JAKARTA,PGI.OR.ID-Mengawali rangkaian Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKtP), PGI melaksanakan diskusi virtual bertajuk Dukung Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS), pada Rabu (25/11).
Sebagaimana diketahui, RUU P-KS hingga saat ini belum disahkan karena pembahasan yang alot di DPR. RUU tersebut bahkan dicabut dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2020. Alotnya pembahasan diakui oleh Anggota DPR RI dari Fraksi PDIP Mercy Barends. Meski demikian, PDIP, bahkan Kaukus Perempuan di Parlemen tetap terus berjuang semaksimal mungkin untuk meloloskan RUU yang menjadi kepentingan seluruh anak bangsa, dan mempertaruhkan eksistensi serta martabat perempuan ini.
Dalam perkembanganya, lanjut Mercy, ada sejumlah hal yang perlu dicari titik temu, semisal terkait jenis-jenis kekerasan seksual, ruang lingkup, dan rehabilitasi. “Jadi harus benar-benar dibingkai agar masuk kepada inti persoalan yang terkait penghapusan kekerasan seksual, sehingga 4 tujuan dari RUU P-KS, mencegah, melindungi, menindak, dan mewujudkan lingkungan yang bebas kekerasan seksual ini benar-benar terwujud,” katanya.
Dalam rapat evaluasi Prolegnas 2020, menurutnya, RUU P-KS dipastikan masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021. Sebab itu, dia pun merekomendasikan agar seluruh elemen yang peduli terhadap RUU P-KS tetap menggalakkan lobi-lobi, memperkuat public campaign, dan tetap melakukan monitoring public.
Sementara itu, Wakil Sekretaris Umum PGI Pdt. Krise Anki Gosal mengungkapkan, kondisi korban kekerasan seksual di Indonesia hingga sekarang ini terus meningkat dan semakin memprihatinkan. Data terakhir dari Komnas Perempuan menyebutkan sejak 2016-2019 terjadi kenaikan mendekati 100 persen.
Lanjut Pdt. Krise, sehingga pada Sidang Raya di Waingapu, Sumba tahun 2019, merekomendasikan hasil Pertemuan Raya Perempuan Gereja (PRPrG) PGI, memandatkan kepada gereja-gereja di Indonesia untuk mengembalikan, dan mengangkat harkat serta martabat manusia sebagai imagodei, sebagai ciptaan yang segambar dengan Allah, yang memiliki hakekat dan martabat yang harus dihargai dan dihormati. Sehingga segala bentuk kekerasan terhadap perempuan adalah penghianatan atas maha karya cipta Allah sendiri.
“Dasar utama inilah dan menugaskan gereja-gereja untuk lima tahun ke depan, sejak November tahun lalu, untuk kembali fokus kepada penanggulangan kekerasan. Oleh karena pemetaan pada Sidang Raya itu, kekerasan seksual bukan hanya terjadi di ranah publik atau di tempat kerja, tetapi bahkan terjadi di lembaga-lembaga yang diharapkan menjadi tempat pensemaian bibit budi pekerti, perdamaian, hak asasi, seperti di rumah tangga, bahkan di ranah keagamaan pun tidak luput dari kekerasan terhadap perempuan dan anak. Kalau hari ini kita fokus kepada kekerasan seksual, tidak menutup kemungkinan di lingkungan gereja juga terjadi kekerasan seksual,” kata Pdt. Krise.
Sebab itu, menurut Wasekum PGI, RUU P-KS adalah sebuah jawaban dan kerinduan dari satu kebutuhan untuk kesejangan-kesejangan dari pengaturan-pengaturan seputar kekerasan seksual di Indonesia, karena mengatur mulai dari pencegahan hingga pemenuhan hak korban. “Dan RUU P-KS ini juga diharapkan menjadi satu jawaban atas pergumulan panjang dari gereja-gereja di Indonesia yang memetakan kekerasan pada Sidang Raya ke 17 di Waingapu, Sumba Tahun 2019. Kami percaya dan kami melihat RUU P-KS ini turut akan saling memperkuat gereja untuk mengembalikan harkat manusia kepada ciptaan Allah yang harus dihormati, dihargai, dan mempunyai hak hidupnya yang tidak boleh direbut, dirampas,” tegasnya.
Hal ini pulalah yang mendorong PGI untuk bergandengan tangan dengan para pengambil keputusan di DPR RI untuk segera mensahkan RUU P-KS menjadi undang-undang.
Diskusi virtual yang berlangsung selama tiga jam ini, juga diisi dengan sharing lapangan yang disampaikan oleh Sekretaris Umum Sinode Gereja Kristen Sumba (GKS) Pdt. Marlin Lomi dan Pdt. Julinda Sipayung dari Woman Crisis Centre Sopou Damei Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS).
Pdt. Marlin Lomi pada kesempatan itu menyampaikan upaya advokasi oleh GKS terhadap kasus kawin tangkap di Sumba. Menurutnya, kasus ini masih terus terjadi dan belum menjadi perhatian serius, bahkan dianggap sebagai sebuah kewajaran. Sehingga dengan pendekatan adat kasus dianggap selesai. Peristiwa terakhir terjadi di wilayah Sumba Tengah.
“Sebab itu kami berkoordinasi dengan solidaritas perempuan dan anak, Perwati dan lainnya kemudian memang kami berpikir kasus ini tidak bisa dibiarkan, ini kejahatan kemanusiaan yang harus disikapi secara serius,” tandasnya.
Lanjut Pdt. Marlin, secara lembaga gereja Sinode GKS tegas menolak tindakan perilaku kasus kawin tangkap. Karena itu, peran edukasi tetap dilakukan baik tingkat klasis dan jemaat. Termasuk advokasi kepada pelaku dan korban. “Kami mendesak pembuatan perda dan pengesahan RUU P-KS. Juga berharap agar segera dibuat perda dengan melibatkan gereja, forum adat, pemerhati perempuan dan lainnya, serta berharap akan ada tindakan hukum terhadap pelaku,” katanya.
Sedangkan Pdt. Julinda menyampaikan sejumlah kegiatan yang dilaksanakan oleh WCC Sopou Damei GKPS dalam kaitan dengan kampanye 16 HAKtP. Seperti, ibadah, webinar, fgd, dan kampanye di sejumlah tempat dengan mengusung tema stop kekerasan terhadap perempuan dan anak. Namun untuk tahun ini dilaksanakan secara live streaming karena pandemi Covid-19.
Dalam rangka Kampanye 16 HAKtP, PGI akan melakukan serangkaian kegiatan hingga tanggal 10 Desember mendatang. Namun sebelumnya, juga telah dilakukan lewat IG live, pembuatan video-video pendek, dan lainnya.
Pewarta: Markus Saragih