Oleh: Pdt. Jacklevyn F. Manuputty
Orang bilang Wamena itu surga kecil, tempat berkumpul suku-suku dari Pegunungan Tengah, Papua. Kota indah yang terletak di cekukan lembah Baliem itu memang menawan. 34 tahun silam saat beta berkunjung ke Wamena, kota sejuk itu dihiasi bunga beraneka warna.
Pasar Nayak adalah salah satu destinasi yang sering beta kunjungi ketika itu. Pasar itu sungguh unik, bisa dilihat orang-orang suku Dani menjual hasil kebun dan ternak mereka, berbaur dalam damai dengan warga pendatang. Orang-orang Dani dengan busana khas, Holim (Koteka) bagi lelaki dan Yokal serta Sali (rok rumbai) yang terbuat dari kulit pohon untuk wanita mewakili tradisi masa silam, bercampur dengan para pedagang warga pendatang yang hilir mudik mengenderai motor dan kendaraan lainnya sebagai penanda era modern.
Setelah 34 tahun beta Kembali, Wamena telah bersalin rupa menjadi kota modern. Bandara udara Wamena adalah penanda pertama perubahan itu, keren dan megah. Banyak gedung modern kini berdiri, menggantikan honai yang dulu masih ditemukan di sekitar kota. Infrastruktur kota bertumbuh dimana-mana, mengoyak romantisme beta tentang Wamena sebagai ‘kota bunga’ yang sejuk dan menawan. Kota mengalami perluasan, pasar Nayak telah dipindahkan ke pinggiran kota. Di tempat lamanya sudah dibangun pasar modern, juga mall Wamena simbol modernitas.
34 tahun adalah masa yang panjang untuk merubah wajah kota ini secara fisik, namun tidak secara psikis. Harga -harga kebutuhan pokok memang telah jauh lebih murah dibanding 34 tahun lalu, namun harga ‘rasa percaya’ terasa meroket tinggi.
Persoalan sosial-politik di wilayah pegunungan tengah telah menebarkan kecurigaan yang tinggi dari ‘Orang Asli Papua (OAP) di wilayah itu terhadap elemen-elemen pemerintahan, terutama TNI dan Polri. Begitu pula sebaliknya, kelompok-kelompok OAP, atau yang berhubungan dengan mereka, selalu diawasi. Kekerasan dan pelanggaran Ham akibat konflik KKB dan TNI-Polri di beberapa kabupaten pegunungan tengah menyulut ketegangan sampai ke Wamena.
Para pendeta lintas denominasi yang beta jumpai dalam kunjungan ke Wamena menuturkan betapa sulitnya mereka berada di tengah ketegangan itu. “OAP itu jemaat kami, begitu pula banyak anggota TNI-Polri adalah anggota jemaat kami. Kami harus melayani mereka dengan setara. Terkadang oleh aparat keamanan kami dicurigai. Dalam beberapa pertemuan pendeta, Alkitab dan jubah pendeta milik kami harus diperiksa. Sebaliknya, kalau kami berkordinasi dengan aparat keamanan, kami juga dicurigai oleh kelompok-kelompok OAP,” ujar seorang pendeta.
Ucapan ini tak beta sangkali. Dalam pertemuan pertama dengan sejumlah pendeta lintas denominasi di Wamena, seorang anggota intelejen polisi meminta turut serta. Beta mengijinkannya masuk, kemudian memintanya meninggalkan ruang pertemuan setelah menjelaskan sifat pertemuan sebagai perjumpaan pastoral antara sesama pendeta.
Melayani sebagai pendeta di Wamena dan wilayah pegunungan di sekitarnya memang tak mudah. Para hamba Tuhan ini bahkan harus berhati-hati untuk mengkritisi ketidak-adilan yang dialami OAP melalui khotbahnya. Seorang aktivis kemanusiaan di Wamena membisiki beta, “Saya ingin para hamba Tuhan disini menyampaikan isu-isu kemanusiaan secara terbuka dalam khutbah-khutbah mereka, tidak melulu uraian biblika dan teologis”.
Rekan-rekan pendeta di Wamena dan sekitarnya memang menyimpan banyak narasi pahit sepanjang pelayanan mereka, terutama narasi-narasi ketersingkiran OAP dari ulayat adat mereka di pegunungan, namun sulit bagi mereka menumpahkannya secara vulgar di ruang publik.
