JAKARTA,PGI.OD.ID-Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Pdt. Gomar Gultom dalam webinar bertajuk Dampak Kehadiran TPL Sejak di Kawasan Danau Toba, pada Selasa (1/6) mengungkapkan, banyak sekali dampak negatif akibat kehadiran PT Toba Pulp Lestari (TPL) di Tano Batak, yang mengakibatkan penderitaan manusia.
Sebab itu, menurutnya, ada 15 alasan untuk menutup TPL, baik dari tinjauan krisis ekologis, perampasan tanah, kerakusan manusia, hingga perspektif teologis pada isu lingkungan hidup. Kelimabelas alasan tersebut yaitu:
1) Krisis Ekologi. Keindahan Danau Toba yang dulu, dapat kita nikmati di kampung halaman, kini tinggal kenangan. Sejak hadirnya truk-truk TPL, hutan kita dirambah sedemikian rupa. Truk memasuki jalan-jalan kecil di desa-desa, truk dengan tonase sangat berat memasuki kampung-kampung. Sering terjadi pembakaran hutan sehari-hari.
2) Hutan Tropis Aneka Ragam Kayu Berubah Jadi Monokultur Eucalyptus. Hutan tropis kita dengan kekayaan pohon-pohon anekaragam, berubah menjadi hanya tanaman monokultur, yaitu eucalyptus (kayu putih). Ada dua catatan. Pertama, eucalyptus adalah tanaman pendatang (dari Australia), yang tentu saja punya ciri khas sendiri. Kedua, tanaman monokultur ini punya problem tersendiri, salah satu dampaknya, tanaman tidak ramah terhadap lingkungan. Kenyataannya, Tano Batak sekarang monokultur eucalyptus.
3) Bencana alam berupa banjir dan longsor. Kehadiaran PT IIU/TP banyak menghadirkan bencana. Misalnya, Juni-Agustus 1987 longsor menimbun 15 hektare sawah. Kemudian, longsor di Desa Sianipar 7 Oktober 1987 menewaskan 15 orang, dan longsor di Desa Bulusilape, pada 29 September 1988 mengakibatkan 14 korban jiwa. Belakangan juga terjadi akhir-akhir ini, terjadi longsor di banyak tempat. Bahkan, banjir bandang terjadi di Parapat bertepatan dengan Lebaran, 13 Mei 2021. Itu semua akibat dari perambahan hutan. Kondisi ini tidak jauh berbeda saat masih bernama PT IIU (sebelum tutup 19 Maret 1999) dengan PT TPL (pabrik beroprasi kembali sejak 1 Maret 2003 sampai dengan sekarang). Sehingga patut disangsikan jika dikatakan adanya paradigma baru TPL.
4) Musim cocok tanam tidak menentu. Keberadaannya menyumbang pemanasan global dan perubahan iklim (global warming and climate change). Musim kemarau berkepanjangan, suatu anomali iklim. Pola musim tanam menjadi tidak menentu. Dulu warga tahu pasti kapan becocok tanam, karena tahu kapan musim hujan. Tetapi sekarang serba tidak menentu.
5) Mutasi gen dan serangan Virus Corona. Serangan hama tak terduga, akibat terjadi mutasi gen. Covid-19 juga bagian dari mutasi gen, dari virus Corona berubah-ubah hingga Covid-19, dan Covid-19 pun bermutasi gen menjadi Covid yang lain. Habitat kehidupan kita terganggu akibat ulah manusia sendiri. Dan tidak bisa dipungkiri, Tanah Batak ikut menyumbang rusaknya habitat kehidupan dunia saat ini akibat perubahan hutan tropis menjadi huta monokultur itu.
6) Perampasan tanah rakyat. Pola pembangunan, pertumbuhan ekonomi, dan tata ruang yang karut marut. Demi pembangunan, petugas negara membuat peta citra satelit dari udara yang jauh dari bumi. Pemerintah lalu menyebut hutan ini adalah hutan negara, padahal di tengah-tengah hutan itu, ada pemukiman penduduk. Sebelum Indonesia merdeka, sudah ada permukiman warga di hutan itu, tiba-tiba diklaim sebagai hutan negara. Dan setelah menjadi hutan negara, bisa saja dia seenaknya pemerintah memberi konsesi-konsesi kepada pengusaha-pengusaha. Dan oleh kekuatan sertifikat yang diberikan negara (kepada pengusaha), maka rakyat selalu kalah saat konflik agraria karena tidak punya sertifikat. Dan memang tanah ulayat tidak memiliki sertifikat. Itulah yang terjadi. Akhirnya konflik-konflik muncul antara masyarakat dengan pemilik konsesi lahan yang diberikan Menteri Kehutanan di masa-masa pemerintahan Orde Baru (rezim Soeharto).
7) Polusi Udara. Dampak lingkungan lainnya, mengakibatkan polusi udara, seperti bau tak sedap.
8) Perambahan hutan kemenyan. Perambahan hutan kemenyan di hutan Pandumaan-Sipitu Huta di Humbang Hasundutan, yang konfliknya baru berakhir setelah ada keputuasan Mahkamah Konstitusi tahun 2011 (dibacakan tahun 2012), menyebut bahwa distribusi hutan adat, bukan hutan negara. Kemenyan adalah tanaman khas Tano Batak yang kian langka.
