata yang skala besar pun berpotensi melakukan hal sama.      

Konsesi-konsesi perusahaan tambang, perkebunan skala besar dan industri kayu, tak hanya mengalih-fungsikan hutan alami. Tak jarang, lahan-lahan pertanian, pemukiman warga, juga hutan-hutan masyarakat adat diserobot. Tak jarang, rumah-rumah badah pun turut tergusur. Konflik lahan pun muncul, kebanyakan warga yang menjadi korban. Dikriminalkan hingga meregang nyawa, demi mempertahankan tanah kelola mereka.  

Konflik lahan yang diakibatkan oleh pertambangan, perkebunan skala besar dan kehutanan, selalu ada tiap tahun kejadiannya. Kasusnya bisa bertambah atau turun. Konflik terjadi tak hanya antar perusahaan dengan warga saja. Aparat keamanan dengan warga, juga antar warga itu sendiri. Tentunya, warga yang berpihak kepada perusahaan dalam hal ini. Konflik yang terjadi, tak hanya berawal dari persoalan penggusuran atau perampasan lahan. Dampak lingkungan yang ditimbulkan juga turut berkontribusi menghadirkan konflik. Warga yang menuntut kerugian akibat banjir, longsor atau pencemaran dari operasional perusahaan, sering dihadapkan kepada aparat atau preman, kemudian menimbulkan pertikaian.    

* * *

Kita sekarang bertolak ke konteks Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT). GMIT memang harus belajar dari filosofi Karlsruhe, tidur untuk menghasilkan sesuatu yang positif atau sekali-kali jangan tidur tetapi berjaga-jagalah. GMIT memang tidak boleh tidur di tengah aneka realitas NTT yang bahkan secara gamblang ada di depan mata kita.

  • Kasus pekerja migran NTT
    Salah satu kasus yang sering terjadi di NTT adalah banyaknya pekerja migran illegal asal NTT yang bekerja di luar negeri. Permasalahan pokok adalah kemiskinan di NTT. Itu yang mendorong banyak orang NTT keluar NTT. Kemiskinan mengakibatkan anak-anak dari Nusa Tenggara Timur pergi bermigrasi ke Malasyia, Hongkong dan negara–negara lainnya di Asia Tenggara.  Faktanya  tidak semua Pekerja Migran  beruntung sebagian besar mereka mengalami kekerasan, gaji tidak dibayar, dokumen ditahan oleh majikan bahkan mirisnya ada yang meninggal. Periode 2016-2019 kasus kematian pekerja migran berasal dari Kupang, Flores dan Sumba berdasarkan data yang dihimpun Shelter Rumah Aman Sinode GMIT sebanyak  250 orang.  Walaupun di NTT saat ini sudah ada moratorium pengiriman pekerja migran, tetapi para pekerja illegal terus bergerak ke luar. Setiap saat selalu ada kiriman pekerja migran NTT yang meninggal di tempat kerja. 
  • Bencana Seroja
    Pada bulan April 2021 lalu, perhatian Indonesia kembali diseret ke NTT ketika badai siklon seroja terjadi dan melanda seluruh bagian NTT. Kondisi ini diperparah dengan durasi badai yang cukup lama dan ciri geografis NTT yang terbagi dalam beberapa pulau. Kondisi ini mengakibatkan terbatasnya akses transportasi, komunikasi, dan listrik sehingga distribusi logistik menjadi terhalang karena alasan tersebut. Dalam kondisi tanggap darurat seperti itu, ternyata telah ada beberapa lembaga jejaring lokal yang telah ada dan bekerja seadanya mereka. Dengan kondisi yang terbatas itu, PGI tetap mengelola perannya sebagai organisasi payung untuk mengorganisir peran-peran lembaga tersebut dalam kordinasi dengan GKS dan GMIT. Hasil koordinasi itu pun membuahkan hasil yang cukup memuaskan, GKS dan GMIT cuku terbantukan dengan kehadiran lembaga jejaring PGI yang bergerak ditengah situasi tanggap darurat kebencanaan. Selain mengorganisir lembaga jejaring, PGI telah membuka dompet peduli bagi bencana di NTT. Melalui rekening khusus untuk NTT sejauh ini telah diterima partisipasi gereja-gereja anggota PGI maupun lembaga lain dan perorangan yang peduli. Setiap bantuan dan penyaluran diinformasikan ke WAG Pimpinan Gereja Anggota PGI, maupun kepada lembaga dan perorangan yang menyumbang. 
  • Kasus Stunting
    Stunting adalah adalah kondisi serius pada anak yang ditandai dengan tinggi badan anak di bawah rata-rata atau anak sangat pendek serta tubuhnya tidak bertumbuh dan berkembang dengan baik sesuai usianya dan berlangsung dalam waktu lama.  Penyebabnya karena sang ibu tidak memiliki akses terhadap makanan sehat dan bergizi, sehingga menyebabkan buah hatinya turut kekurangan nutrisi. Selain itu, rendahnya asupan vitamin dan mineral yang dikonsumsi ibu juga bisa ikut memengaruhi kondisi malnutrisi janin.  

