Pelajaran dari Tangisan dan Keharuan di Poso
Oleh Pdt. Jimmy Sormin
Beberapa waktu lalu Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) melalui Bidang Kesaksian dan Keutuhan Ciptaan (KKC) bersama Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina, menyelenggarakan pelatihan fasilitator Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) di Poso, Sulawesi Tengah. Salah satu hal yang membekas pada pelatihan ini adalah tangisan dan keharuan peserta setelah sekian lama tidak berinteraksi antara umat Kristen dan Islam di Poso pasca-konflik komunal beberapa dekade.
Sejak timbulnya konflik berdarah ini pada 1998, masyarakat tersegregasi, antara penduduk Nasrani dan Muslim. Korban jiwa dan beragam kerugian tidak hanya dialami oleh kedua kelompok umat beragama tersebut, umat Hindu khususnya juga terdampak konflik sarat keagamaan ini. Ada ketegangan dan ketakutan mewarnai hidup masyarakat sehari-hari, bertahun-tahun. Saat itu ekonomi lumpuh, dan hingga sekarang masih melandai. Interaksi antarwarga dipenuhi dengan rasa khawatir dan curiga satu sama lain. Hal ini menimbulkan trauma yang ternyata belum sepenuhnya teratasi di kabupaten yang dahulunya menjadi salah satu jalur pertemuan antara banyak rute di Sulawesi Tengah.
Konflik di Poso ini belum mengalami rehabilitasi secara sistematis dan berkelanjutan pasca-konflik, baik oleh pemerintah maupun organisasi-organisasi sipil yang mumpuni dalam isu perdamaian dan transformasi konflik. Seusai konflik komunal di Poso itu, selama bertahun-tahun masyarakat dihantui oleh gerakan terorisme. Salah satu kelompok teroris yang dianggap telah tuntas penanganannya adalah kelompok “Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Ali Kalora. Hal ini ditandai dengan tewasnya anggota terakhir bernama Askar atau yang dijuluki “Pak Guru” pada September 2022 lalu.
Sekalipun demikian, pada semester pertama 2023 ini telah terungkap dan tertangkap kelompok teroris lain, Jamaah Islamiyah (JI), di Sulawesi Tengah. Fakta ini seakan menjaga bayang-bayang ketakutan di Poso untuk tidak segera usai.
Pada hari pertama pelatihan fasilitator KBB, masih tampak kecanggungan antara beberapa pemuka agama Islam dan Kristen untuk berinteraksi. Para fasilitator sejak awal mencoba untuk mencairkan suasana dengan perkenalan dan beberapa permainan. Namun, satu hari belum cukup membangun keterbukaan dan kedekatan mereka. Pada hari-hari berikutnya, setelah mengalami beragam aktivitas bersama dalam pelatihan ini, para pemuka atau tokoh tadi semakin dekat, bahkan sedia berkolaborasi ke depan.
Bagi para peserta, kegiatan yang dibuat PGI ini adalah ruang perjumpaan yang langka. Berkali-kali dalam diskusi dengan pihak pemerintah, Plt. Sekretaris Daerah dan pejabat Kesbangpol Kabupaten Poso yang hadir dalam pelatihan ini, peserta mengharapkan agar pemerintah memfasilitasi sebanyak-banyaknya ruang perjumpaan itu dalam bentuk kegiatan-kegiatan antariman dan budaya. Tujuannya agar trauma yang masih mereka miliki, termasuk masyarakat pada umumnya, dapat semakin dipulihkan. Tidak semata upaya-upaya keamanan atau pembangunan infrastruktur yang pemerintah harus pikirkan, tetapi rehabilitasi sosial dalam bentuk pemulihan trauma dan pembangunan manusia adalah yang paling krusial.
“Setelah puluhan tahun saya tidak dekat dengan saudara-saudara yang Muslim, lama sekali tidak mengalami perayaan Idul Fitri seperti di masa lalu saat saya bebas dan senang merayakan bersama. Sekarang saya sudah punya saudara-saudara yang akan saya kunjungi saat Idul Fitri nanti. Kami sudah janjian juga Natal nanti akan dikunjungi saudara-saudara saya ini,” ungkap seorang pendeta perempuan saat memberi kesan tentang kegiatan ini. Mendengar ungkapan itu, keharuan menyelimuti ruangan pelatihan.
