ACEH,PGI.OR.ID-Sama seperti ekosistem hutan tropis lainnya di Indonesia, kondisi hutan di Aceh juga ada dalam ancaman kerusakan yang masif. Dibutuhkan pertobatan ekologis dari kita semua, sekaligus kolaborasi dari setiap pemangku kepentingan dalam penyelamatan hutan dan ekosistemnya.
Demikian salah satu poin sambutan Sekretaris Eksekutif Bidang KKC-PGI Pdt. Jimmy Sormin, selaku Ketua Interfaith Rainforest Initiative (IRI) Indonesia dalam lokakarya dan peluncuran IRI chapter Aceh, di Banda Aceh, pada Jumat (15/9/2023).
Kegiatan tersebut dihadiri para tokoh agama, perwakilan pemerintah, akademisi, dan para aktivis lingkungan hidup di Aceh. Mereka mendiskusikan persoalan-persoalan terkait hutan dan moralitas manusia yang semakin menurun ditandai dengan ketamakan dalam mengeksploitasi sumber daya alam di Aceh. Strategi kolaboratif dan komitmen penyelamatan hutan juga dibangun bersama, dengan mengoptimalkan kapasitas dan peran masing-masing di masyarakat.
Ditegaskan Pdt. Jimmy, bahwa akar dari kerusakan ekologis di Aceh adalah kerakusan. Persoalan moralitas ini menempatkan lembaga atau tokoh-tokoh agama dan masyarakat memiliki peran strategis untuk membangun moralitas yang berkeadilan, pro-kehidupan, dan berkelanjutan.
“Kita sudah menyaksikan bahwa pendekatan sains dan teknologi tidak bisa menghentikan laju kerusakan ekologis ini, demikian juga secara hukum. Oleh karenanya pendekatan moral menjadi alternatif lain dan krusial untuk mendorong perubahan yang signifikan,” ungkapnya.
Hal senada juga disampaikan Ketua Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA), Tgk. H. Tu Bulqaini Tanjung. Menurutnya di masa lalu masyarakat Aceh memiliki praktik-praktik yang sangat selaras dengan alam. Semisal, pengantin atau keluarga baru dahulu diwajibkan untuk menanam dan merawat pohon. Selain itu makhluk hidup di hutan tercukupi kebutuhannya.
“Tidak seperti sekarang, sampai gajah dan harimau datang ke kebun-kebun dan pemukiman penduduk untuk mencari makan. Manusia semakin tamak, pohon ditebangi, hewan-hewan diburu dan diperjualbelikan, merusak lingkungan dengan tambang-tambang. Harus bertobat; ingat manusia wakil Tuhan di dunia untuk menjaga, bukan merusak,” tegas mantan pimpinan Taliban Aceh ini.
Sementara itu, Dr. Drs. Yusrizal M.Si, Kepala Biro Keistimewaan Aceh dan Kesejahteraan Rakyat Setda Aceh, mewakili Plt. Gubernur Aceh, menyampaikan rasa syukur atas terbentuknya IRI chapter Aceh ini. Pemerintah provinsi Aceh sangat mendukung upaya-upaya penyelamatan lingkungan hidup. Dia juga sepakat bahwa peran tokoh-tokoh agama sangat dibutuhkan dalam membangun masyarakat yang peduli hutan.
Pada forum terpisah, IRI Indonesia juga berjumpa dan berdiskusi dengan Paduka yang Mulia Wali Nangroe Aceh Darussalam, Mahmud Al Haytar (mantan Perdana Menteri GAM). Sejak semula Paduka Mahmud memberi perhatian terhadap keadilan di bumi rencong ini, termasuk keadilan terhadap alam dan masa depannya.
Baginya, krisis hutan dan moralitas yang menjadi penyebabnya, telah menurunkan secara signifikan tutupan lahan di Aceh. “Sekarang di Nangroe Aceh Darussalam hanya tersisa sekitar 60% hutannya, dan bisa jadi semakin berkurang ke depan,” ungkap Paduka Mahmud.
Dia pun sangat senang jika semakin bertambah kepedulian banyak pihak, seperti IRI Indonesia, untuk menyelamatkan hutan dan kehidupan banyak makhluk di negeri tercinta ini.
Pewarta: Markus Saragih