Secara nasional, pemerintah menargetkan tahun 2024 angka stunting harus sudah di posisi 14 persen. Kondisi terkini, kabupaten/kota di NTT masih bercokol di 23 persen ke atas. Berdasarkan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021, masih ada 15 kabupaten di NTT berstatus merah. Penyematan status merah tersebut berdasarkan prevalensi kasus stunting yang masih di atas 30 persen. Sementara sisanya, 7 kabupaten dan kota berstatus kuning dengan prevalensi 20 hingga 30 persen. Bahkan tiga daerah seperti Kabupaten Ngada, Sumba Timur dan Ngekeo mendekati status merah. Tidak ada satupun daerah di NTT yang berstatus hijau yakni berpravelensi stunting antara 10 hingga 20 persen. Apalagi berstatus biru untuk prevalensi stunting di bawah 10 persen.

* * *

Terhadap berbagai realitas ini, kita memang kembali pada spirit Sidang Raya gereja-gereja se-dunia ini. Apakah sebagai gereja, kita masih tertidur, suka tidur-tiduran atau menjadikan momen ini sebagai it’s time to wake up call. Gereja Eropa, gereja Indonesia dan GMIT tentu berharap persidangan ini tidak menjadi tempat untuk tidur. Tuhan akan selalu bertanya, apakah kita masih tidur.  Semua ini tergantung kepada kita, apakah kita masih mau tidur oikoumene atau akan bangkit. Minumlah booster kasih agar kita sanggup menggerakan rekonsiliasi dan kesatuan bagi dunia.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Read More
By markus
OpiniUtama
August 14, 2022

Tanpa Keragaman, Indonesia Tak Ada: Energy of Indonesia (Catatan Refleksi Rakernas PGIW 2022)

Oleh: Pdt. Mery Kolimon

Selama empat hari, pengurus Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia Wilayah (PGIW)/Sinode Gereja Am (SAG) dari berbagai tempat di seluruh tanah air bertemu dalam rapat kerja nasional (Rakernas) di Kota Yogyakarta. PGIW adalah persekutuan gereja-gereja anggota PGI maupun yang bukan PGI di suatu daerah tertentu. Sedangkan SAG lebih merupakan persekutuan gereja-gereja yang sinodenya berada di wilayah tersebut. Setelah tertunda karena pandemi, akhirnya agenda tahunan ini boleh berlangsung secara tatap muka.

Pertemuan onsite yang dimulai 11 Agustus 2022 dan selesai 14 Agustus 2022 itu berlangsung utamanya di kampus Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW), Jl. Dr. Wahidin Sudirohusodo, Jogjakarta. Panitia yang berasal dari gereja-gereja anggota dari PGIW Daerah Istimewa Yogyakarta menginapkan seluruh peserta di Hotel Artotel, Jl. Urip Sumoharjo, Yogyakarta. Untuk kegiatan ini ada dukungan yang serius dari Pemerintah Prov. DIY, UKDW, dan RS Betesda Yogyakarta.

Bus-bus Pemprov DIY dan UKDW siap mengantar peserta bolak balik dari hotel ke tempat kegiatan, termasuk ketika berkunjung ke keraton Yogya dan ke acara penutupan di candi Prambanan. Petugas medis dari RS Betesda siap melayani kesehatan para peserta Rakernas. Dinas-dinas terkait dari Pemprov DIY mendukung pula untuk pentas musik tradisional Jawa di lokasi Rakernas, termasuk sendratari Ramayana yang memukau di kawasan candi. Sepanjang acara ada sambutan singkat dari Rektor UKDW, dari wakil direktur RS Betesda. Sultan HBW X sebagai Gubernur DIY bersedia menerima peserta Rakernas di keraton dan menyampaikan pidato yang sangat bagus. Pak Wakil Gubernur, KGPAA Paku Alam X, menutup kegiatan dengan pidato singkat secara virtual.

Seluruh peserta Rakernas berjumlah 55 orang, yang datang dari 25 PGIW dan 2 PGI Setempat (PGIS). Hanya 3 PGIW yang tidak bisa hadir secara fisik. Mereka mengikuti pertemuan secara online, menggunakan media Zoom. Delegasi PGIW NTT terdiri dari lima orang: Pdt. Mery Kolimon/ketua umum PGIW NTT/GMIT), Pdt. Yuliana Ata Ambu (wakil ketua PGIW NTT/GKS), Pdt. Kirenius Bole (sekretaris umum PGIW NTT/BPD GBI NTT), Pdt. Cherfy Djenal (wakil sekretaris umum PGIW NTT GKPB MDC), Pdt. Anderias Hawu/anggota PGIW NTT/GMII). Rata-rata tiap PGIW mengirim dua atau tiga utusan. Yang paling banyak memang dari PGIW NTT. Biaya kesertaan utusan PGIW NTT berasal dari lembaga gereja masing-masing. Sepanjang pertemuan ada bahan belajar yang sangat baik dari para narasumber yang datang dari berbagai lembaga mitra PGI, maupun dari masing-masing peserta yang berbagi pengalaman dan refleksi mereka.

