MALUT,PGI.OR.ID-Hutan di Maluku Utara (Malut) turut menyumbang kekayaan hayati dan oksigen bagi bumi ini. Seperti kritikalnya situasi hutan-hutan lain di Tanah Air, ekosistem hutan di Malut terancam tangan-tangan yang melancarkan bisnis ekstraksi sumber daya alam (SDA) secara rakus dan tidak berkelanjutan.
Karenanya, Interfaith Rainforest Initiative (IRI) Indonesia turut mendorong para tokoh agama dan masyarakat di Malut untuk berkolaborasi secara lintas iman dan budaya, termasuk dengan pemerintah dan pelaku-pelaku bisnis atas SDA. Hal ini dimaksud untuk menyelamatkan hutan dan ekosistemnya di Malut.
Diskusi terpumpun dan peluncuran IRI Indonesia chapter Maluku Utara telah berlangsung pada 7 Oktober 2023, di hotel Muara, Ternate, Malut. Kegiatan yang dihadiri 32 pimpinan lembaga keagamaan di Ternate ini, berjalan dengan baik dan diwarnai antusiasme mereka untuk membangun gerakan bersama antariman, sekaligus bersama pemerintah, LSM, dan Masyarakat adat. Para peserta kegiatan ini sangat menyadari pentingnya arti hutan dan fungsinya untuk keberlangsungan hidup berbagai ciptaan Tuhan.
Hal yang sering dikeluhkan oleh peserta maupun narasumber dari kegiatan-kegiatan ini adalah beberapa kebijakan dan izin dari pemerintah pusat yang kerap menimbulkan ketidakselarasan dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat. Kebijakan dan izin dimaksud terkait kemudahan usaha bagi para pelaku bisnis ekstraksi dalam skala besar, tanpa mempertimbangkan kerusakan dan beragam dampak lainnya bagi ekosistem hutan. Sekalipun masyarakat telah ada kearifan lokal, seperti sistem “sasi” (konsesus atau hukum adat untuk hal-hal tertentu, khususnya pengelolaan SDA).
Pdt. Jimmy Sormin, Sekretaris Eksekutif Bidang KKC-PGI, yang dipercaya sebagai Ketua IRI Indonesia, menyampaikan dalam sambutannya, bahwa peran strategis tokoh atau pimpinan keagamaan adalah melakukan gerakan moral untuk perubahan yang lebih baik. “Mengapa harus gerak moral? Karena seluruh kerusakan pada alam kita ini diawali dengan rusaknya moralitas manusia, dengan ketamakan atau kerakusan yang dimilikinya. Tamak atau rakus untuk mengambil sebanyak-banyaknya dari alam ini, hanya untuk memenuhi keinginan diri sendiri maupun kelompoknya,” tandasnya.
Baginya, di sinilah letak peran strategis tokoh agama itu. Karena para pebisnis, pemerintah, dan warga masyarakat lainnya yang melakukan pengrusakan, adalah juga umatnya para pemimpin keagamaan. Pada umumnya pesan atau ajakan dari para pemimpin agama didengar atau dipatuhi oleh umat-Nya.
“Jangan kita hanya dijadikan seperti pemadam kebakaran, pada saat ada masalah baru dipanggil atau dibutuhkan. Sejak awal kita perlu terlibat aktif untuk melakukan perubahan untuk masa depan generasi yang akan datang, yang hak-haknya sudah banyak dirampas atau dipakai oleh generasi saat ini,” tegas Pdt. Jimmy.
Sehari sebelumnya, tim IRI Indonesia yang terdiri atas perwakilan dari beberapa lembaga keagamaan selain PGI, seperti MUI, PB Nahdlatul Ulama, PP Muhammadiyah, PHDI Pusat, Matakin, Permabuddhi Pusat, KWI, melakukan audiensi dengan Sultan Ternate. Tim diterima oleh Sultan di Kedaton, Hidayatullah Sjah. Tepat di halaman Kedaton, Sultan dan Tim IRI Indonesia berdiskusi sembari menikmati suasana Ternate di sore hari.
Sultan Ternate ke-49 ini menyambut baik upaya IRI untuk mengkonsolidasi para tokoh agama dan masyarakat adat untuk berkolaborasi dan memperhatikan isu-isu lingkungan hidup. Baginya peran tokoh agama dan adat itu penting untuk perubahan, namun tanpa diiringi perubahan dalam kepemimpinan di pemerintahan, akan banyak tantangan atau hambatan.
Menurutnya, kerap pemerintah dengan gampangnya mengklaim tanah negara, sekalipun itu dimiliki oleh masyarakat adat jauh sebelum bergabung ke NKRI. Izin-izin industri ekstraktif yang mudah diperoleh dari pemerintah pusat, dan tidak melibatkan masyarakat untuk menilainya, akan mempersulit upaya merawat lingkungan hidup, khususnya hutan di Malut. Sebab itu, dibutuhkan kepemimpinan yang tegas dan memiliki visi yang jelas untuk kesejahteraan masyarakat, dan masa depan Tanah Air kita.
Memang upaya untuk melakukan restorasi ekosistem hutan dan pembangunan yang selaras alam tidaklah mudah, tetapi bukan berarti tidak mungkin. Butuh komitmen jangka panjang untuk mengawalnya, dan semakin merangkul banyak pihak dalam berkolaborasi dengan perspektif yang sama. Ini semua harus dimulai dengan tekad bersama.
Sekretaris Umum MPH PGIW Maluku Utara, Pdt. Willem. J. Terloit, yang juga hadir dalam kegiatan ini mengatakan, PGIW Maluku Utara bersama pemuka agama lintas iman di Maluku Utara bertekad untuk melindungi hutan tropis dari ancaman kerusakan, sebagai bagian dari panggilan dalam membangun ruang publik keindonesiaan, yang humanis ekologis bersama IRI Indonesia.”
Pewarta: Markus Saragih