Keterbukaan, tenggang rasa, saling berempati, menerima perbedaan: masih jauh panggang dari api. Kata-kata tadi menjad harapan kita terhadap hidup bertoleransi di Indonesia. Spirit bertoleransi itulah yang mesti dihidupi bangsa besar ini. Beta tidak, oleh para pendiri bangsa sejak awalnya sudah memikirkan dan membuat pondasi salam slogan “biar berbeda-beda tetapi kita satu jua.” Agama, suku atau golongan boleh berbeda tetapi kita tetap besaudara. Indah perbedaan jika dirajuk dengan toleransi. Anak-anak beda agama bisa berpelukan, orang dewasa beda suku saling membantu. Maka pada setiap pribadi Indonesia diingatkan bahwa Pancasila adalah sumber kekuatan, nilai luhur untuk dipedomani bersama dalam membangun diri di tengah kemajemukan. Faktanya memang kita majemuk. Beraneka ragam suku dan agama.
Lagi, Pancasila mengandung elemen-elemen fundamental yang perlu diaktualkan sebagai mercusuar kehidupan berbangsa dalam merajuk kebhinekaan, bertoleransi. Perbedaan tak boleh menyurutkan semangat merajuk persahabatan. Nyatanya bisa jadi itu masih hanya “harapan” semata oleh karena belum menjadi perilaku luhur, yang umum menerabas di sanubari semua warga bangsa. Hakikatnya nilai itu mesti ditanamkan sejak dini, toleransi, bahwa perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Toleran sifat atau sikap yang menerima dan menghargai setiap perbedaan. Toleransi sendiri berasal dari bahasa latin, tolerare yang artinya sabar dan menahan diri. Toleransi berpunca dari bahasa latin, “tolerare” yang artinya sabar dan menahan diri. Kata toleransi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah keterbukaan, pemaafan, penerimaan, pengertian; tenggang rasa. Sementara kata intoleransi diartikan; satu kelompok, secara spesifik menolak untuk bertoleransi bagi sesama.
Tindak intoleransi bak seperti duri dalam daging masih pergumulan di negeri ini, bahkan makbul (jadi) terus berulang. Tak hanya aksi penutupan tempat ibadah bagi kelompok minoritas semata-mata, atau golongan sosial yang jumlah warganya jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan golongan lain dalam suatu masyarakat. Atas perasaan diri mayoritas, maka kerap para intoleran melakukan pelarangan dan pembubaran kegiatan keagamaan, bahkan terjadi hingga di penguburan mayit. Sikap intoleransi seperti itu jelas merusak apalagi menolak mayit.
Karenanya negara tak boleh kalah apalagi berdiam diri atas kekerasan yang dimakbulkan segelintir kelompok intoleran semacam itu. Tentulah jika dibiarkan intoleransi akan terus tumbuh subur, menggelinding menjadi bola salju yang pada nadirnya akan liar tak terkendali. Jika tak disanksi, merasa sudah terbiasa, kelompok intoleran tak merasa melanggar dan satu saat dirasa lumrah bahkan oleh masyarakat. Maraknya aksi-aksi intoleransi di Indonesia menambah daftar panjang catatan intoleransi, dan memudarnya sikap toleransi oleh karena penegakan hukum yang tak tegas.
Berbagai praktik intoleransi yang terjadi di Indonesia setiap tahunnya, bukan menurun malah menaik. Berbagai laporan berbagai lembaga pun menyebutkan demikian. Sebutlah berdasarkan catatan Komnas HAM, jumlah kasus intoleransi pada tahun 2016 terus mengalami peningkatan jika dibandingkan dua tahun sebelumnya. Justru, Setara Institute mencatat pelanggaran atau kekerasan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia pada 2018 terus menaik. Pun sejumlah isu intoleransi nasional menaik selama masa pandemi ini. Bahkan pelanggaran terhadap Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB) di Indonesia tahun 2020 mengalami peningkatan. Riset Setara Institute menyebutkan, pandemi Covid-19 menjadi lahan subur diskriminasi dan intoleransi. Intoleransi dan penguatan kelompok ekstremisme berkekerasan makin membesar.
Hal ini terkonfirmasi dengan sejumlah aksi intoleransi nasional yang menguap selama masa pandemi, yang tentunya bukan saja melulu berkenaan pelarangan dan penutupan rumah ibadah semata. Aksi intoleransi itu berupa perusakan makam, penolakan jenasah dimakamkan. Jelas ini vandalisme. Mereka yang melakukan yakin itu bukan tindakan vandalisme. Namun mereka melakukan itu, bahwa menolak jasad di luar agama mereka dimakamkan di makam yang mereka klaim sebagai tempat hanya untuk mereka, bukan kepada kaum kafir, di luar kelompok atau yang berbeda agama dari mereka. Di masa Pandemi ini terberitakan beberapa kasus yang sempat viral, makam yang dirusak, jenazah ditolak. Ini jelas aksi intoleran. Mirisnya hal itu terjadi di masa pandemi Covid-19.
