JAKARTA,PGI.OR.ID-Perhelatan tahunan yaitu Sidang Majelis Pekerja Lengkap-Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (MPL-PGI) 2022 akan berlangsung di Tahuna, Kabupaten Kepulauan Sangihe, pada 28-31 Januari 2022, dengan tuan dan nyonya rumah Sinode Gereja Masehi Injili Sangihe Talaud (GMIST). Sementara persidangan akan berlangsung di GMIST Jemaat Imanuel, Tahuna.
Persiapan-persiapan terus dilakukan, baik oleh panitia lokal maupun dari Sekretariat PGI. Pertemuan bersama-sama secara virtual rutin dilaksanakan, agar kegiatan yang diperkirakan akan dihadiri oleh sekitar 134 peserta ini, dapat berjalan dengan baik.
Sidang MPL-PGI 2022 mengusung tema: “Aku Adalah Yang Awal dan Yang Akhir” (Bdk Wahyu 22:12-13) dan Subtema: “Bersama Seluruh Warga Bangsa, Gereja Memperkokoh NKRI yang Demokratis, Adil dan Sejahtera Bagi Semua Ciptaan Berlandaskan Pancasila dan UUD 1945”. Serta dalam Pikiran Pokok: “Spiritualitas Keugaharian: Membangun Keadaban Publik Demi Pemeliharaan Bumi Sebagai Sakramentum Allah”.
Terkait Pikiran Pokok Sidang MPL-PGI 2022, Sekretaris Umum PGI Pdt. Jacklevyn F. Manuputty menjelaskan, bumi sebagai sakramentum Allah mengisyaratkan gereja untuk meneguhkan dirinya sebagai ekklesia, kumpulan orang percaya yang terpanggil untuk berjumpa dengan Allah dalam kebersamaan satu sama lain, menikmati anugerah penebusan di dalam Kristus, dan dipenuhi dengan Roh untuk mewartakan kabar baik Kerajaan Allah di tengah dunia. “Pengakuan ini menuntun gereja untuk sepenuhnya berpartisipasi dalam realitas yang sedang berlangsung, serta proklamasi karya penyelamatan Kristus sampai Ia kembali, seperti dalam I Kor 11:26,” ujarnya.
Ditambahkan, imperatif etis-teologis dari pengakuan ini diwujudkan dalam tindakan memelihara bumi sebagai tatanan kudus Allah. Partisipasi orang-orang percaya dalam inkarnasi Allah melalui Kristus yang mengorbankan diri dan bangkit harus dinyatakan melalui kesedian untuk menunjukan kepenuhan ‘Hati Kristus’ yang terbuka untuk melayani, dan hidup dalam pengorbanan.
“Sakramen mengingatkan orang percaya bahwa pengorbanan Yesus adalah untuk semua, karenanya mereka yang mengambil bagian dalam perayaan sakramen patut menegaskan dirinya sebagai ’roti yang dipecah-pecahkan’ bagi orang lain, dan bekerja untuk pembangunan bumi yang lebih adil, berkelanjutan, dan bersaudara,” kata Pdt. Jacky.
Menurut Sekum PGI, relevansi pengakuan semacam ini sangat jelas saat ini. Selama dua tahun ini, kita secara efektif hidup di masa sulit dalam sejarah peradaban. Pandemi Covid-19 berdampak serius pada menurunnya ketahanan manusia pada berbagai aspek, spiritual, kesehatan, sosial, ekonomi, maupun politik. Kita juga melihat berkembangnya berbagai bentuk kemiskinan baru, bahaya kelaparan, ketidakadilan, bahkan ancaman kiamat ekologis akibat kerusakan lingkungan hidup pada tingkat yang membahayakan.
Melalui pikiran pokok ini, jelas Pdt. Jacky, kita dapat dan harus melakukannya sebagai jawaban atas tuntutan iman dan keyakinan akan identitas kita sebagai ekklesia. Situasi dimana kita hidup saat ini secara konsekuen membangkitkan dalam diri kita dimensi eskhatologi sebagai sebuah elemen yang melekat dalam eksistensi sakramen. “Berpijak pada elemen ini, kita meyakini bahwa Allah sedang dan terus bekerja untuk memulihkan bumi yang rusak, sambil mengundang kita untuk berpartisipasi dalam gerak transformasi Allah menuju pemenuhannya,” tandasnya.
Pewarta: Markus Saragih