JAKARTA,PGI.OR.ID-Maraknya siswa di sekolah negeri dipaksakan untuk menggunakan baju jilbab membetot perhatian. Karena itu, Setara Institute angkat bicata dan meminta Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Tekonologi Nadiem Makarim agar menindak tegas sekolah negeri yang memaksa siswi mengenakan jilbab.
Permintaan itu berkaitan dengan kasus pemaksaan pemakaian hijab yang marak terjadi di sejumlah sekolah negeri di Indonesia belakangan ini. “Pemaksaan pemakaian jilbab yang diduga dilakukan oleh sekolah negeri, baik pimpinan sekolah, guru-guru, maupun tenaga pendidikan di dalamnya, nyata-nyata merupakan pelanggaran dan penyelewengan kewenangan yang dimiliki oleh para aparatur di sekolah-sekolah milik negara tersebut,” kata Wakil Ketua Badan Pengurus Setara Institute Bonar Tigor Naipospos dalam keterangan resmi, Kamis (4/8).
Oleh karena itu, lanjut Bonar, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mesti memberikan sanksi terukur yang mengandung efek jera (deterrent effect).
Nadiem juga didesak untuk segera melakukan evaluasi secara menyeluruh, termasuk mengembangkan protokol standar kebhinekaan di sekolah negeri. Salah satunya dengan mengoptimalkan peran dan fungsi Aparatur Pengawas Intern Pemerintah (APIP), otoritas pendidikan di daerah, pengawas sekolah, hingga masyarakat luas.
Dalam keterangannya, Bonar juga menyinggung kasus pemaksaan pemakaian jilbab di sekolah negeri merupakan fenomena yang terus berulang. Ia menegaskan masalah tersebut bertentangan dengan peran lembaga pendidikan formal yang seharusnya menjadi wadah belajar yang berorientasi kepada kepentingan siswa, damai, dan menyenangkan.
Tak hanya itu, Bonar mengatakan pemaksaan memakai jilbab melanggar hak konstitusional warga negara dalam berekspresi dan berkeyakinan. Hal tersebut juga disebut bertentangan dengan keberagaman Indonesia yang seyogianya dirawat. “Pemaksaan penggunaan simbol keagamaan tertentu di satu sisi merupakan pelanggaran atas hak konstitusional warga negara untuk berekspresi dan berkeyakinan sesuai dengan hati nurani,” kata Bonar.
“Di sisi lain, tindakan semacam itu bertentangan dengan kebhinekaan Indonesia yang mesti kita junjung, rawat, dan terus perkuat,” lanjutnya.
Sebelumnya, Aliansi Masyarakat Peduli Pendidikan Yogyakarta (AMPPY) melaporkan kasus salah seorang siswi muslim kelas X SMAN 1 Banguntapan Bantul, DIY yang mengalami depresi berat karena dipaksa mengenakan hijab ketika Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) pertengahan Juli 2022 lalu.
Siswi berusia 16 tahun itu disebut mengalami trauma usai seorang guru BK memakaikan hijab kepadanya secara paksa. Dia disebut sampai menangis di toilet selama satu jam akibat perlakuan tersebut. Siswi tersebut diketahui sempat mengurung diri di kamar rumahnya dan enggan berbicara dengan orang tuanya. Pada 25 Juli, ia pingsan ketika mengikuti upacara bendera dan yang bersangkutan belum mau kembali ke sekolah.
Tim Disdikpora mengklaim telah memeriksa dua guru BK dan Kepala SMAN 1 Banguntapan. Hasil pemeriksaan, guru BK mengaku hanya menawarkan untuk mengajari mengenakan hijab.
Pewarta: Markus Saragih