PONTIANAK.PGI.OR.ID – Dalam satu atau dua dasawarsa belakangan ini, muncul kegelisahan masyarakat dengan semakin tergerusnya kerukunan dan berkembangnya semangat intoleransi. Toleransi, yang menjadi sendi dasar kehidupan bersama dalam masyarakat majemuk Indonesia, nampaknya semakin tergerogoti oleh pola hidup masyarakat yang makin ekslusif.
Hal itu disampaikan Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia Pdt. Gomar Gultom dalam seminar dengan mengangkat tema: Peran Strategis Lembaga Keagamaan Mengelola & Mengadvokasi Keberagaman di Indonesia: “Mengembangkan Kerukunan Otentik.” Seminar tersebut merupakan rangkaian di hari pertama Seminar Agama-agama ke 36 PGI yang berlangsung pada Rabu – Jumat (24-27/11) di Pontianak, Kalimantan Barat.
“Memang tidak mudah mengelola kehidupan masyarakat kita yang sangat majemuk. Masing-masing kita, disadari atau tidak, memiliki kecenderungan untuk mengetengahkan kepentingannya. Ada kecenderungan di tengah-tengah kita kini untuk hidup eksklusif dan menganggap dirinya dan kelompoknya yang paling benar. Tuhan dan kebenaran pun diklaim hanya berdasarkan pemahaman dan tafsiran yang dimilikinya,” kata Pdt. Gomar.
Lebih dalam Pdt. Gomar menjelaskan, bahwa toleransi yang selama ini merajut kepelbagaian di tengah bangsa, tiba-tiba saja menjadi sesuatu yang sangat langka. ”Terancamnya toleransi ini, pada gilirannya akan merusak kerukunan otentik yang telah terbangun dalam kehidupan masyarakat. Dan hilangnya kerukunan otentik ini akan menjadi ancaman serius bagi keberagaman atau kemajemukan masyarakat Indonesia.”
Untuk itu, Ketum PGI menekankan, berbagai peristiwa kekerasan dan ketidakrukunan hendaknya juga menyadarkan kita bahwa masih ada soal-soal yang belum selesai dalam merajut damai dan kerukunan ini. Ada proses pemiskinan dan ketidakadilan akut di tengah bangsa kita, dan ini menjadi lahan yang subur bagi gerakan radikalisme dan intoleransi.
“PGI selalu mengajak para pemimpin gereja untuk mencerdaskan umatnya dalam bergereja. Sejatinya, gereja –sebagai institusi– bukanlah tujuan hidup yang rukun. Jika gereja menjadi tujuan, dia akan mudah kehilangan jati diri dan nuraninya sebagai entitas pembawa kedamaian dan keadilan. Mestinya gereja bukan menjadi orientasi hidup, melainkan untuk menjadikan hidup ini berorientasi pada kemanusiaan,” ujarnya.
Di bagian akhir, Pdt. Gomar mengajak lembaga-lembaga keagamaan dapat menjalankan perannya dalam mengelola dan mengadvokasi keberagaman. “Hanya dengan demikian kita bisa merajut perdamaian dan kerukunan di tengah kemajemukan ini.”
Peran Komnas HAM
Sementara Sandra Moniaga dari Komnas HAM menyoroti soal keberagaman dari pandangan HAM. Ada tiga jenis kasus yang paling menonjol dari pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di tahun 2020-2021, yaitu pelarangan kegiatan, gangguan tempat ibadah dan situasi dan problematika KBB. “Persoalan kebijakan, kapasitas aparat, penegakan hukum, aliran heterodoks – tuduhan aliran sesat dalam internal agama, segregasi, konservatisme, peningkatan kapasitas koersif warga adalah hal-hal yang terjadi. Sementara salah satu kewajiban negara adalah kewajiban menghormati. Kewajiban negara untuk menahan diri melakukan intervensi kecuali atas dasar hukum yang sah. Contohnya menghormati hak adat yang diakui negara, hak berpendapat dan berekspresi, hak untuk menjalankan beragama dan berkeyakinan dan lainnya.”
Komnas HAM, kata Sandra, dengan berbagai persoalan-persoalan yang terjadi melakukan pemajuan, yaitu berupa pengkajian, penelitian dan pendidikan penyuluhan, seperti dorongan Pembaruan Hukum dan Kebijakan, Penyusunan dan Penetapan Standar Norma dan Pengaturan serta Pendidikan.
“Dalam hal penegakan dilakukan pemantauan dan penyelidikan, termasuk pemantauan dan pemberian keterangan ahli di pengadilan, juga mediasi hingga penyelidikan Pro-Yustisia Dugaan Pelanggaran HAM yang Berat (UU 26/2000) serta pengawasan upaya Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis,” terangnya.
