JAKARTA,PGI.OR.ID-Perdamaian bukanlah sekedar ketiadaan perang, tetapi perdamaian sejati hanya akan mewujud jika keadilan ditegakkan, dan semua orang mampu untuk berkata “Cukup” serta selalu berjuang untuk keadilan.
Demikian pesan damai yang disampaikan oleh Ketua Umum PGI Pdt. Gomar Gultom dalam perayaan Pekan Kerukunan Antarumat Beragama atau World Interfaith Harmony Week (WIHW) 2023, di Gedung Nusantara IV Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Minggu (5/2).
WIHW 2023 dibuka dengan penampilan paduan suara lintas agama. Ketua MPR RI, perwakilan negara sahabat, dan pimpinan agama-agama tampak hadir dalam kegiatan ini.
Di awal pesan damainya, Ketum PGI menegaskan, Dokumen Persaudaraan yang ditandatangani oleh Paus Fransiskus dan Imam El Tayeb, 4 tahun lalu, mestinya menohok kita semua, yang mengingatkan di tengah dunia yang begitu dalam digerogoti oleh budaya kekerasan. Hampir tidak ada hari berlalu tanpa kita mengumbar hawa nafsu. Geopolitik dunia kini membawa kita pada krisis pangan dan enerji dan kegalauan global yang berkepanjangan.
“Ini semua bersumber dari kerakusan, ketika setiap orang maupun kelompok berlomba menguasai sumber-sumber yang ada, dan bila perlu menegasikan keberadaan orang dan kelompok yang lain. Inilah sumber kemelut dunia ini,” ujarnya.
Lanjut Pdt. Gomar, Joseph G Stiglitz, peraih Nobel bidang ekonomi pernah berkata, kita ini sedang hidup di dekade kerakusan. Segala bentuk kenikmatan dunia begitu menggoda kita dalam keseharian kita. Disadari atau tidak, kita ini selalu berlaku “Untukku!”, “Untukku!”, dan tidak pernah mampu berkata “Cukup!” (Amsal 30:15).
Sedangkan Mahatma Gandhi pernah berkata: “dunia ini menyediakan sumber yang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan setiap orang, tapi tidak pernah cukup untuk memenuhi kerakusan setiap orang.” “Ternyata Kerakusan ini tidak hanya berlangsung di bidang ekonomi ataupun politik, juga merangsek ke dalam kehidupan beragama. Lihat saja, betapa banyak peristiwa kekerasan dan penganiyaan yang berlangsung di dunia ini mengatasnamakan agama. Padahal, kita semua tahu, agama tidak pernah mengajarkan hal seperti itu. Lalu, dari mana praktik kekerasan dan penganiyaan tersebut muncul? Banyak faktor, namun faktor paling dominan adalah adanya dogmatisme agama yang kemudian melahirkan klaim kebenaran satu-satunya,” katanya.
Lebih jauh dijelaskan, jika dogmatism dan klaim kebenaran satu-satunya dibiarkan, sungguh bahaya. Orang sering menganggap dirinya paling benar dan mengetahui segala hal sehingga orang lain yang berbeda dengannya dianggap sudah pasti salah dan menyimpang. Dan orang lain itu juga sudah pantas disingkirkan, bahkan dengan cara yang paling kejam. Inilah yang menjadikan keseharian kita begitu banal: ingin meraup sebanyak mungkin untuk diri sendiri atau untuk kelompok, partai maupun agamanya sendiri.
“Inilah yang menjadikan kita semakin jauh dari persaudaraan, perdamaian dan kemanusiaan. Kita ini kini seolah sedang menghidupi peradaban yang mengarus-utamakan jumlah penganut, peradaban yang mengedepankan harta, kekuatan dan tahta, peradaban yang memenangkan yang bersuara keras. Sebuah peradaban yang makin menjauhkan kita dari persaudaraan dan kemanusiaan, dan malah melahirkan kebencian dan balas dendam,” tegasnya.
Menurutnya, inilah buah keserakahan itu. Bahkan oleh keserakahan itu, kita pun merelakan agama dijadikan kendaraan untuk tujuan kepentingan ekonomi maupun politik. Politik identitas yang sejatinya untuk memperjaungkan keadilan dan nasib mereka yang terpinggirkan, malah dibelokkan untuk meminggirkan mereka yang tidak sehaluan.
Pdt. Gomar menegaskan, di sini pentingnya peran para pimpinan umat untuk mencerdaskan umat dalam beragama, untuk tidak terjebak pada simbol-simbol agama semata, tetapi menukik pada intisari agama, yakni cinta, persaudaraan dan kemanusiaan. Sayangnya, pendekatan keagamaan kita sekarang ini banyak yang dijebak oleh dogmatisme beragama. Beragama secara dogmatis sedemikian akan memisahkan kita satu sama lain, sebaliknya, beragama secara substansial justru makin mengeratkan kita satu sama lain, oleh ikatan cinta dan kemanusiaan.
“Tetapi kita tidak bisa sampai di sana selama keserakahan menggurita dalam kehidupan beragama kita. Dalam perspektif Kristen, saya mengajak kita semua menghidupi ajakan Kristus dalam Doa Bapa Kami: “Berikanlah kami makanan kami yang secukupnya”, serta ajakan untuk selalu berbagi dan untuk selalu berlaku adil,” tandasnya.
Sementara itu, Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo dalam sambutannya menegaskan, bahwa pentingnya umat beragama menjaga perdamaian. Hal ini dikarenakan, pertama, entitas keagamaan mempunyai daya dan kemampuan untuk menginspirasi, memotivasi dan memobilisasi umat yang memiliki loyalitas tanpa batas. Kedua, nilai-nilai moralitas keagamaan juga mengajarkan kepedulian dan kepekaan sosial, serta menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan, sebagai sarana dan jalan pengabdian kepada Tuhan.
Sekilas WIHW
Minggu pertama Februari telah ditetapkan sebagai Pekan Kerukunan Antar Umat Beragama atau lebih populer dengan World Interfaith Harmony Week (WIHW). Penetapan ini berdasarkan resolusi Majelis Umum PBB (A/65/5) yang disponsori oleh Raja Abdullah dari Jordania di tahun 2010 yang lalu. Sejak itu di Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB di New York dan di seluruh dunia dilangsungkan berbagai kegiatan yang bertujuan untuk menguatkan relasi antar pemeluk agama-agama dunia.
Indonesia sendiri setiap tahun memperingati WIHW di bawah organisasi Inter Religious Council (IRC) Indonesia. Namun perayaan kali ini, pada 5 Februari 2023 di Gedung Nusantara IV Kompleks DPR/MPR RI menjadi yang pertama setelah Pandemi Covid-19. Perayaan WIHW terakhir pada tahun 2018 yang didukung kantor Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama antar Agama dan Peradaban, mendapat penghargaan dari Raja Abdullah dari Jordania. Saat itu Ketua Kehormatan IRC Indonesia, Din Syamsuddin menjabat sebagai Utusan Khusus Presiden.
Pewarta: Markus Saragih