JAKARTA,PGI.OR.ID-Deputi V Kepala Staf Kepresidenan, Jaleswari Pramodhawardani, mengatakan bahwa pemerintah akan terus menampung masukan dan aspirasi masyarakat terkait Rancangan Undang-undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).
Ia memastikan bahwa perspektif yang digali dari koalisi masyarakat sipil dan
akademisi melalui konsultasi publik RUU TPKS mendapatkan perhatian serius dan dikaji secara mendalam sebagai bagian dari proses penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) oleh Pemerintah.
“Masukan kelompok masyarakat sipil dan akademisi merupakan bagian tidakterpisahkan dalam proses penyusunan DIM Pemerintah. Kami ingin semua pihak turut serta dan aktif menyempurnakan substansi RUU TPKS,” kata Jaleswari usai menghadiri acara konsultasi publik RUU TPKS yang digelar secara hybrid di Jakarta, Kamis (3/2).
Deputi V yang sekaligus Wakil Ketua Tim Pelaksana Gugus Tugas Percepatan
Pembentukan RUU TPKS ini pun menyampaikan bahwa kementerian/lembaga juga telah menyiapkan skema tindak lanjut untuk mendukung pengimplementasian RUU TPKS ke depan nanti.
Diantaranya, kajian pembentukan direktorat khusus untuk penanganan kasus kekerasan seksual di Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia serta Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) sebagai one-stop service bagi korban kekerasan seksual.
“Proses penyusunan DIM ini dikoordinasi oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) dengan melibatkan berbagai
kementerian/lembaga serta perwakilan kelompok masyarakat sipil dan akademisi. Kami dari Pemerintah mengucapkan terimakasih terhadap kawan-kawan sipil serta akademisi semua,” lanjut Jaleswari.
Dalam konsultasi publik tersebut, Joni Yulianto dari Forum Masyarakat
Pemantau untuk Indonesia Inklusif Disabilitas (Formasi Disabilitas)
menyampaikan bahwa korban kekerasan seksual disabilitas membutuhkan bentuk-bentuk penanganan dan pendekatan yang berbeda. RUU TPKS perlu menjamin inklusivitas ini.
“Difabel sering tidak menyadari dan tidak memahami tentang alat kontrasepsi bahkan tidak memahami pelecehan dan kekerasan seksual. Sehingga pendekatannya menjadi cukup berbeda dari situlah saksi ahli dan profile assessment menjadi penting untuk menjelaskan hal hal seperti ini,” kata Joni.
Selain itu, beberapa isu seperti kewajiban restitusi bagi pelaku, kehadiran Lembaga Pelayanan di kawasan terpelosok dan terpencil, serta perlindungan yang komprehensif bagi korban kekerasan seksual dibawah umur juga menjadi hal yang menjadi perhatian utama para perwakilan masyarakat sipil dan akademisi.
“Kami mengapresiasi kerja keras tim pemerintah, yang tidak berlama-lama
menyiapkan DIM pemerintah. Kami berharap untuk terus dilibatkan lebih jauh dalam diskusi-diskusi penting seperti ini dalam tim pemerintah dan mengawal bersama RUU TPKS saat pembahasan nanti di DPR,” kata Ratna Batara Munti, Pengurus Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK).
Pewarta: Markus Saragih