SEJAK awal kemunculannya, di Kota Wuhan, China, Desember 2019, Covid-19 telah merubah tatanan dunia. Begitupun saat masuk Indonesia, Februari 2020, pandemi yang masih jadi misteri ini, telah meluluhlantakkan perekonomian dan kehidupan sosial masyarakat. Hingga kini, belum ada satu negara pun di dunia yang menyatakan benar-benar bersih dari virus ini. Bahkan, varian-varian baru Covid-19 kian marak bermunculan.
Pandemi Covid-19 dipandang sebagai musuh bersama. Berbagai upaya dilakukan pemerintah, mengerahkan segala daya, upaya, dan dana agar rakyat terbebas dari virus mematikan ini. Begitu juga komponen-komponen masyarakat bahu membahu dengan kesadaran tinggi dan mengesampingkan perbedaan yang ada untuk saling menopang di masa krisis saat ini.
Upaya pemerintah pusat menekan laju penyebaran Covid-19, melalui pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) hingga pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) dengan berbagai level patut diapresiasi dan sejauh ini terbukti manjur. Gencarnya vaksinasi kepada masyarakat, membuat perlahan tapi pasti kasus positif Covid-19 terus melandai.
Intoleransi ‘Virus’ Berbahaya
Sayangnya, kegigihan pemerintah bersama komponen masyarakat dalam penanganan pandemi ini tidak nampak dalam menyelesaikan persoalan intoleransi yang bisa dikatakan sudah masuk stadium kronis di negeri ini. Padahal, kasus-kasus intoleransi, baik agama, suku, ataupun ras telah muncul sejak Indonesia merdeka.
Dari sisi keagamaan, tercatat sudah ribuan rumah ibadah ditutup, peribadahan dilarang, bahkan tindak kekerasan terhadap penganut agama tertentu. Sikap-sikap diskriminatif juga mengejawantah pada suku/etnis tertentu. Persoalan ini tak juga bisa diselesaikan hingga kini. Terbukti, hal tersebut masih saja berulang terjadi.
Laporan ke-14 dari Setara Institute, 6 April 2021, rasanya cukup melukiskan betapa intoleransi masih demikian kuat mencengkeram Ibu Pertiwi. Dikatakan sepanjang 2020, telah terjadi 180 peristiwa pelanggaran Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB), beda tipis dengan tahun sebelumnya yang mencapai 200 peristiwa serupa. Terbanyak terjadi di Jawa Barat (39 kasus), disusul Jawa Timur (23), Aceh (18), DKI Jakarta (13), Jawa Tengah (12), Sumatera Utara (9), Sulawesi Selatan (8), Yogyakarta (7), Banten (6), dan Sumatera Barat (5).
Sementara hasil survei Wahid Institute tahun 2020 menyebutkan bahwa tren intoleransi dan radikalisme di Indonesia cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Bila tahun sebelumnya berkisar 46%, kini naik menjadi 54%. Ini tergambar dari kian maraknya ujaran kebencian, terutama di media-media sosial.
Bahkan, pandemi Covid-19 pun tak mampu meredam tindakan intoleransi di Indonesia. Di 2021, eskalasi intoleransi masih menyeruak. Seperti dikutip dari laman Tempo, 16 Februari 2021, sekelompok orang mendatangi Kantor DPRD Kabupaten Sleman, Yogyakarta, menolak pendirian Gereja Pantekosta El Shaddai. Begitu juga, terjadinya pengrusakan masjid milik Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Sintang, Kalimantan Barat, yang berbuntut penyegelan oleh pemerintah daerah setempat.
Ironisnya, intoleransi tidak hanya didominasi orang dewasa, anak-anak pun sudah melakukannya. Tergambar pada kasus pengrusakan makam Kristen di Solo, 16 Juni 2021. Sekitar 10 anak usia belasan tahun merusak 12 makam Kristen di TPU Cemoro Kembar, Kelurahan Mojo, Pasar Kliwon, Solo.
Intoleransi bak ‘virus’ yang berbahaya. Bahkan mungkin lebih bahaya dari Covid-19. Sebab, intolerasi tidak hanya dapat menyebabkan permusuhan dalam masyarakat, tapi bisa berujung disintegrasi bangsa, bila tidak secara serius ditangani.
