JAKARTA,PGI.OR.ID-Presiden Jokowi saat ini tengah menunjukkan dirinya sendiri dengan menjadikan pakaian adat dari Masyarakat Adat Baduy sekadar pembungkus badan, tapi Indonesia dibuat sangat jauh dari paradigma pembangunan ala Baduy yang begitu menghormati bumi.
Demikian disampaikan oleh Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menanggapi kehadiran Presiden Jokowi saat menghadiri sidang tahunan MPR 2021 dengan mengenakan pakaian adat Baduy.
Dalam janji Nawacita disebutkan bahwa Presiden Jokowi berkomitmen untuk melindungi dan memajukan Hak-Hak Masyarakat Adat, dengan membuat kebijakan perlindungan dan pemajuan hak-hak masyarakat adat dengan meninjau ulang dan menyesuaikan seluruh peraturan perundang-undangan terkait dengan pengakuan, penghormatan, perlindungan, dan pemajuan kah-hak masyarakat adat.
Kemudian berkomitmen melanjutkan proses legislasi RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat, Memastikan proses-proses legislasi terkait pengelolaan tanah dan sumberdaya alam pada umumnya, mendorong penyusunan Undang-Undang terkait penyelesaian konflik-konflik agraria, membentuk Komisis Independet untuk mengurus hal-hal yang berkaitan dengan pengakuan, penghormatan, perlindungan, dan pemajuan hak-hak masyarakat adat ke depan.
“Namun sampai saat ini janji Nawacita belum terpenuhi satu pun. Bahkan perampasan wilayah adat terus terjadi. Sementara itu Satgas Masyarakat Adat menguap tidak tahu kemana. Dan Undang-Undang Masyarakat Adat belum juga disahkan, bahkan terus melemah di DPR. Malah yang disahkan adalah Revisi Undang-Undang Minerba dan Omnibus Cilaka (Undang-Undang Cipta Kerja),” tambah Rukka Sombolinggi.
Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan YLBHI Siti Rahma Mary menyampaikan hal serupa. “Menghormati masyarakat adat tidak cukup hanya memakai pakaiannya saja, sementara pengakuan terhadap tanah, wilayah, asal-usul, dan budayanya diabaikan, masyarakatnya digusur dan ditangkapi. 88 persen konflik tanah dan sumber daya alam yang diadvokasi YLBHI-LBH tiga bulan terakhir berada di wilayah masyarakat adat. Apakah dengan mengenakan pakaian adat Presiden hendak merayakan kemenangan atas pengusiran masyarakat adat di bawah UU Cipta Kerja?,” tanya Siti Rahma Mary.
“Keberpihakan negara terhadap masyarakat adat sebagai kelompok rentan dan selama ini cukup terabaikan adalah sebuah keharusan dan kemendesakan. Menjadi tanda tanya besar pada perayaan 76 tahun kemerdekaan RI sebagai negara demokratis, dengan belum terpenuhinya aspek rekognisi, penghormatan, perlindungan dan kepastian hukum terhadap para pemilik hak ulayat dan cikal bakal negeri ini. Kita butuh dukungan yang lebih substansial daripada sekadar kemasan dengan mempromosikan pakaian adat atau karya seni masyarakat adat lainnya. Pemangku kebijakan dengan semangat keberpihakan dan keadilan itu, sudah seharusnya memprioritaskan pengesahan RUU Masyarakat Adat yang telah lama dinantikan- sebagai sebuah kado kemerdekaan yang sejati,” ujar Pdt. Jimmy Sormin, Sekretaris Eksekutif KKC-PGI.
“Ada dua hal yang perlu ditekankan terkait posisi konstitusi dalam menghormati masyarakat adat. Pertama, pengakuan dan penghormatan masyarakat adat harus disertai dengan pengakuan dan penghormatan hak-hak tradisionalnya. Kedua, hak menguasai negara terhadap sumber daya alam harus dan hanya boleh dilakukan demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dan saat ini Pemerintah belum sepenuhnya melaksanakan perintah konstitusi tersebut,” kata Agung Wibowo, Direktur Perkumpulan HuMa Indonesia.
Untuk itu, Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat mendesak untuk segera memastikan pengesahan RUU Masyarakat Adat yang sesuai dengan Aspirasi Masyarakat Adat. Koalisi memandang bahwa draf RUU Masyarakat Adat yang ada di DPR saat ini tidak akan menjawab persoalan yang dihadapi Masyarakat Adat tetapi justru akan semakin menjauhkan Masyarakat Adat untuk dapat menikmati hak-hak konstitusionalnya.
Pewarta: Markus Saragih