JAKARTA,PGI.OR.ID-Rasa kecewa serta ketidakpercayaan terhadap lembaga-lembaga negara dalam penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM di Papua, disampaikan anggota Pansus Kasus Mutilasi dari DPR Papua, serta keluarga korban, kepada Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) yang diwakili oleh Sekretaris Umum PGI Pdt. Jacklevyn Manuputty, dan Kepala Biro Papua PGI Pdt. Ronald Tapilatu, saat berkunjung ke Grha Oikoumene, Jakarta, pada Jumat (11/11/2022).
Kunjungan tersebut dalam rangka safari kampanye kemanusiaan untuk menyampaikan tuntutan mereka, ke sejumlah lembaga di Jakarta, termasuk PGI. Hadir pula perwakilan KontraS, yang merupakan pendamping keluarga korban, dan juga yang melakukan investigasi atas kasus ini.
Pada kesempatan itu, disampaikan pula bagaimana keluarga mereka dibantai, ditembak, dan dimutilasi dengan keji dalam peristiwa pembunuhan di Timika, 22 Agustus 2022. Potongan-potongan tubuh para kekasih mereka yang tak lagi utuh ditemukan hanyut di sungai. Pelakunya sejumlah aparat keamanan setingkat perwira menengah dan tamtama, dalam kerjasama dengan beberapa warga sipil.
Mereka (para korban, red), dituduh berafiliasi dengan kelompok sipil bersenjata di Papua yang seringkali membuat onar. Keluarga menolak tuduhan itu dengan memberikan berbagai bukti status dan aktifitas para korban. Investigasi KONTRAS turut mendukung keberatan keluarga.
Para pelaku telah ditangkap dan pemberkasan kasus mereka sedang difinalisasi untuk diproses ke pengadilan. Keluarga menuntut digelar pengadilan koneksitas karena para pelaku berlatar-belakang militer aktif dan sipil. Keluarga bahkan menuntut diterapkannya Pengadilan Pelanggaran HAM Berat.
Pelanggaran HAM di Papua memang terkesan sebagai lingkaran setan yang tak pernah berujung. Berbagai kasus pelanggaran HAM dilakukan apparat keamanan terhadap masyarakat sipil, sipil kepada apparat keamanan, maupun sipil terhadap sipil. Nilai manusia menjadi sangat rendah dalam dinamika sosial-politik di wilayah kaya itu.
Menyikapi realitas ini, Pdt. Jacklevyn Manuputty mengungkapkan, PGI telah lama menempatkan masalah Papua sebagai salah satu isu utama dalam panggilan PGI untuk membela hak-hak hidup manusia dan lingkungan. Lebih dari satu dekade PGI membentuk ‘desk Papua,’ kemudian ditingkatkan menjadi ‘Biro Papua’ dengan dukungan ‘Komisi Papua’ yang beranggotakan sejumlah orang yang dianggap ahli dalam masalah Papua. “Upaya untuk mewujudkan Papua tanah damai diperjuangkan PGI bersama berbagai jaringan masyarakat sipil maupun mitra Oikoumene PGI,” ujarnya.
Sedangkan terhadap pemerintah, PGI menempatkan posisinya sebagai mitra kritis yang setiap saat memberikan masukan positif bagi penyelesaian masalah Papua, tetapi juga mengritisi kekeliruan intervensi elemen-elemen pemerintah terhadap Papua. “Sekalipun berat perjuangan mewujudkan Papua Tanah Damai, namun itu tak harus menjadi alasan untuk mengendorkan semangat, dan menahan langkah advokasi untuk menegakan harkat kemanusiaan dan lingkungan yang bermartabat di Papua,” tandasnya.
Sementara itu, Pdt. Ronald Tapilatu yang juga mencatat semua masukan dan mendengarkan ekspresi yang disampaikan oleh 2 anggota Pansus Kasus Mutilasi dari DPR Papua yang masih memiliki hubungan keluarga dengan korban, maupun juga 2 anggota keluarga mewakili keluarga korban, terasa sangat tragis dan menjadi kasus pelanggaran HAM berat dan terbesar setelah rentetan peristiwa berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua dalam 10 tahun terakhir ini. Keluarga korban masih percaya gereja bisa melakukan sesuatu untuk mendorong kasus ini benar-benar dikawal pemerintah secara terbuka dan memenuhi rasa keadilan korban maupun keluarga korban. Itulah alasan mereka datang bertemu PGI.
Keluarga korban juga meminta PGI memfasilitasi pertemuan mereka dengan Sinode GKII. Untuk hal ini sudah dikoordinasikan Biro Papua dan disetujui oleh Ketua Sinode GKII untuk bertemu mereka dalam waktu dekat ini. Selain akan dilaksanakan rapat koalisi kemanusiaan Papua untuk menindaklanjuti secara bersama.