Moderasi agama
Munculnya sikap intoleran, baik suku, ras, agama, dan antar-golongan (SARA), menurut Guru Besar Studi Agama Universitas Wake Forest AS, Charles Kimball, lantaran memahami gama secara sempit dengan mengabaikan pendapat lain. Setidaknya ada 3 komponen intoleransi yaitu, (1) ketidakmampuan menahan diri tidak suka kepada orang lain, (2) sikap mencampuri dan atau menentang sikap atau keyakinan orang lain, dan (3) sengaja mengganggu orang lain. Sikap intoleransi juga muncul oleh karena kepentingan sempit, baik politik, ekonomi, dan lainnya.
Intoleransi mencerminkan rendahnya rasa menghargai terhadap sesama ciptaan Tuhan. Pembiaran terjadinya tindakan intoleran sama artinya dengan mendukung sikap tidak toleran. Mereka yang bersikap intoleran masuk kategori orang yang tegar tengkuk alias sulit berdialog dan bekerja sama dengan orang lain. Tindakan intoleransi dapat dikategorikan sebagai radikalisme. Fanatisme sempit kerap mengaburkan kemanusiaan yang ada dalam diri seseorang dan hanya melihat pembenaran ajaran dan dogma kelompoknya saja.
Upaya para pemimpin lintas agama membumikan konsep moderasi agama, nampaknya memberi secercah harapan terhadap terciptanya harmonisasi di bangsa ini. Bisa dikatakan moderasi agama menjadi salah satu kunci meredam intoleransi, asal bisa didaratkan hingga ke grass root.
Kata moderasi berasal dari Bahasa Latin ‘Moderatio’ yang berarti, kesedangan (tidak kelebihan dan tidak kekurangan). Juga bisa diartikan, penguasaan diri. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ada dua pengertian moderasi, yakni: (1) pengurangan kekerasan, dan (2) penghindaran keekstreman. Dalam Bahasa Inggris, kata moderation diartikan average (rata-rata), core (inti), standard (baku), atau non-aligned (tidak berpihak). Sedangkan dalam Bahasa Arab, moderasi dikenal dengan kata wasath atau wasathiyah, yang memiliki padanan makna dengan kata tawassuth (tengah-tengah), i’tidal (adil), dan tawazun (berimbang).
Dengan kata lain, prinsip moderasi mengedepankan keseimbangan dalam hal keyakinan, moral, dan watak, baik ketika memperlakukan orang lain sebagai individu, maupun ketika berhadapan dengan institusi negara. Ini tentu sangat cocok diterapkan di Indonesia yang penduduknya heterogen.
Peran besar pemerintah
Berbagai upaya yang dilakukan tokoh-tokoh agama menjadi tiada arti bila pemerintah masih melakukan pembiaran terhadap intoleransi. Justru, peran pemerintah sangatlah besar, baik secara preventif, regulatif, bahkan represif dalam pengendalian masalah sosial tersebut. Kesadaran pemerintah, termasuk para politisi untuk benar-benar menjadikan ‘Indonesia Negeri Toleran’ mutlak diperlukan.
Kesepahaman di antara para pemegang kekuasaan, baik di pusat dan daerah terhadap pentingnya kerukunan dan kesatuan kiranya bukan sekedar lip service saja yang digaungkan saat momentum-momentum politik tertentu saja. Harus ada keikhlasan bahwa dirinya memimpin rakyat yang beragam, namun memiliki hak yang sama, baik hak hidup, hak menjalankan agamanya, hak berpendapat, dan sebagainya.
Harus dipahami bahwa keragaman merupakan fitrah kemanusiaan. Di Indonesia, dengan kekhasan agama, istiadat, dan kepercayaan ibarat puzzle-puzzle yang berserakan. Para founding fathers telah menyatukan kepingan-kepingan tersebut. Selaras dengan ucapan tokoh bangsa Gatot Mangkoepradja (1898-1968) tahun 1932, “Bangsa itu tidak tergantung dari asal turunan (ras), tidak tergantung dari persamaan agama…, akan tetapi hanyalah terutama tergantung dari syarat nasib dan kebutuhan atau kepentingan yang sama” dan ungkapan filsuf Perancis, Ernest Renan (1823-1892), bahwa bangsa lahir karena ada kehendak untuk bersatu (le desir d’etre ensamble).
Semoga energi bangsa ini tidak terbuang percuma hanya mengurusi masalah intoleransi, tapi bisa dimanfaatkan untuk membangun negara, dimana perbedaan menjadi pondasi dan kekuatannya. Kesungguhan pemerintah dalam memerangi Covid-19, kiranya bisa menginspirasi semua pihak untuk juga melakukan ‘perang’ yang sama dengan intoleransi.
Penulis: Samuel Rionaldo N