JAKARTA,PGI.OR.ID-Gereja didorong untuk mengembangkan atmosfer yang penuh cinta kasih dan penerimaan terutama bagi mereka yang rentan dan terinfeksi HIV/AIDS. Selain itu mengembangkan refleksi teologis sebagai landasan teologi bagi gereja untuk merespon persoalan HIV/AIDS.
Hal tersebut ditegaskan Pdt. Retno Ratih Suryaning Handayani dalam diskusi virtual Perempuan dan Anak Dalam HIV & AIDS, yang dilaksanakan oleh PGI sebagai bagian dari rangkaian kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKtP), pada Selasa (1/12).
Lanjut Retno, gereja juga didorong untuk berpartisipasi dalam forum diskusi yang lebih luas terkait dengan isu HIV/AIDS. Dan, memperlengkapi para pelayan gereja dengan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, serta melengkapi dengan ketrampilan dalam mendampingi warga jemaat menghadapi persoalan HIV/AIDS.
“Gereja sebagai tubuh Kristus dipanggil sebagai komunitas yang menyembuhkan dimana karya penyembuhan dan kasih Allah ada dalam diri Tuhan Yesus. Sebagai tubuh Kristus kita disatukan di tengah penderitaan sesama dan menyatakan keberpihakan kita terhadap mereka yang ditolak dan mengalami keputusasaan, di antara mereka adalah yang terinveksi HIV AIDS,” jelas anggota MPH-PGI ini.
Sedangkan Husen Muhamad, Program Manajer Kios Informasi Kesehatan Pusat Penelitian HIV/AIDS Unika Atmajaya, Jakarta, melihat, sejak awal kemunculannya pada 1980an, HIV/AIDS tidak hanya dipandang sebagai masalah medis tapi juga dikaitkan dengan permasalahan moral. Karena itu orang yang hidup dengan HIV/AIDS rentan mengalami luka moral yang memaksa mereka menanggung stigma negatif seumur hidup. Stigma merupakan atribut yang mendiskriditkan seseorang.
Lebih jauh dijelaskan, perempuan sangat rentan terhadap HIV/AIDS akibat budaya patriarki di Indonesia. dan mengalami kerentanan yang berganda, apalagi jika memiliki status positif HIV/AIDS. Bukan hanya itu, stigmatisasi dan tindakan diskriminasi juga kerap menimpa mereka. “Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) bersama dengan PPH Atmajaya di 2016 mencatat bahwa prevelensi kekerasan yang dialami oleh perempuan dengan HIV/AIDS lebih tinggi daripada perempuan pada umumnya,” katanya.
Sebab itu, Husen mengajak seluruh elemen masyarakat, termasuk gereja, pemangku dan pelaksana kebijakan, mengarahkan intervensi pencegahan HIV/AIDS yang berbasis gender. Selain itu, peningkatan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan menjadi faktor penentu untuk pengurangan kerentanan perempuan terinfeksi HIV. Salah satu cara adalah memprioritaskan program-program yang terkait dengan peningkatan hak-hak perempuan dan akses yang cukup untuk memperoleh pelayanan kesehatan reproduksi.
Di sesi sharing pengalaman, Sekretaris Eksekutif HKBP Aids Ministry Berlina sibagariang menuturkan, khusus di Tapanuli kebanyakan kasus HIV/AIDS disebabkan pemuda/di yang merantau ke kota besar seperti Jakarta, kemudian kembali ke kampung tanpa sadar membawa virus tersebut.
“Mereka tidak tau statusnya lalu menikah, sehingga menularkan kepada mereka yang sangat rentan seperti perempuan dan anak-anak. Dengan pendampingan kami kepada mereka sudah banyak pasangan yang suami positif, istri negatif, dan anaknya tetap negatif. Itulah seharusnya tugas gereja. Harus hadir mendampingi agar mereka tidak berpikir bahwa HIV/AIDS adalah akhir dari segala-galanya. Padahal tidak seperti itu, semua bisa dikeloka dengan baik,” jelas Berlina.
Sebab itu, pihaknya selalu melakukan pelayanan pencegahan dan pendampingan, baik melalui penyampaian informasi, sosialisasi, capacity building, dan lainnya, tidak hanya kepada warga gereja, tetapi juga seluruh masyarakat dan komunitas. Disamping membangun kerjasama dengan sejumlah pihak untuk dapat memberi akses dan perhatian kepada mereka yang terpapar HIV/AIDS.
Sedangkan Hana Hutabarat, seorang penyintas, yang mengaku telah hidup selama 9 tahun dengan HIV/AIDS, meyakini bahwa apa yang dialaminya adalah anugerah Tuhan yang mendatangkan kebaikan. Sebab dengan demikian, dia bersyukur dapat menolong dan menguatkan orang lain.
Pewarta: Markus Saragih