Di antara peserta terlihat mata-mata basah yang mewakili perasaan yang sama. Bahkan saat doa bersama, pecah tangis dari seorang Imam masjid, dari salah satu lokasi yang dahulunya sangat ditakuti. Saat itu beliau didaulat untuk memimpin doa dengan cara Islam. Ia mendoakan kesatuan hati dan masa depan yang lebih baik untuk seluruh warga Poso, serta setiap pihak yang sudah memfasilitasi perjumpaan dan pelatihan itu.
Tidak saja terbangunnya kembali rasa percaya dan kedekatan antarumat seperti di atas, peserta pelatihan juga meneruskan pertemuan ini dengan kegiatan-kegiatan kolaboratif secara berkelompok, untuk Poso Kota dan Poso Pesisir. Seluruh kegiatan itu selain didukung sebagian pendanaannya oleh PGI, mereka juga secara sukarela menyumbang untuk kesuksesan implementasinya. Seluruh kegiatan yang akan mereka selenggarakan itu akan membangun ruang-ruang perjumpaan bagi ratusan warga masyarakat lainnya. Beberapa kegiatan dimaksud seperti kemah pemuda antariman, aksi antariman untuk penyelematan ekosistem pantai, dan sosialisasi atau diskusi tentang KBB.
Belajar dari pengalaman di atas, memang krisis ruang perjumpaan di Poso adalah kebutuhan krusial dalam mengurai serta memulihkan trauma masyarakat yang pernah mengalami beragam konflik dan aksi terorisme. Pemerintah patut menempatkan hal ini sebagai prioritas program. Dengan masyarakat yang pulih dan sehat relasi sosialnya, rasa saling percaya terbangun, kolaborasi dan beragam transaksi ekonomi semakin meningkat, demikian pula rasa percaya dan terdorongnya pihak-pihak investor untuk pembangunan Poso. Generasi-generasi muda Poso ke depan juga harusnya diharapakan tidak lagi mewarisi kebencian dan ketakutan, demikian pula tidak menggantungkan masa depan di luar Poso yang menuntut migrasi besar, melainkan mengoptimalkan sumber daya atau beragam potensi di pesisir maupun pegunungan Poso.
Ruang perjumpaan memang terkesan sepele. Tidak hanya di Poso sejatinya. Di banyak tempat juga mengalami krisis ruang perjumpaan. Akibat beragam praktik politisasi agama, masuknya ideologi transnasional bernafaskan intoleransi dan ekstremisme keagamaan, masyarakat menjadi terpolarisasi dan segregasi. Hal ini didukung pula dengan beberapa sektor lain, seperti pendidikan. Sekolah-sekolah mulai pendidikan usia dini hingga perguruan tinggi sudah mewakili identitas keagamaan tertentu.
Bukan tidak mungkin seseorang hanya mengalami pendidikan di kelompok keagamaannya sendiri sejak kecil hingga dewasa, tanpa mengalami perjumpaan dengan orang-orang yang beragama dan berbudaya lain. Sekalipun teknologi digital dapat menjembatani terjadinya perjumpaan, namun eksklusivisme yang terbangun dalam hati dan pikiran turut mendorong pembatasan interaksi di ruang digital itu. Tak jarang malah turut memperkuat kebencian dan diskriminasi terhadap kelompok-kelompok lain dengan kemudahan berekspresi di media-media sosial.
Bagaimanapun, setiap kita bertanggung jawab untuk membangun kembali ruang perjumpaan yang sehat. Kita perlu memulainya dari niatan atau pikiran yang adil terhadap sesama manusia. Upaya lain seperti membangun literasi tentang keadilan dan kedamaian, kolaborasi antariman dan sektor untuk membangun kesejahteraan bersama, dan pengawalan terhadap beragam kebijakan pemerintah terkait pengelolaan keberagaman dan hak KBB patut untuk terus kita lakukan. Dengan niatan dan upaya ini, kita mengharapkan tidak ada lagi korban dan warisan kebencian yang muncul ke depan di tanah air tercinta ini.
Penulis, Sekretaris Eksekutif Bidang KKC PGI