JAKARTA,PGI.OR.ID-Banyak hal yang bisa dicontoh dari Gus Dur. Dia adalah pemikir besar, pemimpin sejati, pemberani, dan humanis sejati.
Demikian testimoni Ketua Umum PGI Pdt. Gomar Gultom di acara Peringatan Haul ke-12 Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, yang dilaksanakn secara luring dan daring, pada Kamis (30/12/2021) malam.
“Sebagai pemikir besar, pengetahuannya sangat luas. Saya yakin bahwa dia adalah kutu buku yang terus belajar dan bertanya. Dia adalah seorang yang rakus pengetahuan tetapi tidak rakus kuasa dan harta,” katanya.
Sebagai pemimpin sejati, jelas Pdt. Gomar, kendati tidak memegang jabatan formal, tetapi Gus Dur masih didengar. Ketika memimpin tidak silau dengan dunia. Tinggal di istana dan merubah istana menjadi dekat dengan rakyat. Pendekatannya sangat jauh dari formalitas birokrat, pendekatannya sangat existensial.
“Saya teringat akan kunjungan para pimpinan PGI ke istana. Perbincangan sangat santai, sebegitu santainya sampai molor entah beberapa puluh menit. Seorang ajudan masuk dan memberitahukan bahwa pertemuan sudah harus selesai dan memberitahukan tamu lain sudah menunggu. Gus Dur dengan santainya bertanya, “siapa yang menunggu?” dan ajudan menjawab: KASAD dan rombongannya. Gus Dur enak saja menjawab: “Biarlah mereka menunggu dulu, tugas tantara adalah menunggu dan menjagai rakyat!”. Akhirnya kami yang merasa tak enak, dan berupaya untuk pamit,” tuturnya.
Ditambahkan, sebagai pemimpin sejati, dia tidak mau silau dengan jabatan. Sepertinya bagi Gus Dur jabatan hanya satu kemungkinan jembatan saja untuk memberlakukan visi-misinya. Olehnya, ketika posisi presidensialnya digugat oleh persekongkolan para elit rakus dan haus kuasa, dia rela melepas kekuasaan, walau para santri dan barisan muda rakyat Indonesia siap membentenginya.
Lebih jauh Ketum PGI mengungkapkan, sebagai pemimpin yang berani, Gus Dur berani menyatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah. Dia tidak takut menghadapi resiko. Dia adalah “risk taker”. “Tidaklah mudah meninggalkan pendekatan militeristik dan security approach yang selama ini dianut dan dikembangkan dalam penanganan Papua, tapi dia berani melawan arus, demi keadilan dan martabat manusia di Papua. Perubahan nama Irian Barat menjadi Papua dan keputusannya mengijinkan pengibaran Bintang Kejora sebagai bendera kultural Papua, asal tidak lebih tinggi dari merah putih adalah sebuah keberanian besar dalam menghadapi elit militer pada saat itu,” jelasnya.
Sedangkan sebagai humanis sejati, Gus Dur sangat cepat tergerak oleh belas kasihan atas penderitaan rakyat, tanpa memandang agama, suku, etnis dan latar belakang sosial. Kalau ada gereja diganggu, dia cepat pasang badan untuk membantu. Ketika orang Tionghoa di Indonesia didiskriminasi, dia mencabut berbagai aturan yang diskriminatif. Gus Dur adalah pelintas batas. Melintasi batas-batas agama, suku dan ras.
“Kita kehilangan tokoh besar di tengah makin langkanya pemimpin sejati yang pengetahuannya luas, memiliki keberanian dan memiliki kepekaaan kemanusiaan, khususnya bagi mereka yang terpinggirkan. Semoga kita semua, terutama para pemimpin, bisa dan mau belajar dari Gus Dur,” tegas Pdt. Gomar.
Peringatan haul ke 12 diisi dengan pembacaan Yasin dan Tahlil oleh para tokoh agama, kemudian dilanjutkan dengan testimoni dari berbagai tokoh, hingga pagelaran musik dan shalawat dari anak dan cucu Gus Dur.
Pewarta: Markus Saragih