Spiritualitas Ugahari: Mampu Mengontrol Diri
Salah satu tema yang terus didorong PGI untuk menjadi pokok refleksi dan spiritualitas hidup gereja-gereja di Indonesia adalah keugaharian/hidup sederhana. Namun apa itu kesederhanaan?  Dalam kotbah di ibadah pembukaan Rakernas, Pdt. Wahyu Satria Wibowo, PhD, dosen Fakultas Teologi UKDW, berbagi refleksi yang menarik.

Beliau berkata: “Bagi orang-orang kaya, makan hanya dengan lauk ayam goreng mungkin disebut sederhana. Namun bagi pemulung sampah, makan dengan ayam goreng adalah kemewahan. Bagi pengusaha besar sehari-hari memiliki dan mengendarai mobil Pajero mungkin sederhana, namun bagi sebagian pendeta itu kemewahan”. Beliau mengutip pemikiran Sokrates, filsuf Yunani, bahwa ugahari/kesederhanaan adalah kemampuan mengontrol diri dari berbagai kenikmatan. “Makan adalah kenikmatan, berkendara adalah kenikmatan dan kehormatan adalah kenikmatan . . . Tahu batas cukup akan membuat kita bisa mengontrol sikap dan sekaligus cara pandang terhadap orang lain. . . Hidup berkecukupan adalah hidup yang tidak dikontrol dan diperintah oleh kenikmatan”.

Berefleksi dari Matius 25:31-46 beliau menekankan makna ugahari sebagai kesediaan berbagi, memikul tanggung jawab untuk keadilan sosial dan ekologis, serta tidak dininabobokan oleh uang dan kuasa sehingga takut membela kaum tertindas dan alam. Sebaliknya dengan menghidupi spiritualitas ugahari, gereja-gereja di Indonesia mesti bersedia berjuang bersama melawan keserakahan yang memiskinkan rakyat dan merusak alam. Gereja sendiri mesti berhati-hati untuk tidak mempraktikkan hidup serakah dan sebagai gantinya memiliki sikap yang jujur, matang, dan berpihak kepada kaum rentan dalam mengambil keputusan.  

Dalam sesi-sesi percakapan, khususnya dalam diskusi wilayah, para pengurus PGIW dari berbagai tempat di Indonesia berbagi mengenai praktik menghidupi spiritualitas di daerah masing-masing. Umumnya contoh-contoh yang disebutkan adalah mengenai kampanye dan upaya gereja mengurangi penggunaan plastik dan kertas dalam kegiatan gereja. Acara-acara gereja telah mengurangi penggunaan air kemasan plastik. Bahan-bahan persidangan lebih banyak dalam bentuk file elektronik.

Sebagian yang lain berbagi tentang program pemberdayaan ekonomi bersama kelompok masyarakat yang terdampak baik oleh krisis akibat pandemic Covid-19, maupun oleh krisis pangan dan energi akibat perang antara Rusia dan Ukraina di Eropa Timur. Beberapa peserta menyebut pentingnya penghematan sumber daya pangan dan energi dan mengkritisi seremonial pelayanan gereja dan berbagai pesta pora yang dapat makin menggerus ketahanan sumber daya ekonomi masyarakat. Sebagian peserta berbicara tentang sikap kritis terhadap pertambangan di berbagai wilayah yang merampas hak ulayat masyarakat dan merusak alam.

The Energy of Indonesia: Pidato Sri Sultan HBW X
Salah satu agenda Rakernas yang paling berkesan adalah kunjungan peserta Rakernas ke keraton Yogyakarta. Pada hari kedua rapat itu, Sri Sultan sebagai gubernur DIY bersedia menerima seluruh peserta dan panitia di istananya. Dalam kesempatan itu beliau menyampaikan pidato yang sangat bernas. Beliau memulai pidatonya dengan mengatakan bahwa keragaman adalah hal yang niscaya, bagian paling mendasar dari maksud Allah menciptakan bumi. Hal itu terbukti dari kenyataan bahwa tak ada satupun makhluk di dunia ini yang sama dengan makhluk yang lain. Karena itu siapapun yang melawan keragaman sesungguhnya sedang melawan Sang Pencipta. Dalam konteks itu kita perlu menghargai dan menyukuri keragaman bangsa Indonesia.

Mengutip konsep Benedict Anderson tentang “the imagined community”, Sri Sultan berbicara tentang bangsa sebagai sebuah komunitas imajiner. Sebelum kedatangan Belanda, masing-masing kepala suku di Nusantara tidak membayangkan diri mereka sebagai bagian dari suatu kesatuan organik. Suku-suku itu memiliki relasi perdagangan antaretnis yang juga membawa misi agama dan ditopang oleh pemakaian bahasa Melayu sebagai bahasa pergaulan. Suku-suku yang berdiri sendiri-sendiri itu kemudian berusaha menjadi suatu bangsa imajiner dengan moto Bhinneka Tunggal Ika. Faktor agama dan bahasa itu telah turut merintis komunitas imajiner tersebut.

