JAKARTA,PGI.OR.ID-Apa yang sebenarnya telah terjadi di Prancis akhir-akhir ini, mendapat respon dari masyarakat di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Mulai dari aksi demo hingga ajakan untuk memboikot produk-produk dari Prancis digaungkan oleh sejumlah kelompok, bahkan kelompok agama.
Bagaimana seharusnya memahami, dan apa yang perlu dibenahi serta dikembangkan di Indonesia berkaca dari berbagai peristiwa di Prancis? Hal ini menjadi perhatian dalam diskusi daring bertajuk Belajar dari Masalah Prancis yang diselenggarakan oleh Bidang Kesaksian dan Keutuhan Ciptaan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (KKC-PGI), Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), dan Komite Nasional Lutheran World Federation (KNLWF), Jumat (6/11).
Menurut Dosen University of California Riverside Prof. Dr. Muhammad Ali, masalah di Prancis sangat pelik dan kompleks. Meski demikian ada hikmat yang bisa didapat bagi Indonesia. Pertama, bagaimana kita mengelola perbedaan. “Ini tugas negara. Bagaimana berlaku adil, tidak diskriminatif tanpa terkecuali, tidak ada minoritas-mayoritas, dan mengakui identitas yang mejemuk. Indonesia sudah ada Pancasila, UUD 45 dan sebagainya, ini bisa menjadi contoh bagi negara lain, tetapi tinggal bagaimana penerapannya,” ujar Ali.
Kedua, bagaimana mengungkapkan ketidaksetujuan secara humanis. Hal ini perlu diajarkan di sekolah, keluarga, bahkan media massa, agar tetap damai meski berbeda. “Perlu ada pemahaman bahwa setuju atau tidak setuju itu sikap wajar dari manusia. Misalnya karikatur sebagai sebuah seni, ekspresi kultural yang tidak perlu ditanggapi secara serius. Bagaimana menyikapi orang yang tidak setuju ini harus dikembangkan di Indonesia. Kita harus tetap mengakui aturan bersama, tidak memaksa, intimidasi dan lainnya. Ruang publik juga tidak boleh dijadikan tempat untuk misalnya mencap orang sebagai kafir, musyrik, dan sebagainya,” katanya.
Pakar dunia Islam dan Dosen UI Dr. Mahmud Syaltout melihat, Indonesia harus belajar dari kasus di Prancis terkait penegakan hukum berdasarkan aturan yang ada secara konsisten. “Banyak peraturan di Prancis yang mendukung kebebasan dan melarang berbagai tindakan diskriminasi dan sebagainya, dan ini laksanakan dengan tegas. Sangat beda dengan Indonesia, misalnya soal suara toa yang minta dikecilkan, tapi justru yang protes malah dipenjara,” katanya.
Lanjut Syaltout, jangan sampai keributan di negara lain membuat rebut di negara kita sendiri. Sebab itu, umat beragama di Indonesia harus saling belajar satu sama lain. Dan meski keras, hukum harus ditegakkan sehingga bisa menjamin kehidupan tanpa melihat minoritas-mayoritas.
Sementara itu, menurut Ketua Umum ICRP Prof. Dr. Hj. Musdah Mulia ada 3 hal yang perlu dipetik dari masalah di Prancis bagi Indonesia ke depan. Pertama, membangun upaya reskonstruksi budaya melalui pendidikan dalam arti seluas-luasnya. Sebab, saat ini dunia pendidikan masih menghadapi masalah, seperti di PAUD sudah diajarkan sparatisme. Seharusnya nilai keadilan, dan kesetaraan yang dimajukan, agar sejak dini anak-anak memiliki penghayatan akan pentingnya keberagaman.
