Oleh: Pdt Rudy Rahabeat
Tanggal 27 September-3 Oktober 2023 akan berlangsung Sidang Raya ke-15 Dewan Gereja Asia/CCA (Christian Conference of Asia) di Kottayam Kerala India. Kurang lebih 400 peserta akan menghadiri Sidang yang berlangsung lima tahun sekali tersebut. Gereja Protestan Maluku (GPM) sebagai salah satu angggota CCA mendapat quota peserta 3 orang guna menghadiri Sidang Raya tersebut, dengan memperhatikan keterwakilan laki-laki dan perempuan.
Sebelum iven bersejarah ini terlaksana, telah berlangsung Konferensi bagi para pemimpin gereja negara-negara Asia di Jakarta. Sebagai Wakil Sekretaris Umum Majelis Pekerja Harian Sinode GPM menghadiri acara yang berlangsung di Hotel Millenium Sirih Tanah Abang Jakarta, 1-5 Mei 2023. Berikut beberapa catatan singkat terkait kegiatan oikumenis tersebut.
Pertama, Asian Church and Ecumenical Leaders Conference (ACELC). Kegiatan oikumenis yang dihadiri seratus pimpinan lembaga gereja dari 28 negara di Asia, termasuk Australia dan Selandia Baru. Selain gereja ortodoks, Lutheran, Calvinis, hadir pula perwakilan dari Gereja Mar Thoma India. Mar Thoma adalah gereja yang meyakini bahwa rasul Thomas menginjili hingga wafat di India.
Kegiatan ACELC 2023 ini bertema “Changing Ecclesial and Ecumenical Landscape in Asia: Our Witness and Accompaniment”. Tema ini menegaskan realitas dan dinamika perubahan bergereja dan gerakan oikumene di Asia serta panggilan untuk terus bersaksi dan membangun solidaritas kemanusiaan lintas bangsa. Isu-isu global seperti kemiskinan, kerusakan lingkungan hidup, demokratisasi, korupsi, dialog lintas agama, gender, human trafficking, transformasi digital, dan sebagainya merupakan masalah-masalah global yang membutuhkan respons kreatif dan dinamis dari semua lembaga termasuk gereja-gereja.
Hal ini ditegaskan pula oleh Sekretaris Jenderal Dewan Gereja Asia (CCA), Dr Matthews George Chunakara dalam pengantar konperensi. Tidak ada jalan lain untuk mengatasi masalah-masalah ini selain memperkuat solidaritas, mengembangkan kepemimpinan yang relevan dengan perubahan dan membangun budaya serta tata kelola yang baik dan transformatif.
Kedua, kepemimpinan Berintegritas dan good governance serta konsensus. Presiden Dewan Gereja Sedunia Regio Asia yang juga mantan Sekjen CCA dan mantan Ketua Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Pdt Dr Henriette Lebang-Hutabarat menyajikan materi tentang kepemimpinan transendental. Ini merupakan model kepemimpinan yang melampaui kepemimpinan transaksional dan tranformasional. Jika kepemimpinan transaksional lebih berfokus pada kepentingan material, dan kepemimpinan transformasional terpusat pada individu, maka kepemimpinan transcendental melampaui keduanya dan merangkul semesta ciptaan.
Penting sekali menghindari jebakan antroposentrisme (berpusat pada manusia semata) dan perlunya aspek ekosentrisme (berpusat pada keutuhan ciptaan). Bhisop Steven Lawrence dari Gereja Lutheran Malaysia menyajikan materi tentang kepemimpinan pelayan/hamba. Ia merujuk pada kepemimpinan Yesus yang datang untuk melayani bukan untuk dilayani. Dalam kaitan ini penting pula memperhatikan aspek tata kelola yang baik (good governance). Rev.Terence Corkin menyajikan materi tentang prinsip, nilai-nilai dan relevansi konsep Good Gavernance bagi gereja. Menurut Rev Corkin dari Uniting Church in Australia hal-hal penting terkait tata kelola yang baik mesti memperhatikan akuntabilitas dan transparansi, mengikuti aturan hukum, responsif – terbuka untuk yang baru dan informasi dan opini yang berbeda, adil dan inklusif, efektif dan efisien serta partisipatif.
