PEMATANG SIANTAR,PGI.OR.ID-Pimpinan Sinode Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) melayangkan surat terbuka kepada Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI serta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI terkait keluh kesah Jemaat GKPS Tambun Raya dan Sipolha, di Kecamatan Pamatang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, terkait kebijakan mengenai hutan, serta keberadaan PT. Toba Pulp Lestari (TPL).
Dalam surat tertanggal 22 Agustus 2023 dan ditandatangani oleh Sekretaris Jenderal Sinode GKPS Pdt. Dr. Paul Ulrich Munthe ini dijelaskan, masyarakat yang tinggal di Nagori Tambun Raya dan Kelurahan Sipolha Horisan, dimana secara administratif berada di wilayah Kecamatan Pamatang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, tercatat sebagai salah satu Daerah Aliran Sungai (DAS) Danau Toba. Luas Nagori Tambun Raya kira-kira seluas 8000 m2, sedangkan luas wilayah pemukiman dan pertanian Sipolha seluas 15 hektar. Adapun tanaman yang biasa dtnaman oleh masyarakatnya adalah cabe, jagung, jahe, tomat, bawang, kacang tanah, ubi, padi, kopi, mangga, durian, alpukat, dan tanaman keras lainnya.
Seluruh masyarakat menggantungkan mata pencaharian pada sektor pertanian, yang berada di dekat lokasi hutan yang dikelola oleh PT. TPL. Kehadiran PT. TPL (dulu PT. Inti Indorayon Utama/IIU) di kawasan Danau Toba berawal ketika negara memberikan izin konsesi tanah seluas 269.000 hektar pada tahun 1992. Pada tahun 1984 PT. TPL mendapatkan izin menggarap 86.000 Ha lahan di bawah kewenangan Menteri LHK.
Kemudian pada tahun 1986 TPL mendapat izin HPH (konsesi) seluas 150.000 Ha. Dan setelah 8 kali adendum pada tahun 2020, izin HPH luas konsesi PT. TPL menjadi 167.912 Ha.
“Walaupun kami belum memiliki kemampuan analisis yang tepat mengenai dampak kehadiran TPL di daerah kami, berdasarkan pengalaman kami setiap hari, kami menyadari begitu banyak dampak-dampak buruk dari kehadiran PT. TPL di daerah kami tinggal, secara khusus setelah peralihan hutan heterogen menjadi hutan homogen eucalyptus di perbukitan Sipolha-Tambun Raya. Seperti tanaman industri yang lain, hutan-hutan eucalyptus juga memiliki masa tanam dan panen serentak pada lahan yang sangat luas. Pada masa tanam terjadi pembersihan lahan dan pada masa panen, terjadi penumbangan besar-besaran, sehingga aktivitas pada kedua masa ini menggeser dan menggusur berbagai kehidupan untuk berpindah ke tempat yang lain, termasuk ular yang membahayakan keselamatan kami dan anak-anak kami,” demikian isi surat tersebut.
Melalui surat terbuka ini, masyarakat Tambun Raya dan Sipolha berharap agar, pertama, sesuai dengan Permenhut Nomor 45 tahun 2016 dan Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2018, apabila PT. TPL memiliki itikad baik, perusahaan dimungkinkan untuk melakukan pengajuan permohonan perubahan luasan pemanfaatan hasil hutan pada hutan produksi dan perusahaan atau pemegang izin juga dapat mengajukan pengurangan izin atau areal kerja kepada pemerintah.
“Berdasarkan undang-undang ini, kami memohon Ibu untuk menunjukkan itikad baik ini. Sehingga PT. TPL dapat mengalih fungsikan sebagian lahan yang sudah mereka tanami dengan eucalyptus menjadi hutan homogen yang ditanami pohon buahbuahan yang akan menjadi tempat satwa hidup dan mencari makanannya atau disebut food forest. Selain itu, untuk menjaga sumber-sumber air di daerah kami tetap bertahan, diadakanlah reboisasi atau area penghijauan di sekitar daerah aliran sungai.”
Kedua, kami menyadari bahwa menumbuhkan food forest membutuhkan waktu yang panjang. Untuk jangka pendek, kami memohon solusi untuk pengembangan usaha yang lain selain pertanian sampai hama kera ini bisa diselesaikan. Ketiga, menurut hemat kami konservasi alam terhadap hewan kera merupakan kebutuhan yang mendesak untuk segera direalisasikan.
Pewarta: Markus Saragih