TAHUNA,PGI.OR.ID-Pandemi Covid-19 yang telah mendera kehidupan dunia sebegitu rupa, merupakan katup dari ecoside, akibat dari perilaku manusia. Serangan masif industri atas habitat ekologis, dalam rangka globalisasi produksi pangan dan pertanian seiring dengan domestifikasi hewan dan tanaman, telah melahirkan hama dan virus, akibat mutasi genetika.
Demikian salah satu catatan Pengantar Ketua Umum PGI Pdt. Gomar Gultom mengawali Laporan MPH-PGI yang disampaikan di hari kedua Sidang MPL-PGI 2022, di GMIST Imanuel, Tahuna, Sulawesi Utara, Sabtu (23/1/2022).
Sebab itu, menurut Ketum PGI pandemi ini mestinya semakin menyadarkan kita bahwa kekerasan manusia atas alam harus segera dihentikan. Dalam kaitan inilah MPH-PGI terus mengembangkan pelayanan terkait program yang telah kita kenal selama ini sebagai “Gereja Sahabat Alam” (GSA). Selain mengembangkan GSA, juga mendorong dan memfasilitasi agar gereja-gereja semakin siap dan mampu mengorganisasi serta mempersiapkan diri mengefektifkan mitigasi dan pencegahan, respons darurat saat bencana dan rekonstruksi pasca-bencana.
Dalam pengantarnya, Pdt. Gomar Gultom juga menyoroti tantangan lain yang diingatkan oleh SR XVII di Waingapu, yaitu krisis kebangsaan yang melanda negeri ini. “Kita tentu sangat mengapresiasi capaian-capaian dari pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin, baik pembangunan di bidang politik maupun ekonomi. Namun tidak dapat dipungkiri, masih banyaknya “PR” bangsa kita dalam menghadapi persoalan seperti korupsi yang masih menggurita,” katanya.
Selain itu, kekhawatiran akan pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), penegakan HAM yang belum beranjak jauh seperti masalah Papua, pelanggaran HAM berat di masa lalu, kebebasan beragama dan berkepercayaan (KBB), ketidakadilan terhadap kelompok masyarakat adat, serta belum finalnya Pancasila sebagai ideologi bangsa pada sebagian kelompok yang masih mencita-citakan ideologi alternatif, dan lain sebagainya.
Menurutnya, terhadap semua masalah ini, gereja harus juga melibatkan diri dalam meresponsnya. Dan, PGI dengan segala keterbatasan yang ada, telah berupaya mengadvokasi kasus-kasus tersebut, baik di lingkup lokal, regional hingga nasional.
“Untuk beberapa isu, MPH-PGI menyampaikannya secara langsung kepada Presiden, beberapa lainnya melalui surat terbuka dan ditujukan pada pihak-pihak terkait. Hal ini bukanlah baru di PGI. Masalah Papua dan penutupan gereja, misalnya, sudah berulangkali PGI sampaikan kepada Presiden, baik melalui surat maupun percakapan langsung, walau sejauh ini kita belum melihat respons yang memadai dari negara,” jelasnya.
Pewarta: Markus Saragih