Rev. Tara Tautari dari Gereja Methodis Selandia Baru menyajikan materi tentang Consensus Decision Making: Prospect and Challenges for Implementation. Menurutnya seorang pemimpin idealnya dalam pengambilan keputusan tidak bersifat otoriter dan elitis. Ia mestinya terbuka mendengar dan merangkul semua perbedaan. Sayangnya, dalam praktiknya karena bias gender dan kendala bahasa misalnya, maka keputusan-keputusan tidak lagi berdasarkan konsensus (mufakat bersama) tetapi bersifat dominatif dan diskriminatif. Pemimpin dan kepemimpinan yang baik hendaknya adil dan inklusif serta emansipatif.
Ketiga, Ecumenical Diakonia-Call to Transformation. Pdt Dr Merry Kolimon, Ketua Sinode GMIT (Gereja Masehi Injili di Timor) pada hari keempat kegiatan menyajikan refleksi teologi tentang agenda dan praksis diakonia transformatif. Menurut Pdt Kolimon, selain diakonia karitatif dan diakonia reformatif maka diakonia transformatif merupakan panggilan gereja yang urgen saat ini. Ia mencontohkan berbagai bencana yang terjadi di penjuru dunia, termasuk di Nusa Tenggara Timur, seperti badai Siklon dan Gempa Bumi telah memanggil gereja-gereja dan lembaga-lembaga kemanusiaan untuk menyatakan solidaritas dan aksi nyata untuk menolong para korban.
Bukan itu saja, namun bencana alam tersebut memicu direvitalisasi kembali pranata-pranata sosial budaya yang menegaskan kerjasana dan gotong royong di antara sesama. Solidaritas global juga hadir melalui jaringan gereja-gereja di lingkup Asia (CCA) maupun dunia (WCC). Sejak tahun 2014 Dewan Gereja Sedunia (WCC) menerbitkan Dokumen Called to Transformation. Ecumenical Diakonia. Rev. Matthew Ross dari Dewan Gereja Sedunia (WCC) dalam presentasinya menyatakan komitmen Dewan Gereja Sedunia untuk terus mengembangkan dan membumikan Diakonia. Misi, diakonia dan ekumenisme merupakan inti dari apa artinya menjadi Gereja. Seperti yang kita ketahui bahwa ada empat panggilan gereja yang utama yakni koinonia, marturia, diakonia dan oikudomia. Keempat panggilan ini saling terkait dan perlu sungguh-sungguh dilaksanakan oleh gereja-gereja di belahan bumi manapun, termasuk di Asia.
Keempat, kader-kader muda aktivis gerakan oikumene. Salah satu hal yang menarik dalam Konferensi ini adalah keterlibatan orang-orang muda dalam gerakan oikumene. Memang amatan sekilas peserta konferensi masih didominasi orang tua (diatas 50 tahunan) tetapi panitia dan staf CCA adalah orang-orang muda yang enerjik dan kreatif. Mereka bekerja di belakang layar menyiapkan segala sesuatu demi kelancaran kegiatan tersebut. Panitia lokal berasal dari Gereja Protestan Indonesia bagian Barat (GPIB) dan ditopang oleh Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI).
Diantara orang-orang muda itu dua diantaranya yakni Karen Erina Puimera yang saat ini merupakan anggota Central Committee Dewan Gereja Sedunia (WCC) mewakili unsur pemuda, perempuan dan non pendeta. Karen berasal dari Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB). Selanjutnya, Calvin Tehuayo (27 tahun) merupakan salah satu Staf CCA yang berasal dari Gereja Protestan Maluku. di CCA ia merupakan Staf Profetik Diakonia yang cukup sibuk membantu jalannya kegiatan tersebut. Calvin merupakan alumni Fakultas Teologi Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM) Ambon. Sejak tahun 2019 ia bergabung dengan CCA yang berkantor di Chiangmai Thailand.
