JAKARTA,PGI.OR.ID-Gen Z berpeluang besar menjadi agen perubahan namun berharap banyak pada institusi pemerintah dan agama yang lebih tangguh dalam mengelola wacana antaragama. Responden menunjukkan sikap positif dalam membayangkan penanganan kasus-kasus intoleran jika diberi kuasa. Mayoritas (73,5%) Gen Z akan mendorong advokasi terhadap kasus-kasus tersebut.
Demikian salah satu hasil temuan Tim Peneliti PGI dan Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) Universitas Gadjah Mada (UGM), setelah melakukan penelitian terkait Respon Generasi Z terhadap Kasus-kasus Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan di Media Daring, yang disampaikan dalam webinar hasil penelitian, pada Selasa (29/3/2022).
Penelitian dilaksanakan sejak Oktober hingga Desember 2021, dan menyasar Gen Z, namun lebih dikerucutkan kepada 1.228 mahasiswa, dengan latarbelakang agama berbeda, di duapuluh dua perguruan tinggi di Indonesia, yaitu sembilan perguruan tinggi negeri (PTN) dan tiga belas perguruan tinggi keagamaan negeri (PTAN). Sampel berasal dari tiga angkatan, 2019 – 2021, yang sedang menjalani semester-semester ganjil 1, 3 dan 5, serta dalam rentang usia 17 hingga 20 tahun. Sedangkan metode penelitian mencakup kajian literatur, focus group discussion (FGD), survei daring, dan wawancara.
Pada webinar yang di-host oleh Pdt. Jimmy Sormin, dan dimoderatori Pdt. Dr. Marthin L. Sinaga ini, hadir para pendeta, mahasiswa, aktivis KBB, serta Tim Peneliti PGI-ICRS UGM yang terdiri dari Evelyn Suleeman, Daisy Indira Yasmine, Leonard Chrysostomos Epafras, dan Dian Sukmawati.
Disampaikan pula, agama bukan fokus utama kehidupan Gen Z. Hanya sepertiga responden (32,21%) sering memanfaatkan medsos untuk memperoleh informasi atau belajar agama, khususnya agama sendiri. Gen Z menunjukkan keluwesan dalam hal keagamaan. Sebagian besar responden (49,7%) Generasi Z (Gen Z) memandang agama sebagai pedoman hidup sehari-hari, dibanding sebagai jalan menuju sorga (23.0%) atau identitas (16.2%).
Selain itu, milenial menjadi kurator informasi, rujukan dan otoritas agama bagi Gen Z. Alumni, micro-ustadz, dan micro-preacher, khususnya yang berasal dari kalangan Milenial menjadi rujukan keagamaan bagi mereka, karena kedekatan kultural keduanya. Gen Z menunjukkan empati yang memadai terhadap kasus-kasus KBB. Respon terhadap konten negatif agama, baik agama sendiri maupun agama lain sangat sedikit (9,8% agama sendiri dan 6,5% agama lain).
“Tampaknya responden Gen Z tidak terlalu ingin campur tangan dalam isu-isu agama. Namun ketika responden dihadapkan pada delapan skenario intoleransi secara umum Gen Z menunjukkan reaksi cukup empatik seperti marah (1.7%- 15.5%), kesal (13.4% – 34.5%) atau yang lainnya,” jelas Evelyn Suleeman.
Dari temuan-temuan ini, Tim Peneliti PGI-ICRS UGM merekomendasikan agar institusi keagamaan dan sosial merangkul Gen Z, bernegosiasi dalam bahasa dan alam pikir mereka untuk terlibat dalam isu-isu KBB, serta perlunya literasi digital yang lebih masif yang bekerja sama (co-designing) dengan Gen-Z.
Kedua penanggap atas laporan penelitian ini, Dr. Ismail Hasani (Direktur Eksekutif SETARA Institute) dan Pdt. Dr. Bambang H. Widjaja (Ketua PGI), melihat kelebihan dan keterbatasan dari penelitian ini. Oleh karenanya, sebagaimana penelitian pada umumnya, kedua penanggap merekomendasikan perlunya penelitian lebih lanjut untuk mendalami temuan dari penelitian ini, sekaligus pengembangan pada beberapa aspek lainnya.
Pewarta: Markus Saragih