JAKARTA,PGI.OR.ID-Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) mengandung polemik bahkan sebelum disahkan pada 6 Desember 2022. Sejak masih Rancangan Undang-undang (RUU) KUHP masyarakat sipil sudah berulang melakukan protes karena RUU ini mengandung pasal-pasal yang bias dan tidak berkeadilan gender.
Mencegah terjadinya dampak dari potensi diskriminasi pasal-pasal tersebut, Biro Perempuan dan Anak (BPA) PGI bersama Badan Pengurus Nasional (BPN) PERUATI menggelar Semiloka Advokasi Pasal-pasal KUHP Tidak Berkeadilan Gender, di ruang pertemuan kantor Sinode GPIB, Jakarta, selama dua hari berturut-turut (15-16/3/2023).
Dalam sambutannya, Ketua PERUATI Pdt. Darwita Purba, menegaskan, bahwa KUHP yang telah disahkan pada 6 Desember 2022, didalamnya memiliki pasal-pasal yang tidak berkeadilan gender. Sebab itu, pentingnya sosialisasi kepada masyarakat, secara khusus warga gereja, dan organisasi jaringan lainnya. Melalui kegiatan tersebut diharapkan ada gerak bersama dalam menindaklanjuti KUHP ini.
Hal senada juga disampaikan Kepala BPA PGI Pdt. Sonnya M. Uniplaita. Menurutnya, selain sosialisasi, kegiatan yang berlangsung selama dua hari ini, tapi sekaligus mengembangkan jejaring. “Karena bekerja di bidang kemanusiaan ini kita tidak bisa sendiri-sendiri, kita butuh kolaborasi,” ujarnya.
Lebih jauh dijelaskan, salah satu output dari kegiatan ini yaitu adanya rekomendasi yang bisa diberikan kepada gereja-gereja terkait tentang pasal-pasal yang bertentangan itu, tapi juga menjadi masukan bagi kementerian terkait, sehingga dapat menjadi perhatian.
Di hari pertama semiloka, salah satu narasumber, Sekretaris Eksekutif Bidang Keadilan dan Perdamaian (KP) PGI, Pdt. Henrek Lokra dalam paparannya mengkritisi sejumlah pasal-pasal krusial dalam KUHP, diantaranya, pasal 300 (Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kepercayaan), pasal 302 (Menghasut Agar Seorang Tidak Menjadi Beragama Atau Memaksa Orang Pindah Agama), dan pasal 303 (Tindak Pidana Terhadap Kehidupan Beragama/Kepercayaan Dan Sarana Ibadah).
Menurutnya, pasal-pasal dalam KUHP ini harus dikritisi dari sudut pandang teori yang benar. Bicara keadilan (justice) harus didudukan pada madzab mana bangunan teori yang dipakai? Apakah pada madzab utilitarianisme atau libertarianisme. Sebab keduanya memiliki perbedaan signifikan dalam sebuah regulasi yang menjadi public police. Termasuk didalamnya perjuangan perempuan yang tidak hanya fokus pada gender equality, tetapi sudah harus masuk pada cara berpikir yang lebih substantif dalam membuat sebuah public police.
Semiloka dihadiri sekitar 40 orang peserta, yang merupakan perwakilan gereja, NGO, Komper PGIW, serta praktisi hukum. Adapun materi yang diberikan meliputi Pasal-Pasal Bermasalah dalam KUHP 2022, (LBH APIK), Pendampingan Korban dan KUHP 2022 (WCC Pasundan Durebang), Respon Gereja terhadap KUHP 2022 (PGI), dan Pengarusutamaan Gender dan KUHP 2022 (Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Anak). Sedangkan hari terakhir semiloka diisi dengan workshop.
Pewarta: Markus Saragih