WAINGAPU, PGI.OR.ID – Selasa (20/4) rombongan PGI dan relawan Posko Bencana Sinode GKS berangkat menuju bagian Selatan Kabupaten Sumba Timur. Ada 5 mobil double gardan yang membawa bantuan bagi korban bencana. Bahan bantuan itu berupa beras 2,5 ton, gula 250 kilo, seng 25 lembar, mie instan 20 dus, genset 4 unit, pakaian layak pakai 25 dus, kopi, sabun cuci dan sejumlah peralatan dapur.
Barang-barang tersebut dipersiapkan untuk Gereja Kristen Sumba Klasis Pinupahar yang jaraknya lebih dari 125 kilometer dari Kota Waingapu. “Ya kita akan menempuh waktu kurang lebih 5 jam karena jalannya juga banyak yang rusak, tanah liat dan batuan,” kata Pdt. Alfred Samani Ketua Sinode GKS yang ikut dalam rombongan. Maka tim relawan berangkat pukul 10.00 WITA menuju lokasi. Sasaran di klasis itu ada 5 jemaat yang terisolir karena jembatan penghubung, yaitu jembangan Lailunggi terputus sehingga bantuan sulit masuk.
Benar saja, baru satu jam perjalanan, jalanan yang menuju ke wilayah itu sudah tidak lagi beraspal. Batuan dan kapur putih adalah jalan yang dialui. Perjalanan tim semakin masuk ke dalam area yang juga banyak tanaman dan pohon tumbang akibat bencana Seroja yang melanda Sumba Timur pada Minggu dan Senin (4-5/4) lalu.
Rombongan menyusuri perbukitan yang kebanyakan savana hijau yang kiri dan kanannya adalah jurang. Perjalanan siang itu juga semakin terik karena cuaca yang cerah dengan sinar matahari yang penuh. Setelah menempuh perjalan lebh dari 4 jam, melewati hutan, jalan yang berbatu, serta sungai, rombongan beristirahat di rumah tetua adat Umbu Tunggu Djama.
Di situ rombongan makan siang dan bercerita tujuan yang akan dituju. Setelah istirahat 1 jam, rombongan melanjutkan perjalanan yang lebih sulit. Tanah yang bergelombang, bebatuan, turunan dan tanjakan merupakan medan yang sulit.
“Bisa dibayangkan perjalanan warga jemaat klasis Pinupahar jika mereka ke kota Waingapu dan kembali ke kampung mereka. Dengan medan yang sulit ini dan dalam kondisi bencana tak heran kalau bantuan sulit masuk ke daerah mereka,” kata mama Pdt. Yuliana Ambu saat berbincang dalam perjalanan.
Jembatan Lailunggi Putus
Putusnya jembatan Lailunggi pada Minggu (4/4) membuat akses perjalanan dari Kota Waingpau ke Kecamatan Pinupahar tak bisa dilalui. Ada lubang besar mengangga di dua bagian, yaitu arah ke Lailunggi dan sebaliknya menuju Waingapu.
“Jembatan ini sudah 10 tahun lebih berdiri dan digunakan warga yang melintas dari Kecamatan Pinupahar ke Waingapu dan sebaliknya. Saya ingat ketika saya baru bertugas di kecamatan ini, saat itu jembatan tersebut sedang direnovasi, tapi kondisinya setelah angin, longsor dan banjir besar yang terjadi, jembatan ini rusak. Ada lobang besar dari sini ke sana sehingga kami tidak mungkin menggunakan kembali,” kata Pdt. Maria Hada Indah yang adalah Ketua Klasis Pinupahar dan memimpin di jemaat Wanggabewa.
Klasis Pinupahar membawahi 5 jemaat, yaitu Lailungggi, Tauwui, Wahang, Wanggabewa dan Gongi. Lima jemaat itu berada di Kecamatan Pinupahar.
Ketika rombongan termasuk Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Pdt. Gomar Gultom mengunjungi daerah tersebut harus menuruni tangga darurat di sebelah ujung jembatan yang rusak lalu turun menyusuri pinggi sungai dan menyebrangi jalan menuju Pinupahar.
“Kami hendak mengirimkan bantuan ke 5 gereja tapi hanya bisa sampai di jembatan ini karena putus akibat bencana yang terjadi pada minggu lalu. Kami berharap pemerintah daerah segera dapat membuatkan jalan alternatif sehingga akses bagi warga dapat normal meski tidak seperti semula,” kata Pdt. Gomar saat akan melintasi jembatan yang terputus tersebut.
