MEDAN,PGI.OR.ID-Mengusahakan kesejahteraan melalui proses-proses sosial, ekonomi, politik dan budaya sangat menentukan pencapaian keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Maka jika gereja merasa terpanggil untuk mensejahterakan masyarakat, suatu keharusan untuk juga turut serta dalam proses-proses sosial, ekonomi, budaya dan politik tersebut. Olehnya, keterlibatan sosial-ekonomi-politik merupakan bagian dari pewartaan gereja, sehingga kita harus berani mengatakan tidak ada evangelisasi tanpa keterlibatan sosial dan tidak ada pewartaan iman tanpa perjuangan keadilan.
Sehingga dimana Injil diberitakan, di sana hadir Daya Penebusan Kristus, yakni yang lama diperbaharui, yang bengkok diluruskan, kebencian diganti kasih sayang, yang tidak adil menjadi adil, dendam diganti belas kasihan dan yang lemah diberdayakan. Inilah panggilan yang tidak pernah berubah bagi kita. Dan panggilan ini menjadi sangat strategis saat ini di tengah kondisi masyarakat kita yang masih terus berjuang untuk menggapai masyarakat adil dan sejahtera.
Doa-doa kita harus diterjemahkan ke dalam aksi konkrit. Ora et Labora, Ora es Labora. Merubah kata-kata menjadi Tindakan. Hanya demikian kita menjadi berkat.
Demikian khotbah Ketua Umum PGI Pdt. Gomar Gultom, dalam Perayaan Hari Doa Nasional (HDN) 2023, di GBI Rumah Persembahan, Jalan Jamin Ginting, Simpang Selayang, Medan, pada Rabu (5/7/2023).
“Kita kini memiliki seorang pemimpin yang luar biasa, Pak Jokowi. Seorang pemimpin yang sangat fenomenal dengan semboyan kerja-kerja-kerja, dan itu tidak pernah tinggal dalam kata-kata. Dan yang terutama, tidak sedang menjadikan dirinya sebagai pusat. Pertanyaan bagi kita sebagai gereja, relakah kita para pemimpin gereja menyingsingkan lengan, bekerja menyediakan diri dengan merendahkan diri sebagai “hamba yang tidak berguna” atau masihkah kita berlindung di balik privilege jubah hitam kita, untuk terus dilayani dan dilayani?,” ungkapnya.
Dijelaskan, muncul kekawatiran, secara kasat mata gereja kita masih tampak dipenuhi oleh umat. Warga gereja masih setia menghadiri ritual keagamaan yang mengharu-birukan. Doa-doa kita sangat khusuk. Namun jika ditelusuri lebih dalam, jangan-jangan hanya menjalankan fungsi minimalis gereja. Sebaliknya fungsi transformatif gereja yang historis untuk membebaskan dan membawa kesejahteraan masih tetap tinggal menjadi retorika.
“Kalau itu betul, saya hanya takut, kita dikritik pedas oleh Yesus: “Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari padaKu” (Mat 15:8). Itu juga kecaman Allah pada bangsa Israel atas praktek-praktek mereka berdoa dan berpuasa (Yesaya 58:17),” ujar Pdt. Gomar Gultom.
Sebab itu, HDN ini hendak mengajak kita bersatu dalam doa, tetapi dengan satu komitmen untuk mendoakan yang kita kerjakan serta mengerjakan yang kita doakan. Karena inilah yang dengan ringkas diungkapkan oleh Nabi Yeremia dalam Yeremia 29:7: “Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu”.
“Tentu kita berdoa tidaklah di ruang hampa. Kita berdoa kini dan di sini, di tengah realitas yang mengitari kita. Kini kita semakin merasa risau dengan apa yang diungkapkan Prof John Titaley tadi siang, bahwa ketika kemanusiaan kita belum sepenuhnya diakui ketika diskriminasi masih terjadi. Kita merasa risau dengan proses demokratisasi yang masih dibajak oleh mesin-mesin demokrasi. Kita merasa risau dengan politik identitas dan politik uang yang mewarnai pemilu kita. Kita merasa risau dengan kerusakan lingkungan. Apalagi tantangan yang diakibatkan oleh transfomasi budaya digital,” ungkapnya.
Dalam kondisi seperti itulah, menurutnya, kita berkumpul di Rumah Persembahan ini, untuk memanjatkan doa kita dalam rangka memulihkan bangsa kita. Berdoa menunjukkan ketidak-berdayaan kita, dan ketergantungan kepada kasih karunia Tuhan. Tetapi sekali lagi, berdoa juga menunjukkan komitmen kita untuk memberlakukan yang kita doakan: kita berdoa untuk Pemilu yang jujur dan adil, tapi kita memilih karena uang atau kepentingan-kepentingan sesaat.