Dalam pidatonya itu, beliau menunjukkan kenyataan bahwa proses integrasi berbagai budaya adalah keniscayaan dalam sejarah Nusantara. Beliau mengatakan: “Kita semua sepakat bahwa peradaban Indonesia baru adalah pohon yang berdiri tegak, rimbun dan berbuah lebat, pengandaian Indonesia yang maju dan beradab. Indonesia haruslah mampu memakmurkan, memajukan, dan memberi rasa keadilan bagi seluruh rakyat dengan pembangunan yang bukan lagi mitos tetapi maujud menjadi etos bangsa yang konstruktif, visioner, antisipatif, progresif, kiritis dan berkelanjutan”.

Beliau juga menekankan tugas kita semua menjaga Indonesia tetap lestari dengan merawat kesatuan dalam keragaman. Beliau menyebut tiga cara merawat Indonesia: preserving (menjaga agar tetap ada), nursing (berupaya agar rasa persatuan kita tidak sakit serta mencari cara untuk pemulihan ketika konflik dan kekerasan terjadi), dan nurturing (merawat agar rasa persatuan tetap tumbuh dan berkembang).

Dalam konteks perayaan HUT RI ke-77, beliau menekankan pentingnya kerja sama sebagai syarat utama bangsa ini bangkit kembali dari dampak krisis berlapis. The energy of Indonesia menurut beliau terletak pada kemauan bekerja sama bahu membahu membangun bangsa. Energi keragaman itu yang membuat Indonesia ada. Dan bangsa ini akan tetap berdiri kalau energi keragaman itu terjaga. Tak boleh ada yang merasa terlalu tinggi, jangan juga ada yang direndahkan. Para pejuang kemerdekaan bangsa telah mewariskan nilai dan pengalaman dasar keberhasilan perjuangan mereka: perbedaan jangan jadi penghalang untuk bersatu. Justeru dalam persatuan ada energi maha dasyat untuk Indonesia merdeka.

Bagi beliau, Indonesia tak boleh hanya sekedar nama-nama atau gambar deretan pulau di peta dunia, melainkan keterjalinan beragam serat (budaya dan agama) yang saling menguatkan dalam relasi resiprokalitas yang kaya. Hanya dengan begitu kita menjadi kekuatan dasyat yang disegani bangsa lain dengan penuh hormat. Beliau menutup pidatonya dengan kutipan Alkitab: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri . . . Perlakukanlah setiap orang sebagaimana kamu sendiri ingin diperlakukan orang lain”. Seorang kawan berbisik kepada saya, apakah Sultan juga membaca Alkitab?

Ini kali pertama saya mendengar pidato beliau secara langsung dan merasa sangat diberkati berjumpa dengan seorang bangsawan sepuh dengan pemikiran bening, terbuka, luas, dan dalam. Kita semua mendoakan agar kepemimpinan beliau tetap mengayomi seluruh rakyat Yogyakarta, termasuk berbagai orang muda dari semua pelosok Indonesia yang datang belajar di kota toleran ini. Sebagaimana Sultan HBW IX, ayahanda beliau, dan keraton Yogyakarta telah menjadi salah satu pilar paling penting bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia di tahun 1945, biarlah semangat perjuangan kemerdekaan bangsa dari berbagai belenggu dan spirit keragaman bangsa akan tetap dibela dan dirawat oleh pemimpin dan masyarakat Yogyakarta. Kiranya orang-orang muda yang datang belajar di kota ini akan tertular energi kebaikan untuk bergiat menjaga dan membangun republik tercinta.

Melampaui Moderasi
Di hari yang sama selepas berkunjung ke keraton, kami kembali ke kampus UKDW dan belajar bersama sejumlah pemimpin lembaga agama. Tiga pemimpin lembaga keumatan hadir membagikan pemikiran mereka terkait tugas memelihara keragaman. Ibu Alisa Wahid, puteri Gus Dur, membawa materi mewakili pengurus besar NU. Selain itu ada Prof. Syafiq Mughni, salah satu Ketua PP Muhamadiyah, dan Sekum PGI, Pdt. Jacky Manuputty.

Ibu Alisa Wahid banyak merujuk pemikiran ayahnya tentang kebangsaan. Salah satu rujukan yang sangat kuat dari Gus Dur, presiden keempat Indonesia itu, adalah: “Indonesia ada karena keberagaman. Keberagaman adalah raison d’etre (alasan keberadaan) Indonesia. Kalau tidak ada keberagaman kita, tidak perlu ada Indonesia”. Menurut saya ini pemikiran yang kedengaran sederhana tetapi menyentuh hal yang paling mendasar sebagai bangsa. Tanpa ada kesediaan untuk menerima, menghormati, dan menjaga keragaman, atau dengan kata lain kalau kita menolak perbedaan dan memaksakan keseragaman, kita sedang menghancurkan esensi dan eksistensi bangsa ini.

