Oleh: Pdt. Jacky Manuputty
Selasa (29/11) seharian saya berada di Cianjur untuk mengunjungi beberapa wilayah terdampak bencana, serta melihat kerjasama jaringan gereja dan lembaga-lembaga Kristen dalam penanganan bencana Cianjur. Memasuki wilayah Cianjur sekitar jam 7.30 WIB, jalanan cenderung macet oleh berbagai kendaaraan dan ambulance pemasok bantuan dari berbagai lembaga kemanusiaan.
Di kiri dan kanan jalan nampak hamparan tenda serta berbagai pos bantuan dari beragam lembaga kemanusiaan. Lokasi Cianjur yang mudah terjangkau dari Jakarta dan kota-kota di sekitarnya memudahkan distribusi logistik datang dari banyak pihak untuk membantu masyarakat terdampak.
Pos Terpadu Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) dan Penguatan Kapasitas Lokal
Memasuki Pos Terpadu PGI yang berpusat di gedung gereja GKP Cianjur, saya berjumpa teman-teman lintas gereja yang dikordinir oleh PGIS Cianjur. Pos Terpadu yang diinisiasi Biro PRB PGI dengan Jakomkris, PGIS Cianjur, dan lembaga-lembaga Kristen lainnya, berupaya memperkuat kordinasi lintas gereja dan lembaga Kristen dalam hal penanganan bencana. Kordinasi memang menjadi kata kunci dalam penanggulangan bencana seperti ini. Semua lembaga berniat baik untuk membantu, namun niat baik saja tak cukup. Dibutuhkan kesediaan untuk berkordinasi antarlembaga, sehingga daya intervensi kemanusiaan lebih efektif, efisien, dan tertata di lapangan. Pos Terpadu dengan demikian menjadi terminal untuk berbagi sumber daya antar berbagai jaringan Kristen penanggulangan bencana.
Pengelolaan Pos Terpadu sejauh ini dilakukan oleh tenaga-tenaga relawan dari jemaat GKP Cianjur. Mengingat terbatasnya kapasitas tenaga yang tersedia, MJ GKP Cianjur mengharapkan adanya tambahan tenaga relawan dari 23 gereja anggota PGIS Cianjur. Permintaan ini dapat dimengerti mengingat kapasitas gereja-gereja local untuk penanggulangan bencana sangatlah terbatas. Mekanisme standar untuk penanganan bencana seperti ini tidaklah mudah bagi lembaga gereja yang belum pernah mengalaminya. Pengelolaan gudang, distribusi, pendataan, dan berbagai kegiatan terkait dengan fase tanggap darurat kebencanaan membutuhkan kepasitas tim yang kuat dan terlatih.
Saat bencana terjadi, Tim dari Pos Terpadu PGI melakukan distribusi bantuan secara langsung ke 33 titik terdampak selama beberapa hari. Mereka kemudian memutuskan untuk membuka dapur umum dan menyediakan makanan siap makan untuk 500 orang/hari. Setelah beberapa hari, dapur umum itu kemudian ditutup karena kelelahan dan keterbatasan tenaga, selain berbagai lembaga sudah juga membuka pelayanan dapur umum. Tim dari Pos Terpadu PGI yang dikordinir oleh PGIS Cianjur dan GKP Cianjur merubah strategi dengan cara menyalurkan bantuan bahan makanan ke dapur-dapur umum yang bermitra dengan mereka. Saat ini mereka telah menyalurkan bantuan ke 30 titik dapur umum.
Sejak Senin (28/11), Pos Terpadu PGI memutuskan untuk memasuki tahap penanggulangan 14 hari ke depan dengan memberi perhatian kepada keluarga-keluarga jemaat yang terdampak, selain warga masyarakat di sekitar gereja mereka. Dijelaskan oleh Ketua PGIS Cianjur bahwa pada hari-hari pertama bencana, mereka belum secara spesifik memberi perhatian kepada warga jemaat yang terdampak. Saat itu mereka lebih focus pada masyarakat secara umum. Siapa saja yang datang dan meminta bantuan pasti akan diberikan seadanya. Kini mereka akan membantu keluarga-keluarga dari jemaat-jemaat di Cianjur dan sekitarnya yang terdampak karena mereka telah memperoleh data-data yang lebih lengkap.
