POSO,PGI.OR.ID-Konflik di Poso masih menyisakan trauma di masyarakat, sekalipun konflik panjang tersebut telah berlalu dalam 2 dekade terakhir. Seperti diungkapkan oleh beberapa peserta Lokalatih Fasilitator Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) di Poso. Sebab itu, PGI melalui bidang Kesaksian dan Keutuhan Ciptaan (KKC) melihat perlunya dukungan program yang dapat menguatkan kapasitas stakeholders dalam menghadapi persoalan terkait perbedaan identitas dan religiusitas.
Kegiatan yang berlangsung selama empat hari (5-8/9/2023) ini, melibatkan para pemuka agama serta aktivis perdamaian Poso. Dalam penyelenggaraannya PGI masih berkolaborasi dengan PUSAD Paramadina sebagaimana di kota-kota lain. Secara khusus di Poso, PGI juga mengajak Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST), dan Institut Mosintuwu sebagai kolaborator pelaksanaaan kegiatan.
Pada pembukaan lokalatih, Ketua II Majelis Sinode GKST, Pdt. Robinson Perutu, menyatakan rasa sukacitanya akan kehadiran program ini. “Kami sangat senang PGI juga memperhatikan Sulawesi Tengah, khususnya Poso. Di sini terkenal dengan konflik sosial yang panjang, karena banyak faktor yang menyebabkan konflik, termasuk ekonomi, dan sumber daya alam. Banyak pembelajaran yang bisa diambil dari pengalaman Poso, termasuk oleh rekan-rekan dari Jakarta,” katanya.
Dia pun melihat, perlunya program atau kegiatan semacam ini dilakukan agar tokoh-tokoh agama dan masyarakat Poso dapat terus meningkatkan pengetahuan serta kemampuan dalam menghadirkan keadilan dan perdamaian.
Sementara itu, Pendiri dan Direktur Institu Mosintuwu, Lian Gogali, mengungkapkan bahwa sebelum 1998, dimana tidak ada konflik, masyarakat hidup damai. Bahkan ada sejarah terkenal tentang misionaris Kristen bernama A.C. Kruyt, yang berteman dengan tokoh Islam besar bernama Baso Ali. “Pada saat itu Bapak Baso Ali menerima kehadiran Kruyt untuk bermalam di rumahnya, dan mendukung misi Kruyt dalam mewartakan Injil di beberapa tempat yang direkomendasikan oleh Baso Ali,” kisahnya.
Sebab itu lanjut Lian, sejarah ini yang perlu terus disosialisasikan dan dihidupkan kembali di Poso, karena merupakan bentuk dari penghormatan akan keberagaman, dan hidup berdampingan dalam damai, serta saling mendukung satu sama lainnya.
“Inilah yang Institut Mosintuwu terus lakukan di berbagai desa. Kegiatan lokalatih ini juga sangat mendukung upaya dimaksud dalam mengembangkan jaringan dan kapasitas para aktor atau pemuka agama yang selama ini telah aktif dalam isu-isu perdamaian dan keadilan,” tandasnya.
Sedangkan Sekretaris Eksekutif Bidang KKC-PGI Pdt. Jimmy Sormin dalam sambutannya mewakili MPH-PGI, dan PUSAD Paramadina mengatakan, bahwa lokalatih tingkat dasar ini merupakan rangkaian kegiatan yang telah diprogramkan sejak sebelum pandemi Covid-19. Pada saat itu Poso tidak masuk dalam salah satu lokus kegiatan.
“Namun setelah kami mendapat masukan dari beberapa pihak, dan mempelajari kebutuhan untuk penguatan masyarakat untuk isu KBB di Poso, akhirnya diputuskan pelaksanaannya di tempat ini,” jelasnya.
Lebih jauh dijelaskan, setelah kegiatan ini akan berkelanjutan dengan mini-proyek oleh peserta dengan dukungan sedikit dana untuk implementasinya. Kemudian akan diselenggarakan pula lokalatih lanjutan untuk menghasilkan mediator profesional bagi Poso dan sekitarnya.
“Rencananya pada bulan November 2023 nanti, lokalatih tingkat lanjut ini akan diselenggarakan, dan harapannya peserta lokalatih saat ini dapat terseleksi kembali untuk kegiatan tersebut,” ujar Pdt. Jimmy, sambil menambahkan bahwa pengarusutamaan KBB dan dukungan terhadap kehadiran para duta damai yang membawa keadilan dan perdamaian, adalah salah satu fokus program kerja PGI untuk merespons persoalan krisis kebangsaan dan isu-isu interseksi lainnya.
Masih dalam rangkaian pembukaan acara, Plt. Sekda Kabupaten Poso, Frits Sam Purnama Kandori, menyampaikan gambaran kehidupan keberagaman di Poso. Dia juga menceritakan pengalaman pahitnya ketika terlibat dalam sejarah konflik panjang Poso. Bahkan ketika mengupayakan perdamaian ada banyak kelompok yang menekannya.
Menurut Frits, trauma panjang di Poso membutuhkan upaya-upaya bersama untuk membangun kepercayaan antarwarga, dan tradisi-tradisi di masyarakat yang sudah ada sejak masa lalu, sebelum konflik, dapat terus dihidupkan untuk membangun rasa persaudaraan di tanah Poso. Termasuk perlu juga ditegaskan kepada masyarakat tentang hidup saling menghargai perbedaan, semisal terkait makan dan pantangannya dalam ajaran keagamaan. Sudah ada pasar khusus yang disiapkan pemerintah untuk transaksi bahan makanan yang dilarang oleh keagamaan lain, namun ada juga sebagian orang yang tidak peduli.
Pada kesempatan itu, peserta yang diberi ruang untuk menanggapi presentasi Sekda Kabupaten Poso, mengungkapkan banyak harapan agar adanya upaya tindaklanjuti oleh pemerintah dalam membangun Poso yang lebih baik lagi. Menurut mereka (peserta, red), kegiatan-kegiatan kultural yang mempertemukan antaridentitas, termasuk anak-anak muda, sangat dibutuhkan untuk semakin mengurangi trauma di masyarakat, serta membangun kesalingpercayaan satu sama lain.
Demikian pula peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan perspektif keadilan dan berkelanjutan, terutama dalam pengelolaan sumber daya alam oleh perusahaan-perusahaan, perlu dikelola dengan baik oleh pemerintah daerah.
Pewarta: Markus Saragih