Dalam konteks hari ini, Ibu Alissa mengingatkan ancaman yang dihadapi bangsa, termasuk ideologi transnasional yang bisa merusak kesatuan. Beliau menarik perhatian kepada fakta menguatnya ekstremisme, mayoritarianisme, praktik intoleran, dan politik berbasis kekuasaan dan modal di bangsa ini. Dengan mengutip Seth Godin yang menunjukkan bahwa akibat globalisasi, suku atau bangsa hari ini tak lagi dibentuk oleh keturunan dan kedekatan fisik melainkan oleh kesamaan nilai dan minat, maka kita memiliki tugas bersama untuk menggerakkan pendekatan terintegrasi dan berkelanjutan, melalui empat strategi penting yang dia sebutkan: kebijakan penyelenggara negara, pendekatan teologis, peran masyarakat sipil, dan pengorganisasian akar rumput. Keempat aspek ini sama penting dan harus bergerak bersama untuk perubahan yang berkelanjutan demi menjaga tegaknya Indonesia yang menghargai dan menjaga keragaman.

Selanjutnya di sesi berikut para pembicara dari lembaga pendidikan tinggi mengupas tentang moderasi beragama. Hadir dan berbicara Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (Prof. Dr. Ir Gunawan Budiyanto, MP, IP); Rektor Universitas Kristen Duta Wacana (Ir. Henry Feriadi, M.Sc., Ph); yang mewakili Rektor Universitas Nahdlatul Ulama/UNU (Dr. Suhadi); dan Dekan Fakultas Filsafat Keilahian UKDW (Pdt. Dr. Robert Setio). Yang menarik bagi saya adalah pemaparan dari Dr. Suhadi, pemikir muda dari UNU. Dia menyebut konsep moderasi beragama sebagai kemajuan besar dalam cara pandang pemerintah, khususnya Kementerian Agama, terkait keragaman agama di Indonesia.

Dari segi gagasan, menurut beliau, konsep moderasi sudah lebih maju dibandingkan konsep sebelumnya yaitu, kerukunan agama, yang berpusat pada ketertiban masyarakat dan relasi kuasa yang ditentukan oleh suara/tekanan kaum mayoritas. Konsep moderasi didasarkan pada empat pilar penting: komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan mengakomidasi budaya lokal. Dalam tanggapannya terhadap pertanyaan saya apakah konsep moderasi cukup memadai untuk menanggapi realitas dinamika keragaman di Indonesia hari ini, terutama terkait konteks meningkatnya ancaman intoleransi dan kekerasan berbasis agama seperti ditunjukkan Ibu Alisa Wahid, Pak Suhadi, yang telah saya kenal sebelumnya sebagai kawan di jaringan Dian Interfidei Yogyakarta, mengatakan kita tetap menghargai gagasan moderasi sebagai sebuah kemajuan berpikir dan langkah maju.

Konsep moderasi adalah “tawaran dari atas”. Pada saat yang sama, kelompok-kelompok masyarakat sipil yang peduli terhadap urusan keragaman harus tetap mengupayakan bentuk-bentuk relasi timbal balik antar agama yang lebih maju, matang dan mandiri, seperti dalam konsep dialog kehidupan, bina damai, dan pluralisme. Pendekatan dari atas ini perlu berjalan bersama dengan pendekatan dari bawah yang sudah berjalan selama ini, demi hasil yang lebih maksimal.

Dalam diskusi kelompok di antara para peserta, kami berbicara tentang pentingnya gereja bekerja sama dengan kelompok-kelompok yang peduli dengan keutuhan bangsa, serta mendorong narasi-narasi yang mengikat semua unsur bangsa. Secara khusus menjelang perhelatan suksesi kepemimpinan bangsa, gereja-gereja tidak boleh terjebak politik identitas dan politik uang, sebaliknya berdiri kuat untuk menjaga kewarasan berdemokrasi dan mengupayakan agenda pendidikan politik lintas agama.

Kelenturan Ber-ekklesia
Agenda terakhir dari Rakernas ini lebih terkait urusan “dalam rumah” PGIW/SAG. Pertanyaan penting yang dibahas oleh Pak Ketua Umum PGI, Pdt. Gomar Gultom, adalah tentang relasi MPH PGI, PGIW/SAG, dan Persekutuan Oukumene Umat Kristen (POUK). Pendeta Gomar menjelaskan tentang latar belakang berdirinya POUK. Secara struktural, POUK tidak langsung berkaitan dengan MPH PGI, melainkan dibentuk dan dibina oleh tiap PGIW. Meskipun demikian tidak semua PGIW memiliki POUK di wilayahnya.

