PALANGKARAYA,PGI.OR.ID-Yunita Christin dari Bagian Pemantauan dan Penyelidikan Komisi Nasional HAM mengimbau agar permasalahan-permasalahan gereja disampaikan dengan fakta dan data yang cukup. Fakta dan data yang terima Komnas HAM dari Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) sedikit sekali.
“Ayo gereja speak up. Meminta teman-teman PGI untuk mengemas fakta dan data yang memadai, menangggapi persoalan keadilan maupun pelanggaran HAM” ujar Yunita, saat berbicara pada Konferensi Gereja dan Masyarakat (KGM) Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) 2023, yang berlangsung di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, pada Kamis (9/11/2023).
Dia mengimbau, ke depan gereja perlu konsisten speak up dalam segala persoalan HAM di Indonesia. “Speak up itu tidak hanya dalam hal pelaporan atau pengaduan ke Komnas HAM atau lembaga hukum, tetapi juga aksi-aksi nyata,” tandasnya.
Yunita mengakui, selama ini gereja telah bergerak dan mengambil sikap dalam persoalan keadilan dan tantangan HAM di Indonesia dengan berbagai cara. Salah satunya, berkoalisi dengan lembaga-lembaga lain pada isu-isu Papua, termasuk isu-isu perempuan.
Dia katakan, meski pengaduan secara individu ke Komnas HAM belum, tapi yang penting ialah PGI sudah bergerak bersama koalisi.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur ketika menyinggung soal isu Papua, dia katakan, tidak ada hari tanpa tangisan orang Papua. “Kami melakukan berbagai cara untuk membuka dan membongkar isunya. Jadi menurut saya, forum ini sudah satu frekuensi, satu pemahaman dan satu bacaan. Punya semangat dan niat yang kuat untuk memperbaiki pendekatan kita. Perlu jurus baru. Beradaptasi dengan isu pelanggaran HAM,” tuturnya.
Lebih lanjut, dia meminta gereja untuk membuat skala prioritas dan lebih mendorong ke depan persoalan demokrasi, hukum, Hak Asasi Manusia sebagai permasalahan utama yang dibahas. “PGI bertemu presiden ternyata itu tidak cukup. Kita harus memperkuat kesadaran masyarakat, kesadaran umat. Misalnya jemaat bisa diarahkan untuk terlibat dalam perubahan, seperti lewat media sosial. Mereka bahkan bisa diajak menjadi pendengung demokrasi dan persoalan kemanusiaan,” imbaunya.
Isnur juga menyarankan diubahnya pendidikan pada level kognitif. “Saya membayangkan sekolah minggu bukan hanya tentang keimanan tetapi juga perjuangan. Bisa tidak dibuat kurikulum kesadaran,” ujarnya. “Media mana yang menyuarakan Papua? Kita butuh warga masyarakat, umat yang memiliki kemampuan jurnalistik dan pemahaman yang baik soal hukum, dan bisa menjelaskan ke publik. Bagaimana agar bisa menyuarakan secara bersama. Bagaimana kita me-mention Pak Jokowi, Pak Mahfud. Kita perlu membuat buzzer keadilan,” pungkasnya.
Pewarta: Tiara Salampessye