Naik Oto Kayu
Dari jembatan Lailunggi rombongan tidak langsung bisa masuk ke desa-desa yang ada di Kecamatan Pinupahar. Rombongan diangkut dengan truk, yang oleh warga di sana menyebutnya dengan Oto kayu. Sebuah truk yang di dalamnya ,selain untuk mengangkut barang juga manusia, hewan dan segala macam barang yang dibawa dari dan keluar kecamatan itu.
“Kami biasa mengandalkan oto kayu ini untuk bepergian atau mengangkut barang. Biasanya kami berangkat pukul 2 atau 3 dini hari dan tiba di Waingapu pagi jam 6 dan sebaliknya dari Waingapu malam dan tiba di desa pagi,” kata Pdt Nikodemus yang adalah ketua majelis jemaat Tauwui yang jaraknya dari jemaat Lailunggi 2 kilometer lebih ke dalam.
Oto kayu atau truk ukuran 3/4 adalah saran transportasi umum satu-satunya yang menghubungkan warga di Kecamatan Pinupahar sehari-hari. Biaya menumpang Oto kayu 30 ribu rupiah per orang. “Kalau dia bawa barang atau hewan yang ongkosnya ditambah,” ujar Pdt.Nikodemus. Isi di dalam Oto kayu adalah ada dua papan sebagai alas duduk bagi penumpang dan sebagian truk diisi dengan hewan atau barang-barang yang dibawa dan di bagian atas kadang diisi oleh penumpang dan barang-barang lainnya.
Sejak jembatan Lailunggi terputus, praktis Oto kayu tidak beroperasi mengangkut barang dan penumpang. Bahkan ada 1 Oto kayu yang berada di desa karena ketika akan kembali ke Waingapu truk itu terjebak bencana banjir. Sudah lebih dari dua minggu tidak beroperasi.
Harga Bensin Tinggi
Karena terisolir membuat sejumlah harga-harga di kecamatan itu naik. Menurut Pdt.Nikodemus, harga bensin dan minyak tanah 25 ribu dan 20 ribu per liter. “Itu sudah yang terjadi. Kami harus menghadapi kenaikan harga itu karena akses ke sini ni terputus sehingga bensin dan minyak tanah jadi tinggi. Juga harga-harga bahan pangan lainnya,” ujaranya.
Ada ratusan warga jemaat di Klasis Pinupahar yang terdampak namun tetap bersyukur. Menurut Pdt. Maria semua warga sudah kembali ke rumah masing-masing untuk memperbaiki kerusakan rumah mereka. “Namun tidak semua sudah diperbaiki, sambil menunggu akses jalan normal sehingga peralatan dapat diperoleh.”
Kedatangan rombongan PGI dan Sinode GKS disambut oleh para pendeta dan masyarakat di Kecamatan Pinupahar. Pdt. Maria menyampaikan ucapan terima kasih kepada Ketua Umum PGI dan Sinode GKS yang bersedia datang jauh-jauh memberikan perhatian dan bantuan bagi warga jemaat yang berdampak.
Perjalanan ke Waingapu Menegangkan
Setelah rombongan pamit dari Kecamatan Pinupahar, sekira pukul 5 sore waktu Indonesia Tengah dan kembali menelusuri jalan yang telah dilalui. Perjalanan pulang sama sulitnya, yaitu menuruni bukit, melintasi sungai, tanjakan dan turunan serta kondisi tanah dengan batu-batuan kapur hingga jalan-jalan yang rusak serta hari yang sudah gelap. Perjalanan pulang juga ditambah dengan ketegangan. Salah satunya, kendaraan yang ditumpangi Ketua Umum PGI setelah menempuh 4 jam perjalanan mengalami gangguan. Roda depan dan roda belakang kendaraan ternyata diketahui berbunyi.
Seorang relawan mengetahui hal itu dan menyampaikan pada sopir yang membawa kendaraan itu. “Berhenti Om Sopir. Sa dengar ada suara ini,” kata Edi, relawan muda yang menyampaikan informasi tersebut.
Setelah dicek pertama, belum diketahui apa penyebab bunyi tersebut dan diduga injakan kaki di bagian belakang yang kendor. Perjalanan dilanjutkan. Namun baru jalan kurang lebih 5 menit, Edi kembali berteriak untuk menghentikan kendaraan. Edi menyampaikan bahwa ada persoalan di ban bagian depan dan belakang sebelah kiri. Dugaan itu tepat. Mur roda depan dan belakang bagian kiri mobil ternyata kendor. Setelah diperbaiki, rombongan kembali melanjutkan perjalanan pulang, dan tiba di posko pukul 23.30 WITA.
“Puji Tuhan. Terima kasih untuk bung Edi yang punya pendengaran yang kuat sehingga kami semua selamat sampai tujuan,” kata Pdt.Gomar.
Pewarta : Phil Artha