JAKARTA,PGI.OR.ID-Mengusung Tema Kolaborasi Menuju Transformasi, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) bersama Majelis Pendidikan Kristen (MPK) Indonesia menggelar Ibadah Syukur awal tahun 2024 sekaligus seminar terkait pendidikan Kristen, di Auditorium Grha Oikoumene, Jakarta, pada Jumat, (19/1/24).
Ketua Umum MPH PGI, Pdt. Gomar Gultom dalam kotbahnya yang mengutip Mazmur 118:1, menjelaskan, bahwa sebagai umat Kristen kita harus senantiasa bersyukur dalam keadaan apapun. Namun, dia merasa prihatin belakangan ini banyak umat Kristen yang tidak tulus dalam mengucap syukur.
“Bahkan ada kecenderungan mengorupsi kemuliaan Tuhan. Entah lewat pujian dan lewat kotbah para pendeta. Banyak pujian maupun kotbah yang disampaikan, alih-alih memuliakan Tuhan justru mencari kemuliaan sendiri, serta haus pujian orang lain yang ditujukan kepada dirinya sendiri,” tandasnya.
Sebab itu, menurutnya, tempat ideal memuji Tuhan adalah keluarga atau ruang privat kita. Sehingga tidak ada tepuk tangan atau applaus dari orang lain. Kenapa demikian? Supaya pujian, penyembahan serta ucapan syukur kita kepada Tuhan sungguh-sungguh tulus dari hati kita.
Dalam ibadah syukur tersebut juga dimeriahkan kesaksian pujian dan tarian dari beberapa sekolah Kristen di Jakarta Bogor, Depok Bekasi dan Banten (Jabodesiten).
Seminar Pendidikan Kristen
Mengawali ibadah syukur, dilaksanakan seminar terkait situasi dan kondisi Pendidikan Kristen. Seminar menghadirkan narasumber Ketum MPK Indonesia Handi Irawan D, MBA, Ketua Majelis Pertimbangan PGI Pdt. Dr. Henriette Hutabarat-Lebang. Turut menyampaikan pemikiran Wakil Ketua 3 Bidang Kemitraan MPKW Jabodesiten Pdt. Kaston Sinaga, serta Sekum PGIW DKI Jakarta Pdt. Ferry Simanjuntak.
Pada kesempatan itu, Handi Irawan mengungkapkan, bahwa tidak semua Perguruan Kristen (PTK) di Indonesia memiliki Fakultas Keguruan & Ilmu Pendidikan (FKIP). “Dari total 37 Perguruan Tiinggi Kristen di Indonesia yang memiliki FKIP itu hanya 21. Sesuai data, total mahasiswa FKIP (calon guru) di Indonesia pada tahun 2023 itu berjumlah 15860 orang. Setiap tahun kelulusan sekitar 4000 orang guru yang berasal dari FKIP Perguruan Tinggi Kristen. Persoalannya,tidak semua lulusan FKIP mau mengajar di sekolah kristen. Jadi, beberapa tahun ke depan, sekolah Kristen akan kekurangan guru kristen. Sehingga hal itu bisa memicu menurunnya kualitas sekolah kristen,” ujarnya.
Mengapa banyak PTK tidak memiliki FKIP? Lanjut Handi, karena adanya FKIP itu menyedot cash flow paling banyak. Mahasiswanya bayar murah dan banyak yang dapat beasiswa. “Makanya PTK yang punya FKIP itu melakukan subsidi besar-besaran untuk FKIP. Jadi PTK yang punya FKIP itu murni karena panggilan saja. Cuma MPK menyerukan semua ini harus dibenahi,” urainya.
Handi juga mengungkapkan setidaknya ada 3 hal yang menurunnya minat generasi muda menjadi guru sekolah Kristen. Pertama, gaji rendah dan tidak menarik (kesejahteraan guru). Kedua, penghargaan terhadap profesi guru yang kurang baik. Faktanya, Gereja lebih menghargai penginjil dan pendeta dibandingkan dengan profesi guru. Ketiga, panggilan menjadi guru sekolah kristen yang semakin lemah.
Sementara itu, Pdt. Henriatte Hutabarat-Lebang melihat, setidaknya ada 6 pokok pikiran kemungkinan-kemungkinan gereja juga akan melakukan kolaborasi menuju transformasi dalam pendidikan. Pertama, menumbuhkembangkan pemahaman warga jemaat mengenai panggilan gereja untuk ikut mencerdaskan anak bangsa lewat pendidikan, yang merupakan bagian integral dari pekabaran Injil yang utuh.
Kedua, mempererat hubungan Yayasan Pendidikan dengan jemaat-jemaat, difasilitasi oleh Sinode, yang mengarah kepada dukungan jemaat-jemaat bagi penyelenggaraan sekolah Kristen di lingkungannya (jemaat, klasis, sinode). Sebagai contoh, GMIT: jemaat memberikan 2% dari penghasilan untuk Yayasan Pendidikan. GPM memberikan 1% dari penghasilan jemaat. Ketua Majelis Jemaat dan Ketua Klasis menjadi ex-officio sebagai Ketua Pembantu Yayasan di wilayahnya.
Ketiga, mempererat hubungan sinergis gereja/yayasan pendidikan dengan MPK pada berbagai lingkup pelayanan (lokal, wilayah, pusat). Keempat, mengembangkan kolaborasi antara sekolah-sekolah Kristen di setempat-setempat, maupun secara regional dan nasional – dengan difasilitasi oleh gereja/yayasan dan MPK pada berbagai lingkup.
Kelima, sekolah-sekolah yang sudah maju dari segi manajemen, SDM maupun dananya, hendaknya bermitra dalam mendukung, memberdayakan sekolah-sekolah yang masih lemah dan memerlukan pengembangan, dalam kordinasi dengan gereja dan MPK setempat. Keenam, Bersinergi dengan pemerintah. Termasuk memberi masukan dalam pengembangan strategis pendidikan nasional di Indonesia.
Pewarta: Markus Saragih