Pria asal Desa Lafa Kecamatan Telutih Maluku Tengah ini sedang berproses sebagai Calon Pendeta (Vikaris) Gereja Protestan Maluku. Calvin merupakan sosok yang mewakil kaum muda yang terlibat dalam gerakan oikumene internasional. Pada aras Nasional (PGI) GPM mengutus beberapa pelayannya seperti Pdt Jacky Manuputty (Sekum PGI), Pdt Hendrek Lokra (Sekretaris Eksekutif Keadilan dan Perdamaian PGI) dan Pdt Suresjh Tomaluweng (Kepala Biro Pengurangan Resiko Bencana PGI).
Kelima, saling mendengar dan berbagi pengalaman serta komitmen etik. Suasana konferensi selain menampilkan beragam presentasi, tetapi juga kesediaan mendengar dan berbagi pengalaman merupakan hal yang indah. Ambil contoh, Ms Juliate Malakar dari Christian Commission for Development in Bangladesh (CCDB) Bangladesh menyampaikan kerja-kerja lembaganya bersama komunitas basis di Bangladesh mengembangkan sumber daya energi terbarukan untuk menghadapi perubahan iklim dan merawat bumi. Ancaman krisis energi membutuhkan aktivasi kearifan lokal yang ramah lingkungan.
Demikian pula pengalaman dari Timor Leste yang disampaikan Levi Vasconselos tentang perjuangan Igreja Protestante iha Timor Lorosae (IPTL) sebagai gereja minoritas di Timor Leste yang mayoritas beragama Katolik. Bagaimana gereja di sana berjuang membuat jemaat-jemaatnya mandiri secara ekonomi maupun sosial budaya. Hal yang sama dibagikan pula secara personal oleh Rev. Juliana Temparaja, Sekretaris Umum Sinode IPTL. Semangat mengembangkan diakonia transformatif juga dibagikan oleh Diaken Ayub Junus, selaku Direktur Yayasan Diakonia (Yadia) GPIB serta berbagi pengalaman berharga dari negara lainnya seperti Korea Selatan, Filipina, India, Srilanka, dan sebagainya.
Saling berbagi dan saling belajar juga terasa dalam sesi setiap kebaktian pagi dan refleksi teologi serta penelaahan Alkitab, juga interaksi antar peserta di sela-sela makan bersama maupun waktu istirahat. Tak terlupakan tentu saja kunjungan langsung dan acara ke kantor Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) di Jalan Salemba 10 Jakarta juga atraksi seni dan budaya yang disajikan Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB) di lokasi gedung Gereja GPIB Imanuel Jakarta, salah situs sejarah Protestantisme di Indonesia dan Asia pada umumnya.
Partisipasi dalam kegiatan konferensi CCA ini selain menambah wawasan dan referensi terkait isu-isu global sekaligus merajut persahabatan dengan berbagai peserta dari berbagai gereja dan negara. Kehadiran kami mewakili GPM merupakan wujud komitmen dan konsistensi untuk turut berperan aktif dalam gerakan oikumene baik pada aras lokal, nasional maupun global.
Semua ini selaras dengan amanat panggilan gereja, sebagaimana doa Tuhan Yesus agar semuanya menjadi satu (ut omnes unum sint). Kesatuan dan keragaman untuk bersama-sama mengembangkan oikumene semesta yang memperkuat relasi dan komunikasi antar-gereja, antar-agama dan antar-negara untuk bersama-sama menjaga dan merawat bumi sebagai rumah bersama yang damai dan sejahtera bagi semua ciptaan. Dalam terang tema Sidang Raya ke-15 CCA 2023 “God Renew Us In Your Spirit and Restore the Creation”, kiranya Allah Pencipta di dalam Kristus dan Roh Kudus senantiasa membarui kita untuk terus membarui gereja dan dunia serta memulihkan seluruh ciptaan menjadi baru dan sejahtera. Tuhan memberkati kita semua.
Penulis Wasekum Sinode GPM, dan peserta ACELC