Belajar dari berbagai bencana yang terjadi di Indonesia, Biro PRB-PGI terus mendorong gereja-gereja anggota PGI untuk menginstalasi unit Penanggulangan Risiko Bencana di gereja mereka masing-masing, terutama di gereja-gereja yang berada di wilayah dengan risiko bencana tinggi. Untuk maksud itu Biro PRB-PGI sedapat mungkin mengonsolidasikan sebaran sumber daya jaringan yang tersedia guna membantu gereja-gereja anggota PGI yang membutuhkan pendampingan bagi pengadaan unit PRB di gereja masing-masing.
Bencana yang terjadi di Cianjur merupakan momentum untuk menguatkan gereja-gereja anggota di wilayah Jawa Barat, khususnya Cianjur, bagi peningkatan kapasitas PRB di masa depan. Jejaring mitra gereja dan berbagai lembaga kemanusiaan lainnya umumnya bekerja dengan durasi waktu terbatas, sementara pengelolaan dampak bencana akan berlangsung dalam waktu panjang. Menyikapi fakta ini, jejaring gereja dan lembaga mitra gereja perlu didorong untuk sungguh-sungguh menguatkan kapasitas mitra lokal di wilayah bencana, sehingga kelak mereka memiliki kecukupan pengetahuan dan kapasitas mandiri untuk mengelola situasi bencana dan paska bencana di masa depan.
Dalam kaitan itu, perlu dihindari ketergantungan warga lokal kepada lembaga-lembaga yang cenderung mengembangkan perilaku ‘savior syndrome’ (Sindrom Juruselamat) dan memosisikan warga lokal sebagai korban semata, bukan penyintas.
Penerimaan Warga dan Kerjasama Antaragama
Kunjungan ke beberapa lokasi terdampak seakan memupus viralnya berita tentang penolakan bantuan oleh warga disana berdasarkan perbedaan agama. Dalam percakapan dengan teman-teman lintas gereja dan lembaga di Pos Terpadu PGI, tidak terdengar sedikitpun cerita tentang penolakan warga. Kunjungan langsung ke lapangan malah memperlihatkan betapa antuasiasnya warga bekerjasama dengan teman-teman Jakomkris dan gereja-gereja lokal disana. Tak ada warga yang mempertanyakan asal usul lembaga bantuan ataupun latar belakang agama. Menurut mereka, beberapa kasus yang diviralkan di media sosial hanyalah ulah kelompok-kelompok kecil yang tak didudukung oleh masyarakat setempat. Aparat keamanan bahkan telah menyikapi dan menindak para peneror pekerja kemanusiaan itu.
Di lapangan, rekan-rekan jaringan dan lembaga Kristen membangun kerjasama lintas iman dengan beberapa organisasi Muslim setempat, di antaranya dengan LPBI-NU PCNU Jabar maupun Kab. Cianjur. Teman-teman dari Gerakan Kemanusiaan Indonesia (GKI) yang membangun Pos Penanggulangan di gedung gereja GKI Cianjur, juga mengelola Kerjasama dengan teman-teman Gusdurian, GP Ansor, dan lainnya. Kerja-kerja kemanusiaan di tengah bencana memang harus menjadi simpul bagi penguatan relasi antaragama, mengingat bencana tak memiliki identitas agama.
