JAKARTA,PGI.OR.ID-Koalisi Gerakan Tutup Toba Pulp Lestari (TPL) mendatangi kantor Komnas HAM untuk menyampaikan laporan terkait adanya ketidakadilan dan perusakan lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas PT. Toba Pulp Lestari (TPL), pada Kamis (27/5).
Pada kesempatan itu, Yanto Simanjuntak menuturkan 3 tahun lalu dia bermaksud mengurus sertifikat tanah milik keluarganya. Namun tanah milik keluarganya itu diklaim milik PT. TPL. “Dalam pertemuan terakhir masyarakat Natumingka dengan PT. TPL dikatan semua tanah di sana adalah milik TPL, tapi kami tidak pernah dapat surat yang memberitahukan bahwa tanah mereka adalah milik TPL. Makanya keluarga kami di sana bertahan dan terjadilah bentrokan dengan TPL,” ujarnya.
Sebagaimana diketahui, pada Selasa (18/5) terjadi bentrokan antara warga Desa Natumingka, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, Sumatra Utara dengan petugas keamanan dan karyawan PT. TPL. Peristiwa tersbut bermula dari akan dilakukannya penanaman rotasi eucalyptus yang keenam di lahan konsesi namun mendapat penolakan dari warga.
Sementara itu, Abdon Nababan dari AMAN, mengungkapkan rentetan peristiwa kekerasan antara masyarakat dan kerusakan alam yang terjadi di 7 kabupaten akibat kegiatan yang dilakukan oleh PT. TPL telah berlangsung lama, dan hal ini berpotensi menimbulkan adanya pelanggaran HAM. Sebab itu, dia berharap agar penyelesaian kasus yang terjadi jangan dipisahkan dengan kasus-kasus sebelumnya yang terkait dengan PT. TPL.
“Semoga peristiwa terakhir ini menjadi jalan masuk untuk menutup PT. TPL. Saya kira sudah banyak pengaduan di Komnas HAM yang terkait dengan PT. TPL tetapi belum ada yang berujung. Sebab itu, kami berharap agar masalah ini ditanggapi dengan serius karena telah terjadi pelanggaran HAM,” katanya.
Abdon juga berharap agar Komnas HAM melakukan komunikasi dengan Pemda Kabupaten Toba yang menurutnya telah memiliki perda tentang hak ulayat. Namun perda tersebut sayangnya belum dijalankan. Selain itu, juga berkomunikasi dengan KLHK supaya ada kejelasan terkait tata batas tanah masyarakat di sana.
Mewakili YPDT, Joe Marbun berharap agar Komnas HAM melihat persoalan ini dengan serius. “President Habibie sudah pernah menutup PT. TPL karena dilihat lebih banyak mudaratnya, tapi pada 2002 dibuka kembali, padahal tidak membawa kesejahteraan bagi masyarakat sekitar, melainkan menjadi awal dari terjadinya berbagai bencana,” tandasnya.
Merespon apa yang telah disampaikan, Komisioner Komnas HAM Chairul Anam menuturkan pihaknya terlebih dahulu akan menjajaki pertemuan dengan para pewakilan korban dari 7 kabupaten yang terdampak oleh adanya aktifitas PT. TPL, dan pihak kepolisian setempat, agar mendapat gambaran yang jelas terkait persoalan ini.
Pewarta: Markus Saragih