Dia pun melihat tantangan terbesar kita di 2023 ini dan seterusnya, adalah bagaimana merubah kata-kata menjadi tindakan. Menerjemahkan isi pujian dan syukur kita ke dalam tindakan. “Mewujudkan isi doa-doa kita kepada tindakan atau aksi nyata, atau ajakan tema kita: berdoa dan mengusahakan kesejahteraan. Jangan pernah merasa itu bukan tugas saya, jangan pernah berpikir saya tidak bisa. Apalagi kalau melihat tantangan berat di depan. Lantas dengan cepat kita mengambil kesimpulan: Semuanya bagaikan mission impossible,” tandasnya.
Pada kesempatan itu, Ketua Umum Panitia HDN 2023 Devi Panjaitan, dalam sambutannya menegaskan bahwa melalui tema HDN 2023 kita diberi petunjuk apa yang seharusnya kita doakan bila kita berdoa untuk bangsa ini. “Ini nyata dalam Mazmur 122:6 yaitu supaya kita berdoa untuk damai sejahera bangsa. Bahkan doa untuk damai sejahtera ini ada alasannya yaitu demi teman-teman sesama manusia, teman sebangsa juga, karena kita hendak mengatakan kiranya damai sejahtera ada di dalammu.” jelasnya.
Ditambahkan, tema ini juga mengingatkan bahwa damai sejahtera bukan milik satu kelompok, satu agama, suku, atau satu golongan. “Besykur acara ini dapat berlangsung karena kita tinggal di negara yang tidak membeda-bedakan suku, ras dan agama, serta golongan bahkan kita terlindung untuk menghidupi keberagaman ini melalui UUD 1945 dimana di sana kita tidak pernah menemukan pembagian rakyat berdasarkan jumlah, minoritas atau mayoritas. Tidak mengenal kantong-kantong pemukiman berdasarkan agama, etnis dan golongan,” jelas Devi Panjaitan.
Menurutnya, jika akan memilih presiden itu juga dilihat sebagai perjuangan untuk damai sejahtera bukan babak baru untuk orang baru. Perjuangan mengisi perjuangan tetap satu. Maka doa kita untuk damai sejahtera makin relevan di masa sekarang.
Sedangkan Jeane Marie Tulung menyampaikan bahwa Hari Doa Nasional merupakan momen yang penting bagi seluruh umat beragama di Indonesia, di mana mereka berkumpul untuk bersatu dalam doa dan refleksi. “Saya merasa terhormat dapat berada di sini dan mewakili Menteri Agama dalam menyampaikan sambutan pada Hari Doa Nasional yang mengumpulkan para pemimpin gereja dan jemaat. Acara ini merupakan kesempatan berharga bagi kita untuk memperkuat persatuan dan menjalin kerjasama dalam melayani masyarakat dan bangsa,” ujarnya.
Dia pun mengajak seluruh peserta untuk merenungkan dan memperkuat komitmen mereka dalam membangun perdamaian, toleransi, dan kerukunan antarumat beragama. Ia menggarisbawahi pentingnya memperkuat harmoni antarumat beragama demi kemajuan bangsa dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Perayaan HDN 2023 yang diinisiasi oleh Forum Umat Kristen Indonesia (FUKRI) ini, berlangsung selama dua hari (4-5/7), dengan mengusung tema Berdoalah untuk Kesejahteraan Bangsa (Yeremia 29:7). Puncak perayaan kegiatan ditandai pemukulan gendang oleh perwakilan 8 lembaga gereja aras nasional bersama Ketua Umum Panitia HDN 2023 Devi Panjaitan.
Turut hadir dalam perayaan, di antaranya Gubernur Sumut Letjen (purn) TNI H. Edy Rahmayadi, Kapolda Sumut Irjen Pol Panca Putra Simanjuntak, mewakili Pangdam I Bukit Barisan Boni Kristian Pardede, Ketua DPRD Sumut Drs. Baskami Ginting, dan Wali Kota Medan Bobby Nasution. Selain itu, hadir pula sejumlah tokoh lintas agama, pimpinan sinode gereja, serta pimpinan lembaga gereja aras nasional.
Hari pertama perayaan HDN 2023, Selasa (4/7), diisi dengan seminar nasional dengan empat tema utama yaitu Kekristenan Dalam Geliat Kebangsaan, Meneguhkan Persekutuan Umat Kristen untuk Melayani Bangsa, Membangun Gerakan Doa Bagi Bangsa, dan Refleksi bersama gereja-gereja di Indonesia. Tampil sebagai pembicara dalam seminar tersebut di antaranya, Sekum PGI Pdt. Jacklevyn Fritz Manuputty, Menko Kemaritiman dan Investasi Jenderal TNI Purn Luhut Binsar Panjaitan, serta Kepala BSN Letjen TNI Purn Hinsa Siburian.
Dipilihnya tanggal 5 Juli sebagai puncak kegiatan HDN 2023, bertepatan dengan diterbitkannya Dekrit Presiden yang menyatakan bagsa Indonesia kembali kepada UUD 1945. Sehingga, pada Dekrit presiden itu, umat Kristen ikut serta mendukung NKRI dimana Pancasila sebagai dasar negara.
Pewarta: Markus Saragih