JAKARTA, PGI.OR.ID – Sejumlah tokoh agama dan tokoh masyarakat mengapresiasi apa yang dilakukan Pemerintah dalam menangani pandemi Covid 19. Apresiasi itu disampaikan saat bertemu dengan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo di Istana Negara pada Senin (30/8).
Dihadapan para tokoh agama dna tokoh masyarakat Presiden Jokowi memaparkan kondisi penanganan, kondisi ekonomi dan rencana perpindahan ibukota. Atas pemaparan presiden tersebut sejumlah tokoh agama menyampaikan tanggapannya.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) KH. Said Aqil Siradj menyampaikan apresiasinya kepada Presiden atas pertemuan silaturahim hari ini. “Diperlukan silaturahim lintas agama, lintas organisasi dan lintas budaya untuk bersatu menghadapi pandemi ini. Kalau pemerintah jalan sendiri akan sulit. Harus bersama ormas-ormas yang ada,” kata Aqil Siradj. Ketua Umum PBNU juga menyatakan rasa hormat dan keprihatinannya atas banyaknya korban jiwa akibat pandemi ini, utamanya para nakes. Kh.Said juga menginformasikan sebanyak 670an kyai NU meninggal akibat covid-19.
Sementara itu Sekretaris Umum PP Muhammadyah Abdul Mukti menyampaikan apresiasinya atas pertemuan hari ini, terlebih dengan gambaran optimistis yang dipaparkan oleh Presiden Jokowi. “Tapi kita tetap harus hati-hati. Kami di Muhammadyah sangat hati-hati. Jangan eforia,” ujarnya. Selanjutnya Mukti juga menyarankan perlunya pemerintah menyeimbangkan antara gas dan rem dengan menginjak setengah kopling, dalam penanganan pandemi ini, antara trend penyebaran covid dan geliat ekonomi.
Terkait dengan program vaksinasi, Mukti menyampaikan masih terdapatnya kendala teologis dan kendala teknis di lapangan, terutama menyangkut ketersediaan vaksin dan kurangnya tenaga vaksinator. “Untuk itu diperlukan segera training singkat, pun kepada mahasiswa Kesehatan.”
Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Pdt Gomar Gultom menyampaikan apresiasi atas kebijakan dan langkah-langkah yang ditempuh pemerintah dalam menanggulangi covid-19. Kepada Presiden, Gultom juga menyampaikan informasi sejumlah hal yang dilakukan PGI bersama gereja-gereja di Indonesia antara lain, penyebaran edukasi dan informasi seputar pandemi dan vaksinasi, pengembangan solidaritas dengan sesama, khususnya mereka yang terpapar pandemi, baik korban covid maupun perekonomian yang terpuruk, serta upaya gereja dalam mensukseskan program vaksinasi.
Gomar juga menyinggung tentang kesenjangan antar wilayah menyangkut akses vaksinasi ini, khususnya di daerah terpencil dan daerah timur Indonesia. “Secara khusus saya memohon perhatian Bapak Presiden atas wilayah Papua. Banyak penduduk menolak vaksinasi karena vaksinatornya dari TNI dan Polri. Masalah Papua ini selalu berlapis, vaksin pun bisa diseret dan diinterpretasikan ke hal-hal lainnya. Terkait hal ini, saya mengusulkan agar vaksinator di Papua sebaiknya dilakukan oleh nakes non TNI dan Polri. Jika tenaga kurang, gereja-gereja siap memambatu mengirimkan relawan. TNI dan Polri dapat menopang dari belakang.”
Gomar juga meminta perhatian bersama akan gonjang-ganjing politik yang tidak perlu yang diakibatkan oleh syahwat politik yang tinggi dari para elit politik yang sudah tak sabar dengan Pileg dan pilpres 2024. Gomar meminta agar semua konsentrasi bahu membahu mengatasi pandemi dan tidak menggunakan pandemi ini sebagai ajang untuk panggung kontestasi politik.
Ketua Presidium KWI, Mgr. Ignatius Suharyo juga menyampaikan apresiasi atas penanganan pandemi oleh pemerintah. “Kami dari gereja Katolik selalu menekankan kebaikan bersama, yang mencakup dua hal, yaitu cinta tanah air dan peduli. Peduli ini adalah watak dasar masyarakat Indonesia, dan ini menjadi modal dasar untuk membangun Indonesia, termasuk menghadapi pandemic dengan protokol kesehatan.”
Hal lain yang disampaikan Kardinal Suharyo adalah perlunya vaksinasi keliling untuk menjangkau masyarakat yang kesulitan akses vaksinasi karena ketiadaan KTP. “Seperti yang segera akan kami lakukan di Bantar Gebang, dengan vaksinasi keliling, diharapkan mampu menjangkau mereka yang tidak memiliki KTP,” demikian Kardnial Suharyo.
Mendukung pemindahan ibukota
Rencana pemindahan ibukota ke Kalimantan Timur, hampir semua yang hadir mendukung rencana tersebut. Jakarta dengan beragam problematiknya dipahami sama sebagai tidak mendukung untuk menjadi ibukota negara yang layak di masa depan, apalagi dengan ancaman terkait masalah lingkungan hidup.
Ada beberapa masukan mengenai rencana pemindahan bukota tersebut. Sekretaris Umum PP. Muhammadiyah Abudl Mukti menyampaikan perlunya memperhatikan faktor timing atau waktu yang tepat. Menurutnya masa pandemi ini masih belum tepat saatnya untuk itu.
Sementara Ketua Umum PGI Pdt Gomar Gultom menyebutkan perlunya memberi perhatian khusus kepada penduduk lokal agar tidak menjadi sekadar penonton, apalagi terpinggirkan dari proses pembangunan ibukota negara ini. “Sebaiknya kita belajar dari pembanagunan Jakarta yang meminggirkan orang-orang Betawi,” kata Gomar.
Menanggapi masukan yang diberikan, Presiden Jokowi menyampaikan sejumlah hal, natara lain Pemerintah akan selalu mendengar dari berbagai sisi agar ada keseimbangan atau equilibrium dalam mengambil kebijakan menghadapi pandemi ini, misalnya antara pengusaha dan epidemiolog.
Presiden Jokowi juga menyampaikan bahwa mendekati Maulid Nabi, Natal dan Tahun Baru, diminta agar terus mengingatkan umat untuk mematuhi protokol kesehatan. “Penentuan pandemi ke endemi membutuhkan transisi, dengan syarat positivity rate 5%. Saat ini kita masih 12% dan khusus Jakarta 8%. Sebelumnya Indonesia sempat 35%,” ujar Presiden Jokowi.
Soal pemindahan ibukota, Pemerintah tidak ngoyo, tetapi perlu dimulai tahapannya. “Brasil memerlukan waktu 20 tahun dan Putra Jaya 4,5 tahun. Tentu kita tidak perlu tergesa-gesa di masa pandemi ini, tetapi upaya ini juga akan menaikkan geliat ekonomi. Semua yang kita capai sekarang adalah karena kita semua bekerja,” ujar Presiden menutup pertemuan tersebut. (gg)