Kedua, perlunya literasi keagamaan dibangun dengan baik, agar pandangan diskriminatif, yang akan berujung kepada kekerasan dapat diakhiri. Juga literasi kebangsaan agar masyarakat memiliki pemahaman terhadap hak dan kewajiban sebagai warga negara. Serta perlu upaya mereform undang-undang kita seperti apa sekarang. “Contoh undang-undang pendirian rumah ibadah yang menimbulkan masalah di lapangan, ini potensi konflik. Juga perda atau kebijakan publik, apakah ada unsur diskriminatif di dalamnya supaya tidak menjadi biang konflik,” tegas Musdah.
Ketiga, pentingnya reintrepretasi. Hal ini perlu dilakukan agar semua pimpinan agama menawarkan interpretasi yang lebih humanis tentang ajaran-ajaran agamanya masing-masing, untuk menghindari berbagai hal negatif yang pernah terjadi di abad-abad pertengahan yang penuh dengan kekerasan.
“Sebagai orang beragama, kita harus mengingatkan diri sendiri, keluarga, dan masyarakat bahwa tujuan terakhir beragama adalah menjadikan kita lebih manusiawi. Agama yang menuju kepada spritualitas bukan mengedepankan simbol-simbol. Jika mengedepankan spritualitas, maka kita akan menjadi sosok yang tenang, damai, dan tidak hura-hura. Marilah membangun atau mengedepankan spiritualitas,” katanya.
Hal senada juga disampaikan pendeta HKBP yang juga anggota KNLWF Indonesia Pdt. Saut H. Sirait, MTh di sesi kedua. Menurutnya, agama harus masuk ke ranah pribadi, dan darisitu diharapkan adanya perjumpaan dengan spiritualitas, yang akan melampaui agama itu sendiri.
“Nah, bagaimana dengan Indonesia? Mari sekarang ini kita sungguh-sungguh kembali kepada apa yang disebut universalitas, jangan lagi sektorian. Ada pemahaman yang mengangap nilai-nilai agama di Prancis hilang. Justru nilai-nilai agama itu, spiritualitasnya direlevankan dengan tatanan sosial, melalui sikap-sikap yang menghargai tiap-tiap individu. Prinsipnya di sana jangan ada sikap atau atau perbuatan yang merugikan orang lain,” kata Saut.
Ditambahkan, yang harus dibangun saat ini adalah sikap-sikap intelektual yang membuka semua ruang-ruang perjumpaan dengan seluruh spektrum masyarakat terutama yang berbeda, supaya unsur-unsur kejahatan dalam perbedaan hilang. Perjumpaan akan menciptakan dialog, dan dalam dialog akan ada informasi yang dapat mengubah persepsi, sehingga menghasilkan sikap-sikap baru dalam kehidupan ini.
Demikian halnya pandangan Rm Haryanto, SJ, pengasuh Peace Train Indonesia, yang melihat pentingnya masyarakat Indonesia membangun perjumpaan-perjumpaan, karena di sana akan dapat saling belajar satu sama lain. Sebab banyak sekali praktik-praktik intoleransi akibat ketidaktahuan.
“Dalam kasus Prancis terjadi benturan budaya dan pemahaman keagamaan. Sebab itu pentingnya perjumpaan. Banyak sekali praktik-praktik intoleransi terjadi karena ketidaktahuan. Pengalaman dengan program Peace Train Indonesia di ICRP, salah satu contoh apa yang terjadi di Madura, melalui program ini ada kelompok pemuda di Madura yang sangat dinamis yang mulai membuka berbagai macam hambatan untuk memulai perjumpaan-perjumpaan pada level yang bermacam-macam. Perjumpaan tidak hanya sekadar seminar, dialog, perjumpaan terutama untuk orang-orang muda, tetapi satu program yang lebih menekankan masuk ke dalam komunitas masyarakat yang berbeda,” katanya.
Menurut Rm. Haryanto, perjumpaan-perjumpaan seperti ini juga sangat dibutuhkan pada level yang paling tinggi, yaitu pemuka dan pimpinan agama, karena kecurigaan, kesalahpahaman, dan sebagainya, masih terjadi di kalangan masyarakat.
Pewarta: Markus Saragih