Beliau juga menunjukkan bahwa pola relasi antara PGIW dan POUK di tiap daerah berbeda. Ada POUK yang memiliki relasi yang kuat dan sehat dengan PGIW, namun ada yang terkesan sangat mandiri dan tidak peduli dengan PGIW. Umumnya ada komitmen awal bahwa POUK bersifat sementara untuk melayani umat Kristen lintas denominasi di area industri baru seperti pertambangan, maupun di wilayah asrama/basis militer. Namun belakangan POUK berkembang menjadi lebih permanen dan mandiri. Juga awalnya ada keterbukaan untuk keanggotaan rangkap bagi warga jemaat POUK: yang bersangkutan adalah anggota POUK dan sekaligus anggota gereja asalnya. Dalam perkembangan belakangan ini, kebanyakan generasi muda hanya merupakan anggota POUK dan tidak lagi menjadi anggota gereja denominasi orang tua mereka.

Dalam sesi tanya jawab sempat didiskusikan mengenai masa penugasan pendeta yang melayani di POUK; hubungan pendeta tersebut dengan gereja pengutusnya dan PGIW; kepemimpinan secara kemajelisan di POUK; dan pola pelayanan dalam POUK seperti apa agar berlaku adil terhadap keragaman latar belakang denominasi anggota POUK. Pak Ketua Umum PGI menekankan perlunya di tiap PGIW ada aturan yang lebih khusus untuk melengkapi pedoman pengelolaan POUK yang sifatnya lebih umum yang sudah dihasilkan dalam Sidang MPL PGI.

Selanjutnya masih dalam kaitan dengan hal itu, sekaligus lebih luas terkait panggilan gereja dalam konteks kebhinekaan bangsa, beliau berbicara mengenai pentingnya kelenturan berorganisasi dalam gereja. Saya menangkap pesan beliau bahwa aturan gereja penting, tetapi gereja tidak boleh lupa apa yang menjadi amanat utama gereja, yaitu terlibat dalam karya keselamatan Allah. Urusan-urusan administrasi perlu diperhatikan tapi tak boleh menjadi yang utama dan satu-satunya. Kita tidak boleh menjadi gereja yang kaku di dalam tembok-tembok institusi kita, sibuk dengan ritus-ritus dan aturan-aturan yang kaku, menjadi budak dari aturan yang dibuat sendiri dan gagal menjadikan misi keselamatan sebagai yang utama. Kita butuh aturan agar menjadi persekutuan yang tertib dan efektif dalam pelayanan keselamatan, namun jangan jadikan aturan sebagai yang paling dominan dalam hidup bergereja. Saya dapat menambahkan bahwa kita dipanggil bukan untuk melayani hari sabat, melainkan hari sabat untuk kemanusiaan (band. Matius 2:27). Bahkan ibadah-ibadah kita yang indah di hari Sabat akan kehilangan maknanya jika kita tidak melayani Allah dalam karya cinta kasihNya di dunia.

Di pihak lain perlu kita tambahkan bahwa ini tidak berarti orang lalu bisa meremehkan begitu saja tata/peraturan gereja. Tata gereja lahir dari upaya gereja berteologi untuk menata diri dan tugasnya. Pengabaian tata gereja akan membawa gereja/persekutuan beriman ke dalam kekacauan dan perpecahan. Kelenturan yang disebutkan Pdt. Gomar saya kira terletak juga di sini: bahwa kita tidak memutlakkan tata gereja dan kesepakatan ekumenes, namun di pihak lain kita juga tidak mengabaikannya sama sekali. Patokan tertinggi untuk keseimbangan seperti itu adalah ketulusan bersama untuk melayani kehendak Allah dalam gereja dan masyarakat, dan bukan untuk ego dan kepentingan kita masing-masing.  

Aspek lain dari kelenturan adalah terkait relasi MPH PGI dan MPH PGIW. PGI selalu menjaga keseimbangan dua sisi penting dari relasi kedua level kepemimpinan ini. Di satu sisi harus terus diingat dan dimaknai bahwa PGIW bukan bawahan/onderbouw PGI, tapi di lain sisi harus MPH PGI harus bisa juga mengajak seiring-sejalan dengan arah kebijakan PGI.

Dalam diskusi kelompok kami berdiskusi mengenai pentingnya moderasi dalam relasi antargereja juga. Selain kita membangun dan menjaga kemampuan menghargai perbedaan antaragama dalam bangsa yang beragam latar belakang, kita juga mesti jujur apakah relasi antardenominasi gereja-gereja anggota PGI sudah cukup sehat. Ada kawan yang berbicara mengenai persekusi yang dilakukan antar denominasi Kristen. Yang lain menyebut praktik menerima atau bahkan membujuk berpindah “domba dari kandang (denominasi) sebelah”, terutama ketika ada konflik dalam gereja tertentu. Hal-hal seperti ini perlu dibicarakan secara terbuka untuk tidak menciderai relasi gereja sebagai anggota tubuh Kristus dan merusak kesaksian Kristiani dalam bangsa yang majemuk.

