JAKARTA,PGI.OR.ID-Sebuah foto seorang jemaat perempuan memegang spanduk bertuliskan “lebih kurang 6 tahun kami beribadah di bawah tenda, namun kami belum pernah mendapatkan kepastian hukum” viral. Kemudian banyak mempertanyakan apa yang telah dilakukan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) dengan kondisi itu?
Sekretaris Eksekutif Bidang Keadilan dan Perdamaian PGI Pdt. Henrek Lokra menginformasikan bahwa berita tersebut adalah kejadian tahun 2015. “PGI sejak awal terlibat memediasi persoalan tersebut. PGI tidak memiliki alat pemaksa, yang punya alat pemaksa itu adalah negara, dalam hal ini Polisi, Satpol PP dan Jaksa. Ini tergantung Pemerintah Pusat untuk intervensi persoalan ini,” tegasnya.
Dalam catatan yang ada, keterlibatan PGI bermula dari peristiwa perusakan dan pembakaran gereja di Aceh Singkil yang terjadi pada Oktober 2015 lalu. Umat Kristen di daerah itu hingga kini masih beribadah di bawah tenda. Perjanjian antara 11 perwakilan dari masing-masing umat Islam dan Kristen bahwa hanya boleh terdapat 1 gerejadan 4 undung-undung (gereja kecil) di wilayah Singkil tidak pernah terlaksana.
Bahkan, pada Agustus 2020 diinformasikan bahwa rencana pembangunan rumah dinas pendeta Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD) Napagaluh, yang adalah anggota PGI, dipersulit oleh Pemkab Aceh Singkil dengan rujukan regulasi negara Peraturan Bersama Menteri Nomor 9 dan 8 tahun 2006 dan Qanun Aceh Nomor 4 tahun 2016 tentang Pedoman Pemeliharaan Kerukunan Antar Umat Beragama.
Situasi yang sama sekali bertentangan dengan tugas pemerintah dalam rangka pembinaan kerukunan antar umat beragama itu sendiri. Fakta menunjukan bahwa kehidupan kerukunan antar umat beragama yang natural hidup berdampingan selama ini, malah dirusak oleh Pemkab Aceh Singkil yang tidak melaksanakan tugas pembinaan warga secara baik atau dapat diduga sengaja dipelihara untuk komoditas politik kelompok tertentu.
Pada Desember 2020, Komnas HAM melakukan mediasi antara para pihak. Namun bisa dikatakan mediasi tersebut gagal karena pihak Pemkab Aceh Singkil memandang bahwa sebagai pendatang warga Singkil yang Kristen harus menyesuaikan diri dengan budaya setempat.
Melihat masalah ini PGI tidak tinggal diam. Sejak awal mediasi dan advokasi telah dilakukan. PGI juga berkoordinasi dengan Kantor Staf Presiden namun belum menemukan solusi di mana 21 gereja mendapatkan izin pendirian rumah ibadah. PGI telah melaksanakan fungsinya bersama gereja-gereja di Aceh singkil. Dalam PBM 9&8 2006 ditegaskan bahwa pemerintah wajib memfasilitasi pendirian rumah ibadah.
PGI telah dua kali (tanggal 15 dan 22 Oktober 2015), menyurati Presiden Jokowi terkait persoalan di Aceh Singkil. Dalam surat tersebut PGI menyampaikan keprihatinan atas abainya Negara dalam menjamin penegakkan hak-hak masyarakat dalam menjalankan ibadahnya, dan mempertanyakan komitmen Pemerintah RI terhadap mandat Konstitusi untuk melindungi segenap masyarakat (Pembukaan UUD 1945) dan untuk menjamin kebebasan beragama (Pasal 29 UUD 1945).
Pewarta: Markus Saragih