Dalam kunjungan ke Desa Cisarandi, ditemukan kerusakan bangunan dalam skala yang luas. Menurut warga setempat, hanya tersisa 8 rumah yang tidak retak dari total 300 KK. Selebihnya terjadi keretakan, patahan, dan ambruk dalam skala yang berbeda-beda. Warga terdampak memilih tinggal di tenda-tenda pengungsi dalam wilayah desa yang menjadi area pelayanan teman-teman dari Mennonite Diakonia Services (MDS). Di desa itu mereka menginstalasi wadah pengelolaan air bersih yang bisa menghasilkan air siap minum sebanyak 1000 lt/hari, selain menyelenggarakan kegiatan-kegiatan pemulihan trauma bagi anak-anak. Interaksi teman-teman jaringan Oikumene dengan warga disitu terlihat sangat akrab. Teman-teman MDS bahkan menggelar satu tenda yang bertindihan dengan kuburan warga desa untuk tempat peristirahan mereka selama melayani disitu.
Pemulihan trauma bagi anak-anak adalah kerja besar paska bencana yang perlu konsolidasi serius. Bencana yang terjadi siang hari saat kegiatan persekolahan sedang berlangsung berdampak pada meninggalnya banyak anak akibat tertimpa reruntuhan sekolah. Catatan jumlah guru yang meninggal juga cukup tinggi dibanding total jumlah korban jiwa. Menyikapi situasi itu, beberapa lembaga Kristen lainnya berinisiatif untuk mengelola area trauma healing dalam kerjasama dengan guru-guru dan lembaga pengajian di wilayah terdampak, bermodalkan kapasitas yang tersedia. Selain MDS, teman-teman dari POUK di Bekasi mengirim tim khusus untuk mengelola aktifitas ini; begitu pula teman-teman dari dari pos penanggulangan di GKI Cianjur.
Membangun Gereja Tangguh Bencana
Selepas kunjungan ke beberapa area terdampak, koordinasi jaringan dilakukan di Pos Terpadu pada jam 16.00 sampai jam 19.30. Di antara yang hadir adalah; Jakomkris, Pelkesi, YEU, YAKKUM, PGIS, GKP, HKBP, POUK Jati Asih, YSDK-GKP, dan GKP Cianjur sebagai tuan rumah. Teman-teman yang hadir membagi pengalaman pelayanan di area masing-masing, tantangan yang dihadapi, serta berbagai pelajaran menarik yang diperoleh dari lapangan.
Disadari bahwa penanggulangan paska bencana masih menjadi rangkaian kerja panjang yang membutuhkan banyak tenaga. Tidak tertutup kemungkinan bagi terjadinya gempa susulan, sekalipun pelepasan energi gempa telah semakin kecil. Hal yang mencemaskan bahwa episentrum gempa pada kedalaman 5-10 km di wilayah itu memperlihatkan kedangkalan gempa. Kondisi ini cukup berbahaya kalau ada gempa-gempa susulan. Struktur batuan di daerah Cianjur juga cukup lapuk, ditambah mulainya musim hujan, sehingga potensi longsoran dan goncangan masih mungkin terjadi.
Terhadap berbagai tantangan di atas, gereja-gereja di wilayah bencana harus sungguh-sungguh meningkatkan kapasitas mereka dalam hal Penanggulangan Risiko Bencana. Sangatlah penting bagi gereja untuk memaknai momentum ini guna bertumbuh sebagai gereja yang peduli terhadap kerentanan geografis di wilayahnya. Pengelolaan logistik di saat bencana sangat penting, namun pemulihan fisik dan pemukiman paska bencana tak boleh disepelekan, terutama untuk membangun konstruksi rumah yang tahan bencana.
Dalam kaitan ini, sejak setahun terakhir PRB-PGI telah berkordinasi dengan BNPB untuk menggagas konsep ‘Gereja Tangguh Bancana.’ Sangat diharapkan gereja-gereja anggota PGI dapat secara serius menaruh perhatian terhadap berbagai potensi bencana di wilayahnya, mengingat kontur geografis Indonesia yang dikenal juga dengan istilah ‘super mall’ bencana.
Penulis, Sekretaris Umum PGI