JAKARTA,PGI.OR.ID-Getirnya kehidupan para narapidana perempuan yang hamil, dan harus melahirkan serta membesarkan anak mereka di dalam jeruji penjara tergambar jelas dalam film dokumenter berjudul Invisible Hopes. Mereka harus tidur berhimpitan dengan narapidana lainnya, sementara hawa panas dan pengap menyeruak dalam ruang sel.
Tidak sampai di situ. Kesulitan juga dirasakan ketika hendak mendapatkan apa yang menjadi kebutuhan anak dan narapidana yang hamil, termasuk perawatan kesehatan. Segala kebutuhan yang sejatinya menjadi hak mereka pun terabaikan.
Menyambut Internasional Women’s Day (IWD) 2023 Biro Perempuan dan Anak (BPA) PGI, Komisi Perempuan dan Anak (Kompera) PGIW DKI Jakarta, bersama Lam Horas Production, menggelar pemutaran film karya Lamtiar Simorangkir itu, sekaligus mendiskusikannya, di Auditorium Perpustakaan Nasional, Jakarta, pada Jumat (24/3/2023).
Invisible Hopes adalah sebuah film dokumenter panjang pemenang Piala Citra dan Piala Maya (kategori film dokumenter panjang terbaik dan penyutradaraan film panjang perdana), mengangkat kehidupan nyata para narapidana hamil dan anak-anak yang terpaksa lahir dan dibesarkan di balik jeruji penjara di Indonesia.
Melalui kegiatan ini diharapkan dapat mendorong gereja-gereja di seluruh Indonesia untuk mengambil bagian dalam pemenuhan hak narapidana hamil dan anak-anak yang lahir dan dibesarkan dalam penjara.
Mengawali acara, Lamtiar Simorangkir menuturkan, bahwa film ini dibuat sebagai sumber informasi serta alat, untuk mendorong negara dan masyarakat agar lebih memperhatikan pemenuhan hak narapidana hamil terutama anak-anak yang lahir di balik jeruji penjara.
Dia berharap, film ini dapat mendorong advokasi bagi perlindungan anak-anak Indonesia di balik jeruji penjara. “Gereja memang sudah hadir dalam pembinaan rohani di penjara. Namun saya berharap juga gereja-gereja di seluruh Indonesia mengambil bagian dalam pemenuhan hak narapidana hamil dan anak-anak yang lahir dan dibesarkan dalam penjara,” tegas Lamtiar.
Usai pemutaran film, digelar diskusi dengan menghadirkan para penanggap Dr Ahmad Sofian, SH, MA, (Akademisi dan aktivis), Pdt Sonnya Uniplaita, STh, MPd (Kepala Biro Perempuan dan Anak PGI), Pdt Retno Ngapon (Kabid Koinonia dan Marturia, PGI Wilayah DKI Jakarta), dan Dr Ir Serirama Butarbutar, SE, SH, MSi, MH, (Praktisi Hukum, Kompera PGI Wilayah DKI Jakarta).
Menurut Ahmad Sofian, jika dibandingkan dengan regulasi internasional, Indonesia masih sama dengan kebanyakan negara lain, di mana negara belum hadir dalam persoalan narapidana hamil dan tumbuh kembang anak-anak di penjara. Misalnya, narapidana hamil sebenarnya tidak boleh menyatu dengan binaan perempuan lainnya. Juga, anak-anak mesti disembunyikan dan tidak boleh berada dalam penjara.
“Dan alasan pemerintah belum terselesaikannya persoalan ini pun klise, yaitu karena tidak adanya anggaran,” imbuhnya.
Sedangkan Pdt Sonnya Uniplaita, STh, MPd melihat, gereja perlu mendorong dan melakukan kerja-kerja sosial, termasuk pelayanan di penjara, tidak hanya lewat mimbar, tetapi harus menyentuh langsung. Dan untuk mewujudkannya, perlu bergandengan tangan dengan semua pihak.
“Pekerjaan kemanusiaan tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri. Kita bisa menyuarakan kepada gereja bahwa pelayanan di penjara tidak hanya dari aspek rohani, tetapi juga mental, dan bagaimana kebutuhan lainnya bisa terpenuhi supaya tidak terjadi pelanggaran hak-hak para narapidana perempuan serta anaknya,” ujarnya.
Pentingnya kerja sama juga disampaikan Pdt. Retno Ngapon. Menurutnya, Gereja bisa bergabung dengan pokja PLP, yang ada sehingga pelayanannya menjadi luas. “Usaha yang dilakukan Gereja di lembaga pemasyrakatan memang sudah baik, tetapi kita harus bekerja lebih lagi, salah satunya dengan menyentuh persoalan-persoalan yang muncul dalam film ini,” tandasnya.
Sementara itu Serirama Butarbutar mengatakan, sebenarnya Indonesia sebagai negara hukum sudah menjamin hak-hak warga negaranya, baik laki-laki dan perempuan, begitu juga anak anak. “Tapi ternyata setelah menonton film ini, masih ada yang luput dari perhatian kita, di mana narapidana hamil dan anak-anak di penjara belum mendapatkan perlakukan semestinya,” ujar dia.
Menurut Serirama, seorang ibu hamil mengalami perubahan hormonal, karena itu mesti diperlakukan lebih dari perempuan yang biasa. Begitu juga anak-anak jangan dibiarkan bermain-main di lapas. Ibu hamil bukan hanya bawa diri sendiri, tapi anak yang ada dalam kandungannya. Sebab itu, menyelamatkan perempuan sama dengan menyelamatkan generasi.
“Sebab itu, regulasi terkait HAM dan UU yang sudah ada, perlu mungkin diturunkan lagi dalam hal aturan pelaksanaannya. Pun, kita mendorong Kemenkumham jika memungkinkan taman bermain anak-anak terpisah dari lapas. Demikian halnya lapas bagi narapidana hamil dipisahkan dari lapas narapidana perempuan biasa,” tandasnya.
Pewarta: Markus Saragih