INDRAMAYU,PGI.OR.ID-Perlahan-lahan kereta berhenti di Stasiun Haurgeulis, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Salah seorang penumpang terlihat nampak memijat-mijat kepalanya. Meski agak merasa pusing dan mual, namun dia tetap tersenyum kepada dua rekan seperjalanannya. Dia mengaku pusing. Maklum saja, ini pengalaman pertamanya naik kereta.
Nama lelaki itu Opan David Gandi (22 tahun). Dia adalah salah satu peserta kegiatan Tanah Air Itu Bhinneka (TAB) 2023, Goes To Indramayu. Sedianya kami sama-sama berangkat dari Stasiun Pasar Senen, pada pukul 13.30 WIB, Senin (19/6/2023). Cuma lantaran ada masalah teknis, saya bersama tiga rekan lainnya baru menyusul dengan kereta berikut pada pukul 14.30.
Seperti halnya Opan dengan dua rekannya, kami berempat di kereta pemberangkatan berikutnya, juga harus berlari-lari ria dulu. Pasalnya waktu kami tiba di Stasiun Senen Jakarta, dengan jadwal keberangkatan keretanya begitu mepet.
Mungkin gara-gara itu juga, Opan, peserta asal Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) ini, jadi pusing dan mual. Pengalaman pertama lelaki kelahiran Nyiuh Areng, Kabupaten Lombok Utara tahun 2001 ini, bukan hanya soal naik kereta. Naik pesawat terbang, juga adalah pengalaman pertamanya. Itu sebabnya Opan minta ke panitia, agar menjemputnya di Bandara Soekarno Hatta.
“Ini pengalaman pertama saya keluar dari Pulau Lombok. Saya takut kesasar saat keluar bandara menuju ke kantor PGI (Persekutuan Gereja-geraja di Indonesia) nantinya. Jadi saya minta dijemput,” tutur Opan, ketika sore di hari kedua kegiatan, Selasa (20/6/2023), saya sengaja mengajaknya berbincang di depan pintu masuk Gereja Kristen Pasudan (GKP) Tamiyang Rehoboth, tempat TAB 2023 digelar.
Oh iya, Opan merupakan satu-satunya peserta yang beragama Budha pada TAB 2023 ini. Sambil ngopi saya mulai membuka percakapan, dan bertanya mengenai perasaannya mengikuti kegiatan TAB ini.
Sebenarnya beberapa hari sebelum berangkat menuju Indramayu, saya mendapatkan informasi dari salah satu rekan kerja, bahwa ada peserta asal Lombok, NTB, yang minta tolong dijemput saat tiba di bandara, lantaran ini pertama kali dia akan naik pesawat.
“Saya tahu info kegiatan ini dari Grup WhatssApp milik komunitas yang saya ikuti. Nama komunitasnya Mulia NTB. Bang Sardi, Ketua Mulia NTB membagikan info kegiatan TAB ini. Saya sangat tertarik, makanya saya langsung mendaftar ikut seleksi,” ungkapnya.
Menurut Opan, meskipun awalnya kedua orang tua begitu was-was, karena dia anak satu-satunya, tapi mereka akhirnya mendukungnya ikut kegitan TAB 2023. “Awalnya was-was, mungkin mereka khawatir saya pergi keluar NTB,” ucapnya.
Setelah melewati seleksi, Opan mendapat kabar, dirinya lolos menjadi salah satu peserta mengalahkan 300an peserta lainnya. “Saat dikabari lolos saya senang banget. Saya dikabari juga, kalau tiket kita beli sendiri, nanti akan diganti oleh panitia,” terangnya.
Keinginan kuatnya nyaris kendur karena para peserta diminta membeli tiket dulu untuk berangkat dari daerah asal ke Jakarta. Namun semangatnya mengikuti TAB 2023, membuat sang ibu rela menggadaikan cicinnya demi biaya tiket, yang nanti akan direimburse oleh PGI selaku penyelenggara.
“Saya sangat tertarik untuk ikut kegiatan TAB 2023, karena ingin menambah pengalaman baru, wawasan baru, dan tentunya mendapat teman atau jaringan baru. Pokoknya semua hal-hal barulah, yang belum pernah dirasakan di NTB. Jujur saja, ini adalah pengalaman pertama bagi saya untuk mengikuti kegiatan yang jauh seperti ini, di luar NTB,” tuturnya sembari menyeruput kopi dan menorehkan senyum.
Bisa dibilang ini pengalaman sangat berharga bagi Opan. Sebab kata dia, perekonomian keluarganya cukup minim. “Penghasilan orang tua saya, cuma cukup untuk makanan sehari-hari. Sehingga ibu rela menggadaikan cincin untuk membeli tiketnya. Sebenarnya awalnya Ibu mempermasalahkan hal itu, karena takut nanti biaya tidak diganti. Belum lagi faktor saya anak satu-satunya yang akan dilepas keluar daerah. Pikirnya aman enggak anak saya nanti pas keluar gitu,” bebernya.
Opan sempat membayangkan kegiatannya digelar di kota besar, seperti Jakarta atau Bandung. Ternyata kegiatannya di Tamiyang Rehoboth, Indramayu. “Suasana tempat kegiatannya ternyata seperti di kampung saya juga. Kami peserta langsung terlibat dengan masyarakat. Kami tinggal di rumahnya orang tua asuh,” jelasnya.
Kegiatan TAB 2023 ini berbentuk live in. Para peserta berjumlah 30 orang dari lintas iman, lintas keyakinan, dan lintas kebudayaan ini, tinggal selama lima hari di rumah orang tua asuh yang berbeda keyakinan. Hal tersebut bertujuan supaya peserta maupun orang tua asuh dapat berinteraksi dan hidup bersama meski memiliki perbedaan keyakinan. Jadilah, Opan yang Budha, ditempatkan pada keluarga orang tua asuh yang Muslim.
“Jujur ini juga pengalaman pertama. Tentu awalnya sedikit canggung, takutnya nanti tidak bisa langsung berinteraksi dengan baik. Itu mungkin karena kendala bahasa atau latar belakang. Tapi setelah beberapa hari, akhirnya merasa sangat nyaman,” ucapnya.
Terutama, kata Opan, karena mungkin ibu bapak di rumah sebagai orang tua asuhnya, juga memberikan pelayanan yang terbaik. “Pagi disiapin sarapan, kemudian malam juga kita disiapin makan malam. Setelah itu kita diajak ngobrol, berkomunikasi dengan baik. Itu semua membuat saya nyaman,” ujarnya.
Lewat kegiatan TAB 2023, Opan mengaku, mendapat banyak pengalaman berharga, termasuk tambahan ilmu tentang kepemimpinan. Dia lantas tergerak hati untuk membuat suatu organisasi yang akan berfokus pada dunia kependidikan.
“Lewat organisasi yang saya cita-citakan ini, kami akan mendorong anak-anak agar tidak putus asa,” ujar Opan, yang hampir setiap hari usai kegiatan, pasti menyempatkan menelepon orang tuanya, untuk memberi kabar.
“Tadi saya baru telepon ibu saya, dan bilang di sini tuh enak, kami dikasih makan. Nggak pernah kelaparan. Jadi ibu tidak perlu khawatir. Tapi tiap kali hendak mengakhiri pembicaraan di telepon, ibu memberi pesan supaya ingat pulang, jangan betah di sana,” kata Opan sambil tersenyum, dan memberi pernyataan singkat untuk kegiatan TAB 2023, “keren dan luar biasa”.
Pewarta: Tiara Salampessy