Pembelajaran dan Yogyakarta: Apresiasi kepada Panitia dan Pemerintah Provinsi DIY
Sejak Minggu pagi ini, para peserta Rakernas mulai kembali ke gereja dan rumah masing-masing di berbagai pelosok negeri. Para pemimpin gereja dari berbagai latar belakang denominasi itu telah mendapat kesempatan belajar bersama hal-hal penting dan membangun komitmen untuk peran yang lebih konstruktif dalam membangun bangsa. Ruang-ruang belajar lintas denominasi dan lintas agama menyirami pohon oukumenisme dan toleransi kebangsaan di bumi Indonesia.

Di grup WhatsApp forum komunikasi PGIW/SAG, ada banyak komentar memberi penghargaan terhadap kinerja panitia. Panitia yang dipimpin oleh Ketua PGIW DIY, Pdt. Em. Bambang Sumbodo dan Ketua Umum, Bapak. Purnawan Hadiyanto ini  terdiri dari kelompok yang tidak terlalu besar tetapi bekerja secara baik. Ada para pendeta jemaat, dosen berbagai fakultas di UKDW, anggota jemaat, dan para mahasiswa. Sebagian berasal dari gereja-gereja anggota PGIW di DIY, UKDW, dan lainnya dari RS Betesda. Pelayanan mereka diatur dengan protokol kesehatan yang baik. Sebelum acara ada tes antigen kepada semua peserta untuk memastikan bahwa semua yang hadir tidak terinfeksi Covid-19.

Panitia juga sudah menyiapkan pelayanan kesehatan bagi semua peserta, termasuk jika ada yang dikonfirmasi terinfeksi Covid-19. Beruntungnya semua yang dites antigen dinyatakan sehat. Karena protokol kesehatan di masa pandemi, hampir sepanjang Rakernas, kami makan dari makanan dalam kotak dengan menu yang sederhana. Hal itu telah menjadi bagian dari kesaksian tentang keugaharian panitia yang kami hargai. Sampai jumpa di Rakernas berikut, Mei 2023, di Pulau Ambon. Hormat kami untuk semua yang telah berbuat baik.

Yogyakarta telah memberi kami pembelajaran bermakna yang kami bawa pulang ke sudut masing-masing. Salah satu sumber daya kehidupan bangsa yang paling penting ada dalam kerja sama dan kesediaan bahu membahu membangun bangsa, tanpa stigma dan diskriminasi satu terhadap yang lain. Perbedaan suku, agama, ras, dan bahasa daerah tak boleh jadi batu sandungan bagi persatuan bangsa. Justeru kesediaan saling belajar, mengenali dan merayakan perbedaan, saling melengkapi dalam keragaman harus jadi energi yang memampukan bangsa ini tetap berdiri, lentur dan bertahan menghadapi berupa goncangan dan badai kehidupan multidimensi, terus bertumbuh dan menghasilkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

 

 Bandara Juanda Surabaya dan penerbangan Lion Air, 14 Agustus 2022
dalam perjalanan kembali ke Kupang

 

 

Read More
By markus
Opini
June 7, 2022

PENTAKOSTA: Turbulensi, Stagnasi dan Momen Transformasi Gereja

Oleh: Pdt Rudy Rahabeat

Saya hendak mengawali refleksi ini dengan mengutip secuil buah refleksi 72 tahun PGI dari Ketum PGI, Pdt Gomar Gultom sbb: “Sebagai realitas sosial, gereja menyejarah dengan tradisi, ajaran, bahasa, suku dan adat istiadat yang ikut mempengaruhi keberadaannya. Itu semua memunculkan keragaman gereja, yang tentu memperkaya kehadiran gereja di muka bumi ini. Sayangnya, dalam perjalanan sejarahnya, keragaman itu kurang dirayakan dan disyukuri sebagai berkat yang memperkaya malah cenderung menciptakan keterpisahan satu sama lain. Masing-masing gereja membangun tembok yang bukan saja memisahkan dirinya dengan gereja lain, malah juga memisahkan dirinya dengan realitas sosial yang mengitarinya”

Kutipan ini hendak menjelaskan dua hal dari judul di atas dan satu hal lainnya ada pada bagian akhir refleksi pak Gomar. Dua hal itu adalah turbulensi dan stagnasi. Ibarat penerbangan di angkasa, pesawat gereja mengalami goncangan karena angin atau awan, tantangan internal dan eksternal. Goncangan ini tentu membuat tidak nyaman, dan memicu kepanikan dan rasa takut bahkan putus asa, seakan-akan pesawat akan kena musibah dan mengancam keselamatan para penumpang.

Namun, pada sisi lain, dapat menjadi momen kreatif dimana penumpang makin dekat dengan Tuhan dan saling solider di tengah ancaman bahaya.

Belajar dari gereja mula-mula dan gereja masa kini sebagaimana dipotret pak Gomar, terlihat adanya kontras yang mencolok. Gereja mula-mula sebagaimana digambarkan dalam KPR 2 justru solid dan kompak, sehati dan sepikir untuk kemasalahan bersama (bandingkan tema HUT 72 PGI). Sebaliknya, jemaat atau gereja-gereja masa kini makin egois, hedonis dan kapitalis (bukan komunis, dalam arti positif).