9) Konflik agraria dan sengketa lahan. Dampak lainnya adalah sengketa lahan. Seperti menyerobotan dan pembuldozeran tanaman kopi warga di Nagahulambu, Kecamatan Dolok Panribuan, Kabupaten Simalungun. Konflik di Desa Natumingka, Sihaporas, Matio, dan lainnya.
10) Kesehatan. Kesehatan masyarakat juga terdampak, yakni kulit manusia, terutama anak-anak mengalami gatal-gatal.
11) Pujangga Batak: Tano Batak indah, tetapi dirusak. Jika menyimak lagu-lagu karya Sitor Situmorang atau karya pujangga-pujangga lain dari Tanah Batak, menggambarkan Tanah Batak itu sangat indah. Meski kurang subur dibandingkan dengan tanah di Pulau Jawa, namun alamnya sangat indah, dan di dalamnya, banyak keindahan yang bisa dijual, tetapi telah dirusak. Itulah akibat alih fungsi hutan dari hutan tropis menjadi monokultur. Dan ketika memperjuangkannya, kita selalu diperhadapkan dengan alat negara. Alat negara yang seharusnya melindungi rakyat, justru selama ini melindungi pengusaha. Inilah problem kita yang harus kita atasi.
12) Alkitab berbicara tentang lingkungan. Semua itu karena kerakusan manusia yang tidak terbatas. Akar dosa manusia. Sebab manusia memperlakukan bumi sebagai objek dan mengekploitasinya semata-mata untuk kepentingan sesaat, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang. Dalam Kejadian 1: 31 disebutkan, Allah melihat segala yang dijadikannya itu, sungguh amat baik. Alam punya nilai lepas dari manusia “Allah melihat bahwa semuanya itu baik” (Kejadian 1 : 10, 12, 18, 21, 25) terungkap sebelum manusia dicipta. Allah mempunyai hubungan tersendiri dengan alam tersebut, sebagaimana Ia juga memb uat perjanjian dengan mereka (Kejadian 9: 9-10).
Salah satu alasan Allah menciptakan manusia adalah untuk memelihara kebaikan alam tersebut. Bukan semata-mata mengeksploitasi, tetapi memelihara alam. Betul alam diciptakan untuk manusia, tetapi tidak dapat dikatakan bahwa alam diciptakan hanya untuk kepentingan manusia (Ayub 38 – 41). Ini harus kita garis bawahi, agar alam tidak kita porak-porandakan. Manusia merupakan bagian dari alam, terikat dalam kesatian dengan bagian-bagian alam dan tunduk pada hukum-hukum alam. Manusia dibentuk dari debu tanah (Kejadian 2 : 7) seperti hanya binatang hutan dan segala burung (Kejadian 2 : 19). Jadi lingkungan yang rusak itu dan alam semesta juga saudara kita, saudara sesama ciptaan Tuhan, yang tidak boleh diperlakukan seenaknya. Kita harus berani katakan, Saudara Udang, Saudara (makluk lain), karena kita sesama ciptaan Tuhan.
Sidang Raya PGI di Waingapu, NTT tahun 2019 membahas empat topik masalah, satu di antaranya krisis ekologis. Oleh karena itu, PGI menyerukan kepada semua gereja, seperti HKBP, GKPI, HKI, GPKS, GBKP dan gereja apa pun di Sumatera Utara dan di seluruh Indonesia, harus ikut serta memperjuangkan ekologi. Untuk Tanah Batak terutama, kita semua terpanggil.
13) Kerakusan akar masalah. Amsal 30:15 menyebutkan: Untukku, untukku. Epithumia = Kenikmatan dunia. Kata-kata bijak Mahatma Gandhi, “Earth provides enough to satisfy every man’s needs, but not every man’s greed“. (Bumi menyediakan hal yang cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap orang, tetapi tidak untuk orang-orang yang serakah).
14) Tiga dimensi Spiritualitas Keugaharian Gereja Kristen. Gereja Kristen mempunyai tiga dimensi spiritualitas keugaharian (kesederhanaan) yakni, pertama, keberanian mengatakan cukup, termasuk keberanian mengatakan cukup sudah perusakan lingkungan. Termasuk dari gereja dan pemerintah, harus berani mengatakan, cukup TPL merusak lingkungan. Kedua, kesediaan berbagi kepada mereka yang kurang beruntung. Ketiga, berjuang untuk sistem yang adil, termasuk mengkritik orang-orang rakus yang merusak alam, yang merampok kekayaan alam. Kita tidak bisa mendiamkannya. Pada gilirannya, ibadah adalah membangun hubungan yang harmonis dengan Allah, yang wujudnya dalam keharmonisan dengan seluruh ciptaan-Nya, termasuk diri sendiri dan sesama manusia. Kesimpulannya, gereja adalah sahabat alam.
15) Stop menggunakan produk perusahaan tidak ramah lingkungan. Agar memberi efek jera, mari terus kampanye kepada dunia, stop menggunakan produk hasil perusahaan-pengusaha yang tidak ramah lingkungan. Dan merampok tanah rakyat. Mari konkret bekerja, membangun kerja sama dengan pegiat lingkungan hidup seperti Greenpeace. Ini bukan tidak cinta bangsa. Bukan juga tidak memiliki nasionalisme. Tetapi kita sekarang transnasional. Kebangsaan kita juga harus melihat kemanusiaan dalam kerangka global.