JAKARTA,PGI.OR.ID-Setara Institute mendorong Polri menghentikan atau paling tidak melakukan moratorium atas penggunaan pasal penodaan agama. Menurutnya, pasal-pasal penodaan agama dalam UU No 1/PNPS/1965, KUHP, dan UU ITE merupakan ketentuan hukum yang problematis, dengan unsur-unsur pidana yang kabur (obscuur), dan tidak memberikan kepastian hukum (lex certa).
“Menurut data riset KBB Setara Institute kurun 2007-2022, hukum penodaan agama kerap digunakan untuk mengkriminalisasi pihak-pihak tertentu secara sewenang-wenang,” kata Bonar T Naipospos, Wakil Ketua Dewan Nasional Setara Institute, dalam siaran persnya yang dikeluarkan pada Sabtu (1/7/2023).
Kasus-kasus kriminalisasi tersebut melingkupi spektrum kasus yang luas; dari soal asmara, penanganan jenazah, sampai penghukuman atas interpretasi keagamaan.
Selain itu, lanjutnya, dalam catatan Setara, penerapan pasal-pasal penodaan agama lebih tampak sebagai ‘peradilan’ oleh tekanan massa (trial by mob). “Idealnya, pihak kepolisian tidak boleh tunduk pada tekanan massa dan kelompok keagamaan tertentu, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ketundukan pada tekanan kelompok tertentu tersebut biasanya dijustifikasi pihak kepolisian dengan penggunaan pasal penodaan agama,” sebutnya.
Karenanya, pada momentum Hari Bhayangkara 2023, SETARA kembali mengingatkan Polri bahwa fatwa MUI bukanlah hukum positif dan peraturan perundang-undangan dalam kerangka Negara Hukum Indonesia.
“Pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2011 menyatakan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: UUD Negara RI Tahun 1945, Ketetapan MPR, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota,” terang Halili Hasan, Direktur Eksekutif Setara Institute.
Dia menegaskan, fatwa merupakan pandangan keagamaan dari ormas keagamaan tertentu mengenai suatu kasus atau fenomena aktual yang berkembang di tengah-tengah masyarakat.
“Organ pemerintahan negara, termasuk Polri, dapat menimbang pandangan ormas keagamaan tersebut yang dapat dipastikan beragam dan tidak tunggal. Namun demikian, fatwa ormas keagamaan tidaklah mengikat Polri dan elemen kelembagaan negara apapun untuk menjadikannya sebagai dasar formal bagi tindakan hukum yang akan diambil oleh Negara,” tukasnya.
Pewarta: Markus Saragih