JAKARTA,PGI.OR.ID-Kasus pertanahan di Indonesia masih menjadi persoalan yang mengkhawatirkan, terlebih dengan adanya mafia tanah, yang kerap merugikan masyarakat. Dalam sebuah pertemuan, Menteri ATR/Kepala BPN Hadi Tjahjanto menegaskan mafia tanah harus dilawan. Sebab itu, Kementerian ATR/BPN pun meluncurkan hotline pengaduan masyarakat untuk melawan mafia tanah. Layanan pengaduan ini nantinya dikaitkan langsung dengan evaluasi kinerja Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) dan Kepala Kantor Pertanahan Kementerian ATR/BPN beserta jajarannya.
Melawan mafia tanah, tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri, melainkan perlu kerjasama dengan seluruh elemen masyarakat, termasuk lembaga keagamaan. Ajakan ini disampaikan Ketua Forum Korban Mafia Tanah Indonesia (FKMTI), Budiardjo, saat menemui MPH-PGI, di Grha Oikoumene, Jakarta, pada Rabu (7/12/2022).
“Puluhan ribu orang telah menjadi korban mafia tanah. Salah satu konsep yang ditawarkan FKMTI dalam rangka pemberantasan mafia tanah dengan membentuk badan ad hoc yang melibatkan universitas. Dari situ ada dua hal yang bisa dilakukan dalam penyelesaiannya, pertama, adu data atas hak kepemilikan awal, nanti akan terurai. Kedua, memutus mata rantai konflik pertanahan,” jelasnya.
Dia pun mengajak PGI untuk bersama-sama bersatu menyampaikan kebenaran, agar negara ini tidak terpecah hanya karena kasus tanah. “Kami tahu betul bagaimana proses perampasan tanah terjadi lewat pengadilan,” ujarnya.
Pada kesempatan itu, Ketua Umum PGI Pdt. Gomar Gultom menyampaikan keprihatinannya atas apa yang dialami oleh warga korban mafia tanah. Menurutnya, mafia ada dalam semua aspek, dan ini diakui oleh pemerintah. “Itu sebabnya, saat pertemuan dengan Menteri ATR/BPN, PGI mengingatkan komitmen pemerintah untuk menyelesaikan persoalan tanah,” tandasnya.
Persoalan mafia tanah, lanjut Pdt. Gomar Gultom, sangat pelik dan tidak mudah, meski demikian PGI akan terus bersuara. “Masalah mafia tanah dan sengkarutnya persoalan tanah harus segera diselesaikan, jangan dibiarkan lagi rakyat terlunta-lunta karena hak-haknya dikangkangi oleh mereka yang memiliki kekuatan-kekuatan,” tegas Pdt. Gomar Gultom. Dalam pertemuan ini, dia juga menegaskan bahwa sertifikasi tidak dapat menghilangkan hak-hak rakyat.
Merespon pertemuan tersebut, Budiardjo mengaku sangat bersyukur karena FKMTI dan PGI memiliki keresahan yang sama terkait persoalan tanah. “Sebagai organisasi hari ini kami melangkah bersama mengingatkan negara bahwa dibutuhkan suatu effort yang besar untuk menegakkan UUD 45 dan Pancasila terutama di bidang pertanahan. Oleh sebab itu mari kita bersatu mendorong negara untuk hadir menyelesaikan konflik pertanahan dengan membentuk sebuah kebijakan yang secara sistematis, struktur, dan massif di seluruh Indonesia,” katanya kepada wartawan usai pertemuan.
Untuk diketahui, terkait persoalan agrarian, selama ini dalam beberapa hal, PGI bekerja bersama Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), terutama ketika terjadi konflik-konflik agrarian, yang jumlahnya cukup memprihatinkan dari tahun ke tahun.
Konflik-konflik ini bukan saja bermasalah di sekitar pemilikan tanah, tapi ditengarai juga akan merusak lingkungan dan akan membuat masyarakat terserabut dari akarnya. Kualitas lingkungan pada gilirannya makin mengancam kualitas kehidupan kita sebagai manusia. Akibat eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan kita telah diperhadapkan pada realita degradasi tanah, air dan udara, deforestasi atau penggundulan hutan, kepunahan jenis binatang dan tumbuhan, peracunan alam di tingkat global, perubahan atmosfer dan degradasi masyarakat dan budaya.
Itulah sebabnya, Sidang MPL-PGI 2013 mendorong gereja-gereja untuk memiliki komitmen untuk ikut serta mengatasi masalah agraria dan krisis sumber daya alam. Hal ini merupakan muara dari proses yang sudah cukup panjang dan diperhadapkan dengan realitas sosial sebagaimana telah diuraikan. Apalagi ternyata, belakangan ini, beberapa warga desa, terutama korban-korban konflik agraria, merasa ditinggalkan oleh gereja, karena perjuanga mereka mempertahankan haknya tak mendapat perhatian gereja.
Pewarta: Pdt. Henrek Lokra