CIGUGUR,PGI.OR.ID-Sekretaris Eksekutif Perserikatan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Pdt. Jimmy Sormin menyebut, penganut agama leluhur seperti Sunda Wiwitan rentan menjadi korban diskriminasi dan intoleransi, baik yang dilakukan oleh negara maupun oleh sesama warga masyarakat. Hal itu dia sampaikan dalam sambutan pada pembukaan kegiatan Seminar Agama-Agama ke-37 PGI di Cigugur Kuningan, Rabu (16/11/2022).
“(diskriminasi itu) misalnya, berupa minimnya akses mereka terhadap layanan administrasi publik; sekalipun kita mengenal peraturan dalam Adminduk kita, dan pendidikan di beberapa daerah masih mengalami hambatan yang berat,” kata Pendeta Jimmy.
Ironisnya kata dia, praktik itu terjadi meskipun putusan MK no 97 tahun 2016 telah secara tegas menyatakan bahwa, penganut kepercayaan atau agama leluhur memiliki kedudukan yang sama dengan 6 agama lainnya.
Seiring dengan persoalan itu kata dia, persoalan rumah ibadah, larangan pendirian rumah ibadah, ujaran kebencian terhadap agama tertentu, penistaan, dan lain sebagainya masih tetap muncul di banyak tempat.
Sehingga kata dia, pelaksanaan Seminar Agama-Agama PGI kali ini memilih tempat di Cigugur bersama komunitas Sunda Wiwitan. Pilihan tempat tersebut jelas pria itu, dilakukan sebab PGI ingin menyatakan kepedulian dan keberpihakan nyata terhadap persoalan yang dialami komunitas penghayat agama leluhur dan secara khusus kepada Komunitas Masyarakat Adat Cigugur yang telah lama mengalami diskriminasi.
“PGI juga ingin membangun kesadaran dan kepedulian banyak pihak baik kelompok agama, adat, akademisi, peneliti, mahasiswa, pegiat budaya dan pemuda lintas agama terhadap apa yang selama ini dialami kelompok masyarakat penghayat agama leluhur,” tegasnya.
Selain Pendeta Jimmy, Hadir pula Kepala Kesbangpol Kabupaten Kuningan Dr. M. H. Budi Alimudin, M.Si. Dalam sambutannya Budi menyebut, moderasi beragama sebenarnya bukan hal baru bagi kita, masyarakat Indonesia sejak dahulu memiliki modal sosial dan kultural yang cukup mengakar.
“Kita sudah biasa bertenggang rasa, toleran, menghormati persaudaraan, dan saling menghargai atas keragaman yang ada. Nilai-nilai fundamental inilah yang menjadi fondasi dan filosofi masyarakat di nusantra dalam menjalani moderasii agama.” Kata dia.
Nilai tersebut lanjutnya, ada dalam setiap agama, karena masing-masing agama pada dasarnya mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan yang sama. Agama mengajarkan bahwa menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan merupakan bagian dari inti pokok agama.
“Tuhan diyakini menurunkan agama dari langit ke bumi justru untuk melindungi kemanusiaan, inti pokok ajaran agama adalah untuk melindungi kemanusiaan bukan menghancurkan kemanusiaan itu sendiri,” kata Budi.
Sehingga lanjutnya, orang moderat memperlakukan mereka yang berbeda agama sebagai saudara sesama manusia, dan memperlakukan mereka yang satu agama sebagai saudara seiman. Selain itu, orang moderat juga akan sangat mempertimbangkan kepentingan kemanusiaan di samping kepentingan keagaamaan yang sifatnya subjektif. Bahkan pada situasi tertentu, kepercayaan keagamaan mendahului subjektivitas keagamaan.
Dalam kegiatan ini, hadir Forkopimda Kecamatan Cigugur, Dr. Wawan Junaedi Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama Kemenag RI; Pdt. Gomar Gultom Ketua Umum PGI; Nia Sjarifuddin Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI); Wawan Gunawan Jakatarub Bandung; Engkus Ruswana (Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa); Husni Mubarak PUSAD Paramadina; Samsul Ma’arif CRCS UGM; Asfinawati YLBHI; serta Dewi Kanti Komisioner Komnas Perempuan RI.
Menyambung apa yang disampaikan Budi, Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama (Kapus KUB) Kementerian Agama RI, Dr. H. Wawan Djunaidi, M.A menyebut, moderasi beragama di Indonesia telah diterapkan sejak dahulu. Ada dalam budaya dan masyarakat kita. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya hakim dari kalangan perempuan, kepala daerah, bahkan juga kepala negara. “Hal itu membuktikan bahwa Indonesia sudah moderat,” tegasnya.
Pewarta: Vina