Diagnosa kritis terhadap kondisi gereja masa kini adalah kondisi stagnasi alias kemacetan. Gereja mestinya dinamis dan progresif, malah mengalami kemacetan di sana sini. Ibarat mobil yang mestinya makin bergerak cepat dan lincah, justru mogok dan atau berjalan lambat. Stagnasi itu makin parah ketika bukan hanya terkait soal-soal hal-hal teknis-manajemen tetapi kemacetan pada tataran gagasan dan pemikiran. Ide-ide visioner dan subtantif makin redup diganti slogan-slogan dan status-status di media sosial yang hanya mengejar like and subsribe. Terjadi banalitas/pendangkalan bahkan kemunduran pemikiran. Kita lalu mencoba menggali ke masa lalu, misalnya menggali kembali pikiran-pikiran teologi publik, seperti terbitan buku yang berisikan pemikiran Eka Darmaputera, dll.

Langkah ini tentu tidak salah, tapi menurut saya tidak cukup. Kita butuh transformasi dan terobosan. Kita tentu tidak bisa mengkopi gaya hidup jemaaat mula-mula seperti tergambar dalam KPR 2. Salah satu alasan mendasarnya karena basis sosial budayanya telah mengalami perubahan yang revolusioner. Jemaat mula-mula merupakan jemaat sederhana, sedangkan jemaat masa kini adalah jemaat yang kompleks. Jemaat perdana tidak ada gadget dan internet yang karenanya membuat orang makin selfish. Jemaat perdana, belum mengenal konflik ideologis antara kapitalis versus komunis, liberal versus komunitarian, modernism versi posmo, dst.

Dalam kondisi turbulensi dan stagnasi itu maka kita perlu transformasi. Dan momen Pentakosta dapat menjadi energi terbarukan untuk mendorong transformasi itu. Dengan begitu, daya dorong transformasi bukan semata karena kekuatan aktor dan struktur tetapi utamanya adalah daya dorong Roh Kudus. Kepercayaan kepada Roh dan karya Roh menjadi modal awal untuk proyek transformasi itu. Di sini kita bergerak dari kenosis menuju pleroma, dari pengosongan diri menuju kepenuhan hidup. Kita merendahkan diri dihadapan Roh Allah, dan membiarkan Roh itu merasuki hidup kita, dan Roh itu terus berkarya menuju kepenuhan hidup (pleroma). Proses ini yang saya maksudkan dengan transformasi. Dan transformasi itu berkaitan erat dengan perubahan cara berpikir dan cara bertindak tentang gereja dan panggilannya di tengah-tengah dunia yang berubah.

Dalam kaitan ini saya hendak mengakhiri refleksi ini dengan mengutip pandangan Sekum PGI di hari Pentakosta kemarin sbb: “Gereja menerima pencurahan Roh Kudus bukan untuk memperkaya diri dalam kesalehan spiritual yang bersifat pribadi, tetapi harus menggerakannya pada tanggungjawab sosial yang menyatakan bahwa ia telah mengambil bagian dalam karya keselamatan Yesus. Jika karena kepenuhan Roh Kudus gereja dipanggil untuk menderita karena kesetiaannya pada kebenaran, maka ia akan menunjukan kepada dunia bahwa pengetahuannya tentang keselamatan telah menjadi lengkap”.

Marilah kita menggunakan momentum Pentakosta ini bukan untuk menghindari turbulensi atau menafikan adanya stagnasi. Turbulensi akan tetap ada sepanjang sejarah. Demikian pula stagnasi akan menyertai ziarah kita di bumi ini. Tetapi tugas kita saat ini adalah melakukan transformasi secara berkelanjutan dengan tetap mengandalkan Roh Kudus yang penuh kuasa itu. Roh yang memampukan gereja untuk terus bersaksi dan melayani kapan dan dimana saja dalam bingkai sejarah keselamatan Allah trinitas. Bukankah peristiwa Pentakosta telah membuat gereja ada dan tetap bermakna hingga saat ini bukan?

Selamat merayakan Pentakosta. Amin

 

Penulis, Wasekum Sinode GPM

 

 

Read More
By markus
  • 1
  • 2
  • 3
  • 4
Categories
  • Berita(19)
  • Berita Gereja(134)
  • Berita Oikoumene(7)
  • Berita PGI(455)
  • Dunia(52)
  • Indonesia(204)
  • Info(26)
  • Lembaga & Mitra PGI(1)
  • Opini(32)
  • Siaran Pers(21)
  • Uncategorized(1)
  • Utama(491)
Gallery
Kolaborasi untuk kader pemimpin bangsa
Pertemuan bersama Gubernur Lemhanas RI, pada Selasa (11/4/2023)
Foto bersama diakhir pertemuan

Pdt. Gomar Gultom bersama Andi Widjajanto bertukar cinderamata
Seremonial peresmian GKI Pengadilan Pos Jemaat Bogor
Buka puasa bersama di Lt. 3 Grha Oikoumene, Jakarta

Copyright © 2020 BigHearts by WebGeniusLab. All Rights Reserved