Lagi, catatan Setara Institute, selama rentang waktu 2020, telah terjadi 180 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, dengan 422 tindakan. Artinya, kondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan menunjukkan pelanggaran kebebasan beragama dan intoleransi, dan diskriminasi ini masih terus memprihatinkan,” ujar Ketua Setara Institute Hendardi saat membuka Webinar “Promosi Toleransi dan Penghormatan terhadap Keberagaman di Tingkat Kota,” pada Kamis, (8/4/21).
Hal senada pernah dikatakan, budayawan Dr. Ngatawi Al Zastrouw, S.Ag, M.Si., mengemukakan pendapat terkait langkah untuk mengarusutamakan toleransi (https://jendelanasional.id/headline/dr-ngatawi-al-zastrouw-penyebab-tumbuh-suburnya-intoleransi-di-masa-pandemi). Ngatawi menambahkan, ada beberapa hal yang menyebabkan tumbuh suburnya intoleransi di tengah situasi pandemi seperti saat ini, tentu berawal dari keterbatasan pikiran. Di mana pikiran yang terbatas pada suasana pandemi ini menjadi panik dan akhirnya mereka memegang pada informasi-informasi yang cocok hanya diri mereka. Selanjutnya, hilangnya wisdom atau kearifan. “Kenapa hal ini bisa hilang? Ini karena dominannya kepentingan-kepentingan pragmatis yang menyebabkan orang untuk berpikir alternatif. Yang penting kepentingan dia harus terwujud di mana segala cara akan digunakan untuk mewujudkan kepentingan itu,” ujarnya.
Selanjutnya, menurut mantan Ketua Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) PBNU itu, adanya tarik-menarik politik. Di iklim politik yang kompetitif seperti sekarang ini, ada saja segelintir orang yang hanya memikirkan kepentingan dirinya dengan menggunakan segala cara dalam mewujudkan kepentingan-kepentingan politik, termasuk memainkan isu SARA. Memanfaatkan isu SARA demi birahi politiknya. Mantan asisten pribadi Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur ini juga menyebut, selain itu, mereka juga memanfaatkan kedangkalan pemikiran-pemikiran sebagian orang yang mudah digerakkan untuk melakukan sesuatu, termasuk tindakan anarkis. Bersumbu pendek, mudah tersulut api kemarahan. Oleh karena itu, menurutnya, dalam menghadapi pandemi Covid-19, keutuhan, solidaritas dan toleransi itu tetap terbangun dan terjaga semangat kemajemukan perlu dijaga, saling menjaga dan menghormati. Untuk itu, masyarakat juga harus mencoba untuk menghidupkan dan menggali nilai-nilai tradisi yang baik untuk diwujudkan, dikembangkan dan diamalkan.
Vandalisme di makam
Bagaimana rupanya masalah toleransi di masa Pandemi Covid-19? Jelas, kentara bisa dirasakan, tindakan intoleransi di tanah air. Walau banyak juga sepi dari pemberitaan. Terjadi nyata, utamanya aksi intoleransi di Liang Lahat, bahkan, jasad orang yang meninggal pun ditolak untuk dimakamkan. Secara kronik kasus perusakan makam yang menghebohkan warga di sekitar TPU Cemoro Kembar, Kelurahan Mojo, Pasar Kliwon, Solo. Dua belas makam dirusak, oleh karena bersimbol salib dari sebelas pusara Kristen dihancurkan padahal di Tempat Pemakaman Umum (TPU). Itu terjadi Giriloyo di Magelang, Jawa Tengah.
Pun vandalisme terhadap makam juga terjadi di Solo. Di lokasi pemakaman, tampak sejumlah salib dicopot dari makam lalu dihancurkan. Syukur, walikota Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka bertindak cepat dan menangani kasus ini dengan baik. Tentulah ini bukan hanya kasus pertama, pengrusakan kuburan Kristen. Di Magelang pun terjadi. Dua puluh satu makam di tiga TPU dirusak di Kota Magelang, 18 diantaranya adalah makam Kristen. Di Situbondo, di Yogyakarta juga terjadi. Di Sumatera Utara juga tercatat warga menolak dikuburkan oleh karena pasien Covid-19. Sebagaimana diberitakan Buletin iNews, (24/05/21). Entah apa yang menyulut kemarahan warga, apakah memang sosialisasi dan edukasi dari pihak Satgas Covid-19 yang kurang? Entahlah!
Lain di Jawa lain juga di Sumatera. Di Kota Padang Sidempuan itu misalnya, menolak untuk dikuburkan jasad warganya. Warga tetap menghalangi, bertahan di lokasi tempat pemakaman umum dan mereka mendesak untuk segera memindahkan kuburan tersebut ke tempat pemakaman khusus Covid-19. Sebenarnya, penolakan itu juga karena yang meninggal beragama Kristen.
