PAPUA,PGI.OR.ID-Melalui Rumah Doa kita semakin dipersatukan di tengah perbedaan-perbedaan tradisi dan denominasi. Ini adalah salah satu bentuk harapan kesatuan gereja, sebagai wujud dari komitmen kita untuk doa Yesus di Taman Getsemani.
Hal tersebut ditegaskan Ketua Umum PGI Pdt. Gomar Gultom dalam sambutannya saat Peresmian Papua Rumah Doa Segala Bangsa di Wisma Alom Polomo Sentani, Kabupaten. Jayapura, pada Minggu (3/7/2022).
“Itulah semangat yang saya tangkap dari pemrakarsa dan pendiri Rumah Doa, Pdt Gembiri Biniluk pada 1970, dan yang kemudian diteruskan oleh Pak Lipius Biniluk. Kiranya ini menjadi komitmen kolektif kita semua dimana denominasi, dan keterhisapan sinode tidak menghalangi kita bersatu dalam doa: katolik, pentakostal, evangelikal, ekumenikal, dan sebagainya, berdoa bersama sebagai penampakan tubuh Kristus di dunia ini,” katanya.
Dia pun berharap, melalui peresmian Rumah Doa ini, makin banyak berkat yang tersalur lewat Tanah Papua, kepada bangsa-bangsa. “Bagi saya, kehadiran Rumah Doa yang dipersembahkan kepada semua bangsa, merupakan sebuah terobosan di tengah kebuntuan institusional kita dewasa ini, sebuah terobosan yang memecahkan batasan kami dan kalian, kami dan mereka,” tandasnya.
Selain mengikuti peresmian Papua Rumah Doa Segala Bangsa, keesokan harinya, Senin (4/7/2022), Pdt. Gomar Gultom menjadi narasumber dari kegiatan Konperensi Doa dan Pekabaran Injil, yang diikuti oleh semua lembaga gereja aras nasional.
Dalam paparannya bertajuk Pekabaran Injil di Tengah Masyarakat Majemuk, dia menegaskan betapa perlunya kita merumuskan ulang hakekat pekabarab Injil dewasa ini, khususnya dalam konteks masyarakat majemuk. “Merujuk pada Hasil penelitian CRCS – UGM (Yogyakarta: 2013), tidak ada lagi daerah yang tidak majemuk di Indonesia. Dan tingkat pertumbuhan agama Islam justru terjadi di daerah yang selama ini disebut “daerah Kristen” (Tanah Batak dan Sulut), dan pertumbuhan gereja yang cepat justru terjadi di daerah yang selama ini disebut sebagai daerah Islam, Jabar, khususnya Bekasi,” katanya.
Menurut Pdt. Gomar Gultom, memberitakan Injil jelas merupakan tugas gereja yang tidak pernah berubah sepanjang jaman. Kemajemukan dan kerukunan tidak bisa menghalangi pekabaran Injil, tetapi pekabaran Injil pun tidak harus mengoyak tenun kerukunan dan mencabik-cabik kemajemukan.
Untuk itu, kita perlu memahami kedalaman Injil yang hendak diberitakan itu. Pada hakekatnya Injil Kristus memperdamaikan segala sesuatu dengan Allah (Kol 1:15-20). Kristus memulihkan kemanusiaan dan alam semesta yang telah rusak sebelumnya.
“Itulah berita sukacita yang hendak diberitakan, dan dengan demikian, sang Liyan atau mereka yang di luar kekristenan tidak harus dilihat dan diperlakukan sebagai target atau objek pekabaran Injil, tetapi harus diajak bersama sebagai mitra dalam memberitakan dan memberlakukan Injil tersebut. Ini bisa dilakukan dengan mengembangkan komunitas kontras ala Gerd Thiessen, karena itulah nilai utama kekristenan,” katanya.
Ketum PGI juga menghadiri Pembukaan Sidang Sinode ke-10 Gereja Kristen Oikoumene di Indonesia (GKO) yang berlangsung 5-10 Juli di Sentani. Dalam sambutannya, dia mengingatkan pesan Sidang Raya XVII PGI di Waingapu, betapa perlunya mengembangkan spiritualitas keugaharian sebagai kontras terhadap budaya kerakusan yang menggurita dewasa ini. Diingatkan pula, pandemi yang terjadi sekarang ini adalah katup dari ecoside, sebagai buah dari kerakusan kita memperlakukan alam.
“Tidaklah berlebihan bila Sidang Raya XVII PGI di Waingapu, mencatat krisis ekologis sebagai salah satu dari empat tantangan yang harus dihadapi oleh gereja dewasa ini. Pandemi ini mestinya semakin menyadarkan kita bahwa kekerasan manusia atas alam harus segera dihentikan,” tandasnya.
Di hari terakhir kunjungannya ke Papua, Ketum PGI di Bandara Sentani berkesempatan ikut menyambut Api Obor Sidang Sinode ke 18 GKI TP 2022, yang akan berlangsung sejak 18 Juli di Waropen. Api Obor ini diarak mengelilingi jemaat-jemaat GKI TP dari berbabagai klasis.
Pewarta: Markus Saragih