WAINGAPU,PGI.OR.ID-Tingginya kasus kekerasan seksual terhadap anak di Sumba Timur membuat pasangan suami-istri, Fendy Armando dan Elizabeth Heniwijaya tergerak untuk membuka shelter sebagai “Rumah Aman” bagi mereka yang mengalaminya.
Di tempat ini, korban mendapat perlindungan, pendidikan, ketrampilan, dan penanganan secara holistik, dengan melibatkan para relawan. Sekalipun terus berkomunikasi dengan Dinas Sosial setempat, mereka masih terus bergumul dengan fenomena gunung es dari kasus anak korban kekerasan, serta beragam keterbatasan shelter ini sendiri dalam melayaninya.
“Kerena kebanyakan pelakunya keluarga dekat, bisa ayah kandung atau saudara kandung, pastilah rumah mereka tidak lagi menjadi aman bagi dirinya. Jadi kami membuat shelter ini agar mereka merasa aman, dan bertumbuh dengan baik di sini,” jelas Fendy ketika ditemui Tim PGI usai mengikuti kegiatan Orientasi Kader Gereja untuk Percepatan Pencegahan dan Penurunan Stunting di Waingapu, Sumba Timur, beberapa waktu lalu.
Sejauh ini shelter tersebut berada di bawah bendera Yayasan Hambila Wai Luri yang berlokasi di Jalan Ikan Hiu No. 14 Kambajawa, Kota Waingapu, Sumba Timur, NTT. Menurut Fendy, apa yang dilakukannya itu, bermula ketika melakukan pelayanan di salah satu desa terpencil di Sumba Timur.
“Ketika saya melayani tiba-tiba ada 3 anak yang berumur 13, 14 dan 16 tahun datang mendekat sambil menangis. Saya tanya kepada pemilik rumahnya kenapa anak ini menangis, ternyata anak itu sudah hamil. Dari situlah kami tidak bisa tidur. Saya tanya Tuhan kira-kira apa sih yang bisa kita lakukan buat anak-anak ini, apalagi ternyata mereka jadi korban kekerasan seksual oleh keluarga dekat,” jelasnya.
Keberadaan rumah aman ternyata sangat dibutuhkan. Hal ini terbukti sejak didirikan 2 tahun lalu, anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual terus berdatangan. Namun karena keterbatasan, tidak semua bisa ditampung. Pasalnya, jelas Fandy, jika menerima mereka tidak sebatas memberikan rasa aman saja, tetapi juga pendidikan, ketrampilan, serta penguatan secara spiritualitas, agar kelak bisa hidup mandiri.
“Kami memang sangat fokus untuk melindungi anak-anak, jangan sampai niat menolong tapi malah tidak menyelesaikan masalah. Kami ingin memastikan dia pulih secara psikologis, dan punya masa depan yang lebih baik. Sementara untuk persoalan hukumnya kami bicarakan dengan rekan-rekan di LBH. Kami hanya memfasilitasi kalau teman-teman butuh informasi, baik dari korban, dan lain-lain,” tandasnya.
Shelter rumah aman kini menampung 6 orang anak, dan dua diantaranya perempuan yang telah memiliki bayi. Fandy merasa bersyukur karena sekarang ada beberapa tempat yang sudah mulai memiliki rumah aman. “Ada beberapa teman, puji Tuhan sudah mulai bergerak, kita besyukur kepada Tuhan bahwa ada juga orang-orang yang tergerak dan kita tidak lagi jalan sendiri,” tandasnya.
Dia juga merasa bersyukur karena pelayanan rumah aman serta pelayanan lainnya, masih bisa berjalan hingga sekarang, meski hanya mengandalkan kocek pribadi, serta bantuan dari beberapa teman. Mereka juga membutuhkan dukungan gereja, agar anak-anak tersebut mendapat dukungan pastoral, dan shelter ini sendiri dilindungi dari kemungkinan adanya tekanan dari pihak-pihak tertentu di masyarakat.
Pewarta: Markus Saragih