Tentu, menengok sedikit ke belakang, bukan kali ini pertama penolakan terhadap jasad warga Kristen di Kota Sidempuan tersebut. Tahun 1922, jenasah orang Toba pun pernah ditolak oleh karena dikuburkan di TPU milik orang Mandaliling, padahal orang Mandailing juga sub-etnis Batak. Sudah tentu karena faktor agama. Tentu masalah pemakaman bagi orang yang berbeda identitas terjadi sudah sejak masa kolonial. Tentu tak spesifik soal agama, meski faktor itu ada, melainkan juga karena identitas sub-etnis mempengaruhi.
Berita penolakan jenasah dimakamkan juga terjadi di Banyumas juga sempat viral berita yang sama. Sebagaimana dikutif dari (https://www.voaindonesia.com/a/jenazah-korban-virus-corona-aman-warga-jangan-menolak/5358581.html). Kita tentu salut dengan Bupati Banyumas, oleh tangkas menghadapi penolakan warga. Tak sampai disitu saja, bupati Banyumas Achmad Husein ikut turut membongkar kembali makam korban virus corona yang ditolak warga.
Kasus di Banyumas akhirnya bisa dicarikan solusinya, pemakaman dilaksanakan terpaksa di tanah milik pemerintah, yang jauh dari perkampungan warga. Selain di Banyumas, penolakan juga terjadi di Makassar dan Gowa, Sulawesi Selatan. Soal Makassar ini jadi teringat rilis Setara Institute beberapa waktu lalu, ketika melaporkan daftar kota-kota intolerasi di Indonesia, salah satunya kota intoleran adalah Makkassar. Lucunya ketika itu wakilotanya tak terima kota yang dipimpinnya disebut kota toleran.
Mafhum, bukan termakbul
Ketua Umum PP Muhamadiyah Haedar Nashir dalam pernyataan tertulis yang disampaikan di Yogyakarta, Kamis (2/4/20), meminta masyarakat untuk tak menolak pemakaman jenazah korban virus corona. Dia menilai penolakan warga mungkin karena kepanikan berlebihan dan belum mengerti. Oleh karena itu, dia meminta aparat dan pemuka agama untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat. Apakah memang oleh karena fobia tertular? Tentang ketakutan tertular itu bisa kita baca pendapat Dr. Lipur Riyantiningtyas dari Instalasi Kedokteran Forensik di RSUP dr.Sardjito Yogyakarta, mengatakan, setiap jenazah pasien dalam pengawasan atau yang sudah dinyatakan positif virus corona, yang akan dimakamkan sudah aman. Prosedur keamanan sudah dimulai sejak korban dinyatakan meninggal di bangsal hingga dibawa ke kamar jenazah. “Jadi pada saat di bangsal, petugas dari kamar jenazah datang, itu sudah membawa peralatan untuk melakukan disinfektan terhadap jenazah tersebut,” sebut Dr Lipur.
Tetapi jika beracu pada nurani, seharusnya di masa seperti sekarang, pandemi melanda, setiap warga harus mafhum, memahami bahwa keadaan ini disadari bukan keadaan normal. Lebih-lebih pada masa pandemi Covid-19 sekarang ini, di mana setiap orang harus benar-benar menerapkan prokes secara ketat, agar tetap sehat, dan dapat ikut serta memutus rantai penyebaran virus tersebut. Jelas ini masa sulit, ujian, karenanya kita semestinya bertobat dan meninggalkan kesombongan, keangkuhan dan lebih mendekatkan diri serta tunduk kepadaNya. Berkesadaran toleransi, dan jadi cara kita untuk bisa kembali ke jalan yang benar.
Barangkali keadaan ini mengingatkan kita, bisa jadi Tuhan sengaja izinkan Covid-19 melanda dunia, sebagai tanda agar kita berpaut erat kepadaNya dan untuk tak menghina sesama ciptaanNya. Apalagi setiap manusia pasti menghadapi kematian setelah hidup, jangan merasa hidup akan selamanya. Lagi-lagi masing-masing orang harus sadar bahwa satu waktu dia kembali pada penciptaNya.
Akhirnya, isu intoleransi nasional yang menguap selama masa pandemi ini harus terus dikritisi. Sekali lagi, masa pandemic semestinya ruang pengasuhan hati, mengoreksi diri, mengasuh kepekaan nurani, bahwa kita yang diciptakan berbeda-beda membuat perbedaan itu membeda-bedakan. Mestinya mafhum, bukan termakbul oleh ketakaburan, utamanya soal hubungan kemanusiaan kita, agar kita tak jumawa, sebab perbedaan itu rahmatNya.
Penulis: Hojot Marluga