Konflik tak berkesudahan antara TNI-Polri dengan KKB di wilayah pegunungan menimbulkan penderitaan yang amat sangat, menyulut gelombang pengungsi dari jemaat-jemaat mereka yang mendiami wilayah itu ke berbagai daerah lain yang dirasa aman. Setidaknya ada empat kabupaten di wilayah pegunungan tengah yang terjebak konflik bersenjata, masing-masing; Kabupaten Nduga, Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Yakuhimo, dan Kabupaten Pegunungan Bintang.
Sungguh tragis nasib jemaat-jemaat disana. Mereka tersebar ke berbagai tempat pengungsian, meninggalkan kampung dan seluruh fasilitas peribadahan mereka begitu saja. Para pendeta menginformasikan bahwa jemaat-jemaat dari denominasi Gereja Kingmi Papua dan Gereja Baptis yang paling terdampak karena jumlah mereka yang paling banyak di wilayah-wilayah konflik itu. Tak mengherankan kalau para pemimpin gereja dari denominasi ini terkenal bersuara vocal dalam mengkritisi kebijakan pengelolaan keamanan yang diterapkan pemerintah di wilayah pegunungan tengah.
“Barangkali juga tentara dan polisi bilang saya ini OPM di kota, tapi yah mau bikin bagaimana lagi. Kita ini gereja jadi kita melayani secara bebas,” kata seorang pendeta dari Gereja Kingmi yang beta jumpai di Wamena. Di wilayah Nduga terdapat 13 Klasis Gereja Kingmi. Satu klasis biasanya terdiri dari beberapa jemat. Saat ini semua telah kosong. Menurut mereka, aparat kemanan sepenuhnya menguasai wilayah itu.
Informasi yang didapat dari para pendeta tak berbeda dengan tuturan para pengungsi asal Nduga yang beta jumpai di Wamena keesokan harinya. Sejak tahun 2019 mereka sudah mengungsi meninggalkan Nduga. Tak ada lagi warga yang tersisa disana, kecuali yang berlindung di Distrik Kenyam, Ibukota Kabupaten Nduga. 31 distrik lain sepenuhnya kosong.
Hampir seluruh warga Nduga yang mengungsi menetap di sekitar Wamena. Menurut salah satu kordinator pengungsi, warga Nduga menempati 14 titik pemukiman di sekitar Wamena dan lembah Baliem. Di Wamena mereka disambut baik oleh warga setempat. Sekalipun begitu, mengelola kehidupan sebagai pengungsi tentu tak mudah.
Hidup pengungsi hanya menumpang, mereka pun tak miliki lahan untuk dikembangkan. “Pergi ke Nduga sama saja menyerahkan nyawa karena wilayah itu sepenuhnya dikuasai aparat keamanan,” kata salah seorang pengungsi. Ketika beta tanyakan, apa yang sungguh mereka harapkan dalam situasi seperti ini, mereka serempak menjawab, “kami ingin aparat TNI-Polri ditarik dari wilayah pegunungan”. Harapan yang tentunya tak mudah, namun juga tak mustahil.
Wamena memang telah jauh berkembang di bidang infrastruktur, namun dalam soal kemanusiaan Wamena menimbun banyak narasi luka dan duka. Kemarahan, kesedihan, dendam, dan rasa percaya yang tergerus menggumpalkan energi negative yang mengalir turun dari wilayah-wilyah pegunungan tengah dan menggenangi Wamena.
Kota bunga yang beta kenal telah berubah menjadi kota penuh kecurigaan. Tingkat criminal meningkat pesat. Kelompok-kelompok begal merajalela dan membegal, baik pendatang maupun OAP, manakala ada kesempatan. Seorang ibu pendeta bahkan meninggal karena dibegal di tepi jalan. “Daerah ini membutuhkan proses healing yang tak mudah”, seorang pendeta berbisik lirih. Beta lalu teringat ucapan Pdt. Benny Giay dalam pertemuan kami di Jayapura sebelum beta berangkat ke Wamena. “Hamba Tuhan, saya ingin melihat Kristus hadir di ruang-ruang public di Papua, bukan Cuma di gereja”.
(Catatan kunjungan akhir November ’21 ke Wamena)
Penulis, Sekretaris Umum PGI