JAKARTA,PGI.OR.ID-Krisis Ekologi: Menemukan dan Membangun Ekoteologi yang Berkesadaran Global. Demikian tema webinar nasional seri 1 yang dilaksanakan oleh Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia (DPP PIKI), bidang Teologi dan Ekumenisme, pada Minggu (1/8), yang diikuti sekitar 148 orang peserta dari berbagai wilayah Indonesia.
Membuka webinar, Ketua Umum DPP PIKI Dr. Badekenita Sitepu dalam sambutannya menegaskan, alam semesta merupakan “oikos” atau rumah bersama bagi manusia dan ciptaan lainnya, namun kondisi yang sedang kita hadapi sekarang ini memperlihatkan realitas krisis ekologis, sehingga DPP PIKI terpanggil untuk menunjukkan perannya dalam upaya membangun kesadaran ekoteologis melalui pelaksanaan seri webinar nasional.
Diapun mengingatkan tentang komitmen Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan yang saling terkait dan terintegrasi dalam setiap langkah gereja Kristen di dunia sebagaimana menjadi komitmen Dewan Gereja-gereja Dunia.
Sebagai keynote speaker, Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) RI, Alue Dohong P,hD, dalam paparannya menekankan 4 poin penting dalam hubungan manusia dengan kerusakan ekologis, yaitu penciptaan alam semesta dan manusia, isu-isu kekinian menyangkut kerusakan ekologis di Indonesia, pemerintah dan kebijakan, serta peran strategis dan kontribusi para cendikiawan Indonesia dalam mengatasi persoalan ekologis.
Menurutnya, manusia sebagai mahkota ciptaan dari segala ciptaan lainnya menunjukkan sifat dominasi yang cenderung mengeksploitasi alam. Allah sesungguhnya menciptakan alam semesta, bukan hanya untuk kebutuhan manusia saja, tetapi juga untuk ciptaan lainnya. Justru manusia memiliki tanggungawab untuk memelihara seluruh ciptaan tersebut bahkan keberlanjutannya atau sustainability message.
Wakil LHK menegaskan, para cendekiawan, termasuk cendikiawan Kristen, untuk menunjukkan tanggungjawabnya dalam meningkatkan kesadaran ekologis umat melalui khotbah-khotbah dan pengajaran yang berorientasi pada pemeliharaan alam semesta. Sebagai Cendekiawan Kristen Indonesia, PIKI dan 3 umat Kristen lainnya harus tampil menjadi penjaga moral yang terlibat secara praktis dalam perannya memelihara alam, dan menjadikan kelestarian lingkungan sebagai tanggungjawab profetis bersama.
Narasumber lain, Manager Kajian Kebijakan Eksekutif Nasional WALHI Boy Jerry Even Sembiring mengungkapkan 3 relasi manusia dengan alam yang terdiri dari Antroposentrisme yang menggambarkan superioritas manusia. Biosentrisme: superioritas spesies (living and non living) Ekosentrisme: menekankan bahwa human, dan non human memiliki posisi yang setara dan berkeadilan (ecological justice).
Ketiga hal ini menjadi Green Theorical Frameworks yang bertujuan mewujudkan keadilan spesies dan keadilan ekologis sebagai hak seluruh entitas. Pemateri ini memberikan kritik tajam tentang krisis ekologi di era kapitalisme ini. Salah satu dampak antrofosensentris terhadap kerusakan lingkungan bukanlah persoalan illegal loging, “itu hanya bagian kecil saja” tuturnya. Namun akar masalahnya adalah pada logika kapitalisme.
Pegiat Walhi ini memaparkan perlunya melakukan redefinisi, reposisi dan transformasi. Artinya, manusia perlu memaknai ulang bahwa manusia sebagai mahluk sosial, juga sebagai mahluk ekologis, sehingga orientasi ekonomi (economic man) menuju ecological man. Kita juga perlu memposisikan ulang dirinya dengan menggali sejarah konteks Indonesia dalam terang Pancasila yang berperikemanusiaan, dan menolak kapitalisme. Tetapi menjungjung tinggi ekonomi rakyat dengan prinsip usaha bersama, asas kekeluargaan dan kemakmuan rakyat.
Sementara itu, Komisi Faith and Order World Council of Churches Pdt.Yolanda Pantou, yang juga narasumber dalam webinar ini, menjelaskan dokumen Faith and Order yang dalam pendahuluannya mengeksplorasi tentang degradasi, objektifikasi dan komersialisasi ciptaan Tuhan. Orang-orang yang paling terdampak adalah mereka yang hidup dalam kemiskinan, dan yang paling tragis adalah kehidupan generasi yang akan datang. Manusia adalah orang yang paling bertanggungjawab atas kehancuran iklim, dan agama-agama perlu menyatakan keprihatinan yang mendalam terhadap kerusakan alam dan perubahan iklim di bumi. Keprihatinan terhadap Lingkungan merupakan panggilan iman yang sangat mendesak demi eksistensi hidup bersama.
Dokumen tersebut menegaskan bahwa keperdulian dan perlindungan bagi mereka yang rentan bahkan alam yang menjerit dalam keheningan harus dinyatakan sebagai ukuran kemanusiaan kita. Selanjutnya pemateri ini menegaskan bahwa Kerusakan lingkungan hidup harus dilihat dalam tinjauan teologis. WCC menjadikan penciptaan sebagai thema teologis dalam pertemuan-pertemuan dari masa ke masa. Gereja-gereja dipanggil untuk membangun komitmen bersama terhadap isu keadilan, perdamaian dan integritas ciptaan.
Menutup paparannya, Pdt. Yolanda Pantou menegaskan bahwa keadilan ciptaan hanya mungkin terjadi ketika manusia bertobat (metanoia) dan melakukan tanggungjawab yang diberikan Tuhan kepada mereka melalui keperdulian kepada ciptaan di bawah tuntutan Roh Kudus, dan melihat ciptaan sebagai anugerah berharga dari Allah yang kita sambut dengan rasa syukur. Pertobatan gereja-gereja akan melahirkan sebuah kesadaran bahwa kita telah menghianati rekonsiliasi sebagai puncak rencana Allah bagi ciptaan, dan kesadaran itu akan melahirkan tanggungjawab bersama untuk memelihara keutuhan ciptaaan lewat praksis eko-ekklesiologi.
Dalam setiap sesi tanya jawab, peserta mengajukan pertanyaan dengan antusias, baik dalam ruang chat, maupun bertanya langsung kepada narasumber. Ada catatan rekomendatif dari peserta yang mengusulkan bahwa Kekristenan dan PIKI ke depan, tidak hanya bersandar pada ekoteologis, tetapi juga melihat persoalan kerusakan ekologis dalam sistem sosial (Socio-ecological system), sebab dalam level sosial kita adapat melihat keterkaitan konteks yang lebih luas.
Pewarta: Markus Saragih