JAKARTA,PGI.OR.ID-SETARA Institute bersama International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) menyelenggarakan survei kondisi toleransi siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), untuk memperoleh gambaran terkini situasi dan kondisi toleransi siswa. Survei dilatarbelakangi oleh kebutuhan pengetahuan baru status toleransi dan juga respons atas dinamika intoleransi yang terjadi dalam beberapa peristiwa, termasuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi derajat toleransi siswa SMA.
Survei dilakukan dengan menggunakan metode pengumpulan data dilakukan oleh surveyor secara face to face interview di Bandung, Bogor, Surabaya, Surakarta dan Padang. Metode Purposive sampling digunakan untuk menentukan sekolah-sekolah yang dituju. Selanjutnya surveyor mengambil sampling dengan metode simple random sampling untuk menetapkan siswa SMA sebagai responden. Jumlah sampel yang sebanyak sebanyak 947dengan margin of error 3,3% pada tingkat kepercayaan 95%. Penelitian diselenggarakan pada Januari-Maret 2023.
Hasil survei tersebut disampaikan dalam acara bertajuk Desiminasi Hasil Survei Toleransi Siswa SMA di 5 Daerah, di Jakarta, pada Rabu (17/5/2023).
Survei mendapatkan sejumlah temuan kunci. Pertama, pada 12 pertanyaan kunci yang digunakan sebagai indikator toleransi siswa, penelitian ini menemukan kecenderungan yang positif pada hampir semua pertanyaan. Tingginya penerimaan perbedaan keyakinan (99,3%), penerimaan perbedaan ras dan etnis (99,6%), empati terhadap kelompok yang berbeda agama/keyakinan (98,5), dukungan pada kesetaraan jender (93,8%) dalam kepemimpinan OSIS adalah tren yang sangat positif di kalangan pelajar. Dengan kata lain, peragaan intoleransi di sejumlah sekolah sesungguhnya tidak memperoleh dukungan signifikan dari para siswa di area penelitian ini.
Kedua, namun, jika diuji dengan pertanyaan-pertanyaan yang lebih ideologis, kecenderungan toleransi semakin menurun. Menjawab pertanyaan apakah akan menahan diri melakukan kekerasan dalam merespons penghinaan terhadap agama yang dianut, 20,2% responden menyatakan tidak bisa menahan diri. Sekalipun angka yang bisa menahan diri masih cukup besar di 79.8%. Demikian juga terkait persepsi tentang Barat. Sebanyak 51,8% responden menyatakan setuju bahwa negara Barat seperti Amerika, Inggris dan Australia dianggap sebagai ancaman terhadap agama dan budaya Indonesia.
Ketiga, terkait sikap responden terhadap penggunaan jilbab di sekolah, sebanyak 61,1% menyatakan setuju bahwa mereka merasa lebih nyaman jika semua siswi di sekolah menggunakan jilbab. Sedangkan 38,9% lainnya menyatakan tidak setuju.
Keempat, temuan terkait syariat Islam sebagai landasan bernegara, juga didukung oleh 56,,3% responden. Oleh karenanya, dukungan terhadap persepsi bahwa Pancasila sebagai bukan ideologi yang permanen, artinya bisa diganti, juga sangat besar yakni 83,3% responden.
Kelima, sebanyak 74,4% responden menyatakan tidak setuju jika agama lain selain agama yang diyakini dianggap sesat. Tetapi kebersetujuan membela agama, termasuk harus mati, justru sangat tinggi di angka 33%.
Keenam, berdasarkan 12 pertanyaan kunci yang diajukan dalam survei ini, status toleran remaja SMA di lima kota ini yaitu sebanyak 70,2% remaja atau siswa SMA masuk ke dalam kategori remaja toleran, 24,2% merupakan remaja intoleran pasif, 5% merupakan remaja intoleran aktif dan 0,6% merupakan remaja yang berpotensi terpapar.
Ketujuh, derajat toleransi siswa/remaja SMA di tahun 2023 menunjukkan kecenderungan yang positif dengan 70,2% memiliki sikap toleran. Angka ini menunjukkan bahwa modal sosial toleransi siswa masih cukup kuat. Temuan ini sejalan dengan tren kondisi toleransi berdasarkan Indeks Kota Toleran (IKT) dan juga Indeks Kerukunan Umat Beragama yang secara garis besar menunjukkan bahwa toleransi publik Indonesia masih cukup tinggi.
Kedelapan, jika menggunakan baseline data SETARA di 2016-2017, tren toleransi menunjukkan peningkatan dari 61,6% menjadi 70,2%. Angka ini membesar disumbang oleh menyusutnya kelompok intoleran pasif dari sebelumnya berada pada angka 35,7% menjadi 22,4% di 2023.
Kesembilan, namun, sebagian remaja pada kategori intoleran pasif juga bertransformasi menjadi intoleran aktif, sebagaimana digambarkan dari angka 2,4% di tahun 2016 menjadi 5% di tahun 2023. Demikian juga pada kategori terpapar, mengalami peningkatan dari 0,3% menjadi 0,6%.
Kesepuluh, dalam survei ini, ditemukan lima faktor yang dapat mempengaruhi sikap toleran/intoleran pada remaja di antaranya; pemahaman wawasan kebangsaan, intensitas penggunaan sosial media, aktivitas keseharian responden, sikap keagamaan dan kondisi sosial ekonomi responden. Semua variabel ini menunjukkan korelasi positif sebagai pembentuk karakter siswa.
Dari hasil survey tersebut SETARA Institute dan INFID merekomendasikan antara lain, Kemdikbudristek, melalui Pusat Penguatan Karakter (Puspeka), yang dibentuk dengan Permendikbudristek No. 28 Tahun 2021, terus meningkatkan kualitas dan persebaran program-programnya hingga ke semua jenjang pendidikan dan melibatkan berbagai elemen masyarakat. Pendidikan, para penyelenggara pendidikan meningkatkan pembudayaan wawasan kebangsaan dan mainstreaming toleransi dalam pendidikan keagamaan di sekolah-sekolah. Dua variabel ini memiliki korelasi positif sebagai pembentuk karakter toleransi siswa.
Selain itu, Kemdikbudristek dan Kementerian Agama (Kemenag) membentuk instrumen pembinaan yang efektif bagi guru-guru Agama dan guru Pendidikan Kewarganegaraan, termasuk memberikan fasilitas peningkatan kualitas pengajaran sehingga semakin kontributif pada pemajuan toleransi di sekolah. Kemdikbudristek dan Kemenag juga merespons masih tingginya kategori siswa yang intoleran aktif dan terpapar radikalisme, membentuk instrumen pengawasan, pembinaan, dan desain respons yang demokratik atas fakta intoleransi yang melekat pada guru, tenaga kependidikan, dan siswa.
Pewarta: Markus Saragih