Transformasi Pancasila
Prof. Yudi Latief yang membawakan topik Wawsan Kebangsaan menjelaskan bahwa Pancasila yang adalah modal dasar bagi bangsa ini intensitas pembelajarannya selama era reformasi mengalami penurunan yang mengakibatkan kurangnya wawasan Pancasila di kalangan pelajar dan kaum muda. Juga pemahaman terhadap Pancasila belum sepenuhnya dikembangkan secara ilmiah baik melalui pendekatan intradisplin, multidisiplin, dan transdisiplin. Akibatnya Pancsial yang seharusnya menjadi titik temu (“persetujuan”) dalam menghadirkan kemasalahatan-kebahagiaan bersama (al-maslahatul al-ammah, bonnum comune) dalam suatu masyarakat bangsa yang majemuk menjdi hilang dan terjadi gesekan-gesekan.
Untuk itu, kata Yudi, Pancasila perlu ditransformasi dalam relasi ideologi, yaitu ranah mental kultural yang terdapat dalam sila !,2 dan 3 yakni masyrakat religius berperikemanusiaan, egaliter, mandiri, amanah, tak memuja materilaime-hedonisme, menjalin persatuan dengan semangat pelayanan. Lalu juga masuk ranah politikal yaitu integrasi kekuaatan nasional melalui demokrasi permusyawaratan yang berorientasi persatuan dan keadilan. Lalu Ranah material yakni perekonomian merdeka yang berkeadilan dan berkemakmuran, berlandasakan usaha tolong-menolong, menekankan penguasaan negara seraya memberi peluang bagi hak pribadi dengan fungsi sosial.
“Trasnformasi itu bertujuan perikehidupan kebangsaan dan kewargaan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur berdasarkan Pancasila,”terangnya.
Diplomasi kuliner
Pemateri lainnya Dr. Samsul Hidayat, Ma dari MUI Kalbar yang mengangkat topik : Merawat dan Mengelola Keberagaman di Masyarakat Melalui Diplomasi Kuliner menjelaskan toleransi dan kerukunan umat beragama diyakini sebagai modal sosial yang sangat penting agar masyarakat dapat hidup berdampingan (ko-eksistensi) dan saling bekerjasama (kolaborasi).
“Ada satu elemen perekat masyarakat yang selama ini belum mendapat perhatian serius, yaitu Diplomasi Kuliner. Studi tentang diplomasi makanan tergolong langka, jika dihubungkan dengan pengaruhnya pada pengembangan kerukunan dan toleransi umat beragama khususnya di Kalimantan Barat. Diplomasi kuliner ini dapat diartikan sebagai penggunaan makanan dan masakan sebagai instrumen untuk menciptakan pemahaman lintas budaya dengan harapan meningkatkan interaksi dan Kerjasama,” katanya.
Lebih jauh Samsul Hidayat mengatakan diplomasi makanan sebagai elemen pembentuk toleransi dan kerukunan umat beragama dalam sebuah pertukaran budaya dan bisnis, dibentuk secara alamiah oleh penduduk, dan dirawat secara turun temurun sebagai kearifan lokal masyarakat Kalbar. Misalkan, katanya, di Singkawang ada penjual kue khas etnis Tionghoa dan waiternya perempuan mengenakan jilbab. Atau pemilik lahan beragama muslim dan penjual dari etnis Tionghoa dan lainnya.
“Saya menawarkan konsep diplomasi makanan sebagai kekuatan lunak yang dapat membentuk sikap saling percaya dan saling memahami melalui keamanan konsumsi, pertukaran bisnis, pertukaran budaya. Selama ini diplomasi kuliner hanya dikaitkan dengan hubungan diplomatic antar Negara dalam membangun dan memperkuat hubungan kerjasama dan saling pengertian.”
Di bagian akhir Dr. Samsul menjelaskan, diplomasi kuliner merupakan alternatif baru kekuatan lunak bagi upaya perdamaian dunia. Untuk hidup damai di antara para pengikut dari berbagai agama dan etnis dan kelompok budaya adalah tugas yang sangat menantang.
“Melalui makanan, interaksi sosial dibangun sedemikian rupa guna menghadirkan peningkatan kerjasama, mengubah sikap seseorang menjadi lebih harmonis, dan mendorong pemahaman tertentu tentang orang lain yang lebih baik,” katanya.
Seminar pertama berakhir sore dan dilanjutkan diskusi paralel dengan topik-topik yang mnarik bagi peserta yang dari berbagai daerah yang mengikuti secara langsung dan lewat zoom.
Pewarta: Phil